.
.
.
.
.
Setelah hari itu, kehidupanku benar benar berubah drastis. Aku tetap tinggal dirumahku, namun semua hal yang kumakan dan kupakai adalah pemberian warga desa. Apalagi keluarga Aria, mereka sangat berjasa dalam hidupku. Aku juga jadi banyak mengeluarkan berbagai emosi akhir akhir ini. Senang, sedih, takut dan lainnya.
Aku juga akhirnya mengetahui bahwa aku memiliki sihir, dengan tipe sihir yakni spirit. Walau begitu sampai akhir aku tak bisa membuat kontrak dengan roh. Aria sendiri memiliki sihir dengan tipe aura, walaupun masih sangat lemah. Aria pasti akan berkembang.
"Lihat, dengan auramu itu saja kamu belum bisa mengalahkanku." Ejekku, melihat Aria terduduk lemas ditanah. Inilah kegiatan kami akhir akhir ini, kami sering melakukan sparring, walau melawan Aria yang memiliki tipe sihir Aura, teknik pedangku masih lebih unggul daripada dia.
"Makanya ajarin aku teknik pedang dong!" Keluhnya berusaha berdiri. Aku mengulurkan tanganku membantunya berdiri. "Oke, tapi jangan ngeluh kalau ga bisa." Ujarku terkekeh pelan. Begitulah kami menghabiskan bertahun tahun di desa itu dengan berlatih.
Hingga akhirnya kami menginjak usia dewasa, kami berdua memutuskan untuk pergi merantau ke kerajaan terdekat. Vermillion yang saat itu dipimpin oleh Blane. Dan kami juga berhasil masuk ke pasukan ksatria istana, sebagai salah satu dari sedikit perempuan yang berhasil.
Selain itu, aku juga punya ketertarikan lain. Yaitu, meneliti, membuat penemuan baru. Awalnya aku membuat benda untuk menembak yang terinspirasi dari ketapel. Tapi bentuknya terlihat sangat simple dan aneh.
"Kenapa bentuknya aneh ya?" Tanya Aria melihat penemuanku. Dia tak akan berhenti berceloteh kalau bentuk penemuanku aneh.
"Ya mau bagaimana lagi." Keluhku mulai membereskan barang penemuanku. Apa yang Aria harapkan dari orang yang tak berpengalaman sepertiku.
"Kamu tidak punya jiwa estetika ya? Itu terlalu polos tau." Ejek Aria, aku hanya meliriknya sekilas, menaikkan bahu tanda tak peduli.
"Besok kita mengawal Komandan kan?" Tanya Aria mengeluarkan baju resmi kami, aku turut membantunya menyiapkan pakaian kami besok. Karena besok adalah Festival Pendirian Negara, dipagi hari kami akan mengawal Sang Raja. Dan dimalam hari kami bisa bebas berjalan-jalan.
"Panggil dia Yang Mulia Raja, Aria. Syukurlah kita mendapat jadwal pagi." Ujarku, sebenarnya kami berusaha sangat keras agar mendapat jadwal pagi.
Keesokan harinya kami bersiap sepagi mungkin, aku menguncir rambutku dan menggunakan baju resmiku. Juga Aria yang sedang merapikan poninya. Pagi itu kami berjaga tepat disebelah Sang Raja, membanggakan sekali.
"Aria, Alesia bagaimana kabar kalian?" Tanya Sang Raja ketika hendak turun dari podium.
"Kami baik, Komandan." Jawab Aria riang, Komandan adalah panggilan buatan Aria, tak semua orang tahu atau menggunakannya. Jika Raja mendengar panggilan itu, dia bisa langsung menebak siapa orangnya.
"Kau tak pernah berubah ya, Aria." Lanjut Sang Raja. "Mari Yang Mulia, silahkan lewat sini." Potongku, mengarahkan Sang Raja kembali ke istana. Dia hanya tersenyum sekilas, kembali melanjutkan kegiatannya.
Malam harinya terasa lebih menyenangkan, malam Festival Vermillion yang didatangi banyak orang. Untuk inilah kami bersusah payah mendapat shift pagi. Mana mau kami melewatkan malam Festival. Atmosfer Vermillion terasa lebih hangat daripada sebelumnya. Aku menggunakan celana panjang dan jas ksatria, dan Aria menggunakan dress khas Vermillion. Kenapa aku tak pakai dress juga? Malas, aku malas. Kami menikmati berjalan jalan di Festival. Aku juga membawa salah satu penemuanku, benda untuk merekam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hefistus || FanFiction || ViFan
FantasyKebahagiaanku hanya dirinya. Ia yang bersinar layaknya Sang Mentari, ia yang tersenyum semanis madu. Aria Algaea, mentariku yang berharga. Aku pasti akan membawamu pulang ...