.
.
.
.
.
Alkisah sebuah cerita, yang mengisahkan dua orang anak yang ditakdirkan untuk bersama. Kedua anak itu dilahirkan secara bersamaan dari keluarga yang amat berbeda. Sekarang kedua anak itu telah tumbuh, di desa yang hangat, mereka hidup bersama. Menjadi sahabat karib, namun lahir secara bersamaan tidak menjamin mereka memiliki nasib yang sama, bukan?
Aria Algaea adalah gadis berambut pirang panjang yang bergelombang bagai ombak dilautan, ia juga memiliki mata indah yang berwarna biru, sejernih langit diangkasa. Anak yang tumbuh dengan sosok orang tua yang lengkap dan penyayang, membuat dia menjadi secerah mentari pagi yang bersinar.
Lalu aku, Alesia Hefistus adalah gadis berambut hijau sepunggung dengan mata yang memiliki dua warna berbeda yakni, biru dan hijau. Tumbuh tanpa sosok Ayah, dan sosok Ibu yang memiliki permasalahan mental membuatku tumbuh menjadi sosok yang ... lumayan suram.
Hari ini aku akan menceritakan pada kalian, sebuah cerita untuk mencari kebahagiaan. Aku Alesia Hefistus, dan ini kisahku.
Aku ingat sekali awalnya hidupku tak semenyedihkan itu, walau tanpa sosok seorang Ayah aku tetap tumbuh dengan baik di tengah desa yang hangat ini. Namun semuanya berubah saat aku menginjak usia 5 tahun, sebuah surat datang dari sosok yang meninggalkan aku dan Ibuku. Mendapati surat itu Ibuku mendapat kembali harapannya, walau setelah dibaca isi surat itupun yang menghancurkan harapannya hingga berkeping keping.
Wanita dengan rambut coklat itu terduduk, tubuhnya bergetar hebat yang diiringi jatuhnya jutaan air mata. Aku tak akan pernah melupakan pemandangan menyedihkan itu, orang yang katanya "Ayahku" itu meninggalkan aku dan Ibu. Lalu sekarang ia memilih wanita lain dan hidup bahagia, sedangkan kami hanya akan menderita dengan setiap kenangan tentangnya.
"Ibu.." ucapku pelan, kaki kecilku melangkah mendekat dengan perlahan, namun ibu mulai berteriak padaku.
"Jangan berani mendekat, setelah apa yang kau lakukan padaku dan putri kita. Kenapa? Kenapa kau melakukan semua ini?" Tutur wanita berambut coklat itu, ia menuturkan pertanyaan yang bahkan tak terdengar jelas karena diiringi isak tangisnya. Aku? Kenapa ibu bilang begitu padaku?
Saat itulah aku mengalihkan mataku pada cermin didekatku. Ahh, sekarang aku tau alasannya. Hal yang membuat Ibu semakin menderita adalah rupaku yang sangat mirip dengan sosok cinta pertamanya. Aku juga merasa benci, aku benci setiap sudut yang ada diwajahku karena begitu mirip dengan sosok itu.
Perlahan aku kembali berjalan mendekat, langkah kecilku membuat ibuku kembali berteriak. Aku hanya seorang anak kecil. Namun wajahnya seakan takut aku akan mengambil sesuatu darinya.
"Pergilah!! Apa yang akan kau lakukan hah? Aku sudah menderita, aku dan putrimu menderita disini tanpamu!! Dan kau disana bahagia disaat kami tidak bisa bahagia. Terkutuklah kau, kumohon. Kumohon, jangan bahagia!!" Bentakan demi bentakan keluar dari mulut wanita cantik itu. Dirinya yang tak pernah meminta apapun, sekarang memohon mohon dengan putus asa. Kali ini aku tak takut, kupeluk erat tubuh ibuku yang gemetaran. Sembari berkata.
"Baiklah ibu, aku tak akan bahagia. Jadi tenanglah."
Mungkin kalian tidak percaya, tapi itulah yang anak umur 5 tahun ini katakan. Mendengar hal itu ibu menangis sejadi jadinya, dalam pelukanku. Semenjak hari itu, hariku menjadi semakin suram. Ibu mulai terlihat bagai orang mati, tak bicara, tak bergerak dari tempat tidurnya, bahkan bisa tak makan selama beberapa hari.
Warga desa sangat mengkhawatirkan ibu, tapi mereka lebih khawatir lagi padaku. Anak yang mereka kira akan tumbuh bahagia di desa ini, sekarang bagai anak yatim piatu, tidak ada yang mengurus.
Beberapa warga masih sering datang ke rumah untuk membujuk ibu agar kembali hidup dengan baik, tapi sia sia. Ibu tetap diam tak berkutik.
Setelah itu kejadian malang kembali menimpaku, sepulangnya aku setelah bertemu dengan Aria. Pemandangan yang menyambutku dirumah adalah tubuh Ibuku yang tergantung di dalam kamar. Pemandangan itu sungguh mengerikan, aku saat itu hanya anak kecil biasa. Pupil mataku mulai bergetar, aku takut. Apa yang harus kulakukan?
Beberapa menit terpaku, aku berjalan keluar. Menghampiri warga desa yang lewat, lalu memintanya melihat pemandangan itu. Seketika desa itu dihebohkan dengan kasus bunuh diri ibuku, beberapa warga desa ketakutan melihatnya. Sedangkan yang lainnya mengurus jasad wanita berambut coklat itu. Orang-orang pasti berpikir aku tak memiliki hati, kerena aku bahkan tak menangis setelah melihat jasad ibuku. Saat aku sedang menunggu warga desa mengurus tubuh ibuku, aku melihat sesuatu. Sebuah surat terakhir dari ibuku.
Untuk anakku, Alesia Hefistus.
Halo nak, kamu terkejut ya? Tanpa peringatan apapun ibu pergi meninggalkanmu sendiri. Maafkan ibumu ini ya nak, ibumu ini begitu egois. Padahal kamu hanya anak kecil yang tak bersalah, tapi kamu harus menderita seperti ini karena ibu.
Ibu ijin pergi ya? Ibu takut untuk berada di dunia ini lebih lama lagi. Ibu takut untuk hidup dengan bayang-bayang Ayahmu lebih lama lagi. Jadi ibu memutuskan cara yang bisa membuat ibu lebih tenang dan bahagia.
Nak, tolong jangan salahkan dirimu karena begitu mirip dengan Ayahmu. Karena itu bukan salahmu. Lalu, sekarang ibu sudah bahagia disini nak. Jadi kamu juga harus bahagia ya? Karena bagian dari dirimu yang paling mirip dengan ibu adalah senyumanmu yang manis itu.
Teruslah bahagia nak, ibu akan bahagia disini.
Selamat tinggal, kesayangan ibu.
Jadi ibu sudah memilih jalan untuk bahagia ya? Baguslah ibu bisa bahagia. Aku sangat senang, aku juga sangat bahagia karena ibuku bahagia. Tapi entah kenapa aku terus mengeluarkan air mata. Kata Ibu aku harus bahagia ya?
"Alesia!!" Suara yang familier terdengar memanggil, gadis pemilik suara itu berlari memelukku. Setelah beberapa detik ia melepas pelukan itu, lalu memegang tanganku.
"Tante pasti sudah tidak sakit lagi ya? Jadi mari hidup bahagia bersama seperti yang tante inginkan, Aleisa." Ucapnya kembali memelukku. Air mataku mengalir deras, semua yang dikatakan Aria benar. Aku harus bahagia, seperti yang ibu minta. Karena itu permintaan terakhirnya.
"Aria," ucapku diiringi isak tangis yang tak bisa terhenti "mari hidup bahagia bersama, Aria." Lanjutku. Benar, aku bisa bahagia bersama Aria, sumber kebahagiaanku. Kami ditakdirkan untuk satu sama lain, langit yang suram pasti akan menjadi terang jika mentarinya datang kan? Sungguh, aku beruntung memilikimu, mentariku, Aria.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Hefistus || FanFiction || ViFan
FantasyKebahagiaanku hanya dirinya. Ia yang bersinar layaknya Sang Mentari, ia yang tersenyum semanis madu. Aria Algaea, mentariku yang berharga. Aku pasti akan membawamu pulang ...