03

2 1 0
                                    

"Silahkan, satu Fruit punch dan satu Americano nya."

Suara waitress cafe yang menyuguhkan minuman yang telah mereka pesan 5 menit lalu itu akhirnya memecah keheningan canggung yang tercipta di antara mereka.

"Sudah lama banget ya kita gak ketemu." Ucap Ilham. Mungkin itu yang meyebabkan tidak terhindarinya kecanggungan yang tercipta diantara mereka. "Saya juga lupa deh kapan kita terakhir ketemu," lanjutnya sambil menyeruput pelan Americano pesanannya.

Mela tertawa canggung. "Iya sama kak." Kalimat penuh kebohongan itu meluncur dengan mudah dari mulutnya.

Ilham mungkin lupa, wajar jika Ilham lupa, Namun Mela selalu mengingatnya, sudah pasti Mela mengingatnya. Mela bahkan masih bisa mengingat perasaan putus asa yang melingkupi dirinya 7 tahun yang lalu itu, ingin menghentikan waktu barang 5 detik saja agar bisa lebih lama berbagi momen yang sama dengan lelaki itu.

"Hei, sorry baru gabung. Tadi ada urusan sebentar sama panitia eventnya." Sahutan Sonya yang terdengar dari balik punggungnya itu membuat Mela tanpa sadar menghela nafas lega, hampir saja keheningan canggung yang ada di antara mereka berlanjut lagi.

"Loh Sonya?"

"Eh, Kak Ilham? Production Manager PH Mentari yang Mela maksud itu ternyata kakak?"

Sama seperti kak Ilham, Sonya juga tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat mengenali sosok yang kata Mela melalui private chat mereka beberapa menit lalu, menawarkan untuk membeli hak adaptasi novel kawannya itu dalam bentuk series televisi.

Suara tawanya yang renyah terdengar. "Kenapa syok gitu? Banting stir banget ya dari image aku di zaman SMA dulu?"

Sonya sontak ikut tertawa karena setuju dengan pernyataan Ilham. Mela sendiri juga tidak menyangka jika Kak Ilham yang saat SMA dulu lebih sering ia temukan hanya menggunakan kaos polos dengan kemeja seragam yang ia pakai sekena 'nya saja bahkan saat jam kelas, adalah Kak Ilham yang sama dengan yang duduk di depannya sekarang, rambut yang dulu ia biarkan panjang itu sudah dipangkas hingga cepak, penampilannya yang sangat necis dengan kemeja berwarna biru muda yang ia padankan bersama jas berwarna hitam memang cukup terasa asing bagi Mela.

"Pantes, bertahun-tahun aku tunggu tampil di TV bareng The Kingdoms, tapi kok enggak muncul-muncul." Gurau Sonya di tengah gelak tawanya.

Ilham tersenyum getir mendengarnya. "Ya maklum lah, jadi musisi itu hanya sekedar impian anak ABG saja." ia kembali menyesap Latte miliknya. Realita sudah menyadarkannya kalau bermimpi adalah hak yang hanya dimiliki oleh anak-anak belasan tahun saja.

"Eh, kalian dari zaman SMA gak bosen-bosen ya bareng mulu, sampai sekarang lanjut jadi partner kerja bahkan." Ilham mengalihkan pembicaraan mereka, enggan membahas mimpi yang sudah lama ia kubur itu lebih jauh lagi.

Ilham lebih dulu mengenal Sonya daripada Mela, namun sejak sebelum ia kenal Mela pun ia sudah mengenal perempuan itu sebagai anak yang selalu bersama dengan Sonya setiap saat. Kalau ada Sonya sudah pasti ada Mela di sana, begitu pun sebaliknya.

"Iya nih Kak. Mela gak bisa jauh-jauh dari aku soalnya."

"Kamu kali yang gak bisa jauh-jauh dari aku."

"By the way, Saya ikut bangga deh sama kamu Mel. Berhasil tetap teguh sama mimpi kamu." Lelaki itu berusaha menangkap manik matanya yang berusaha menghindar, Mela hanya tidak ingin berharap lebih banyak lagi.

"Tulisan-tulisan karya kamu selalu jadi hal pertama yang saya baca di Mading sekolah." Sebuah desiran aneh yang sudah lama tidak pernah ia rasakan itu muncul lagi.

"Since then, I know you'll be a great Writer."

Bahkan setelah bertahun berlalu pun Kak Raja ternyata masih ingat.

Unsent MessagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang