Bab 1 : Satria Kawirangan

14 0 0
                                    

"Naik sendiri, Neng?"

Gadis itu mengangguk singkat, dengan mulut yang masih terkunci rapat-rapat. Sejak tiba 20 menit lalu di basecamp ini, ia sama sekali belum mengatakan sepatah kata pun. Hanya orang-orang yang berbaik hati bertanya padanya, mau anggap ia sebagai wujud nyata yang benar-benar ada di sana.

"Emangnya nggak takut?" petugas simaksi itu kembali bertanya, sembari memeriksa formulir yang diserahkan oleh si gadis. "Orang-orang mah paling sedikit muncak berdua. Tapi ada juga sih yang sendirian, cowok."

Gadis itu masih diam. Pada akhirnya si petugas simaksi mengalah. Lelaki yang berusia sekitar 40 tahunan itu lantas menyerahkan selembar kertas berisi peraturan-peraturan yang mesti ditaati oleh pendaki. "Neng bisa baca ini, pantangan yang nggak boleh dilakukan selama mendaki di gunung ini."

Gadis pendiam itu menerimanya, dengan kepala yang terangguk sebelum berlalu dari loket simaksi. Petugas yang tadi berada di loket, keluar untuk mengamatinya. Aneh sekali gadis muda itu, karena berani mendaki seorang diri. Namun, masih banyak pendaki aneh lainnya yang lelaki itu jumpai. Barangkali memang beginilah cara anak-anak muda jaman sekarang dalam mengobati kesepian mereka; dengan mendaki, dan menjadi selangkah lebih dekat pada alam. Atau jangan-jangan, buat menyembuhkan luka hati? Tak ada yang tahu. Sebab niat mereka tersimpan rapi di relung sanubari masing-masing. Tak ada yang bisa mengoreknya kecuali Tuhan.

"Semoga selamat sampai tujuan," panjatkan si petugas sebelum masuk kembali ke biliknya.

***

Bagi Nay Ridu Manik, alam merupakan tempat yang paling cocok untuk bermeditasi; merefleksikan diri. Bukan berarti ia bersemedi di atas sebuah batu dengan dua telapak tangan yang ditangkupkan. Tetapi dengan diam mendengarkan suara Tuhan melalui pepohonan, rumput, tanah, angin, dan binatang-binatang yang mencari makan pun, itu dianggapnya sebuah meditasi. Cara menemukan satu jiwa yang murni, yang sesungguhnya selalu bersemayam jauh di dalam kita, seperti seekor angsa putih yang malu-malu. Maka darinya Manik perlu menggalinya hingga masuk ke jantung gunung; merelakan diri untuk tersesat di tempat-tempat yang tak berpenghuni manusia.

Manik menyukai petualangan di setiap gunung yang telah ia daki. Sebab hanya lewat petualangan kecil itu, ia jadi bisa belajar banyak hal tentang hakikat hidup. Gunung selalu menyediakannya sebuah perjalanan penuh misteri yang belum pernah ia tempuh. Itu adalah sekelumit alasan mengapa Manik akhirnya bisa berada di gunung ini, Gunung Ciremai. Berbekal carrier yang berisi perlengkapan logistik, dan tentu tekad yang kuat meski seorang diri.

Dalam mendaki Gunung Ciremai, Manik memutuskan untuk menjajal jalur Palutungan. Tak sependek jalur Apuy, dan tak juga selelah jalur Linggarjati. Jalur ini mengingatkan Manik pada sebuah film yang kontroversial, The Hunger Games bagian kedua. Di mana para pesertanya—The Tributes—dilemparkan ke sebuah hutan tropis untuk saling membunuh demi bertahan hidup. Mengerikan memang, tapi entah mengapa justru rasa ngeri itu memberikan sensasi tersendiri bagi Manik; membawa sebuah kepuasan yang tak bisa dijelaskannya lewat kata-kata. Ia senang melihat orang-orang yang mempunyai tipu muslihat di kepala mereka, mati dengan cara-cara yang aneh. Film tersebut memberi makna pada Manik, bahwa manusia dapat berubah menjadi makhluk paling berbahaya di bumi. Lebih-lebih dari makhluk jahat yang diciptakan oleh antek Presiden Snow itu sendiri. Gila, memang sebuah film yang gila, kata batinnya.

Manik terus berjalan. Ia begitu fokus pada medan di hadapannya yang akan membawanya ke pos IV, yang tentu makin terjal dari Pos I, II, III, IV dan V. Setiap kali naik gunung, Manik tak pernah memberi target pada dirinya untuk sampai tujuan sesuai dengan waktu tempuh. Misalnya saat di bawah sana, dari gapura Palutungan menuju Pos I Cigowo sebetulnya dapat dijangkau dalam waktu 2 jam. Tapi Manik sampai di Cigowo setelah 3 jam berjalan. Gaya mendakinya memang santai. Lagi pula, apa yang mau diburu kalau bukan pengalaman, pelajaran, dan panorama di setiap perjalanan?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 27, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Margaretha van der LijnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang