Jam istirahat sudah berakhir. Para murid di kelas Haning bersiap untuk keluar kelas menuju lapangan outdoor. Materi pembelajaran mereka hari ini adalah bola besar, dan bab yang kali ini dipelajari ialah basket. Semua murid berjalan beriringan segerombol, berpasang-pasangan, kecuali Haning. Anak itu terlihat menyendiri, atau bahkan memang disendirikan oleh yang lain dan tidak ditemani? Entahlah.
"Oke, semuanya lengkap ya." ujar guru olahraga setelah mengabsen semua murid.
Mereka semua melakukan pemanasan dan perenggangan badan sebelum ke pelajaran inti. Selesai dengan itu, guru olahraga pun memberikan pengajaran mengenai teknik dasar basket. Beliau mengenalkan tiga teknik dasar untuk minggu ini, yakni dribbling, passing, dan shooting. Beliau mempraktekkan di depan para murid.
Setelah menjelaskan tiga teknik dasar tersebut, ternyata bel urgent berbunyi, berisi tentang informasi bahwa para guru harus berkumpul di ruang guru untuk melakukan rapat dadakan. Akhirnya, guru olahraga pun memberikan tugas pada mereka. Mereka diharuskan untuk latihan mandiri dan praktek tiga teknik dasar yang telah diajarkan tadi.
Saat guru olahraga sudah melenggang pergi, Haning akhirnya bisa bernafas lega. Tak seperti teman-temannya yang lain yang begitu bersemangat berlatih bersama, Haning justru hanya duduk di kursi yang ada di pinggir lapangan. Dia hanya duduk sembari melihat-lihat ke sekeliling dan memantau teman-temannya yang bermain.
Dia pikir enak jika tak punya teman, tapi ternyata sebaliknya. Haning akan kerepotan untuk berbaur dengan yang lain untuk praktek bersama jika mereka semua mengucilkan Haning seperti ini. Karena itu, Haning jadi kalut dalam lamunan. Dia terduduk dan menunduk diam. Tak lama, teman-temannya ada yang histeris dan saling berbisik, membuat Haning mendongakkan kepala dan ingin tahu apa yang terjadi.
"Hadehh.. dia lagi." seketika Haning melengos saat pandangan matanya bertemu dengan Maurel yang berjalan menuju lapangan ini.
"Maurel.."
"Hai, Maurel.."
"Maurel.. ih, cakep banget sih!"
"Maurel.."
Celotehan yang keluar dari mulut teman-teman Haning itu sukses membuat Haning terganggu. Dia refleks menutup kedua telinganya dengan tangan, tak kuasa tatkala mendengar puja-pujaan yang keluar dari mulut temannya yang menggandrungi Maurel.
"Gimana, cil?" Maurel terduduk di sebelah Haning.
Cil? Bocil gitu maksudnya?!
"Ngapain sih anjir malah kesini? Udah tau fans-fans lo pada ga seneng sama gue." kata Haning memutar bola matanya.
"Yang lain pada semangat praktek kok lo doang yang lemes gini?" tanya Maurel.
"Ya menurut lo?" Haning sewot.
"Dikucilin? Ga punya temen ya? Sini, praktek sama gue aja." kata Maurel.
Maurel berdiri dari duduknya dan mulai mengambil satu bola basket yang menganggur tergeletak di lapangan. Dia berbalik menatap Haning yang saat ini justru tengah memberi lirikan sinis.
"Sama aku yuk, Maurel.."
"Sini Maurel sama aku.."
"Mau praktek sama Maurel juga dong.."
Sayup-sayup suara para pemuja Maurel kembali terdengar, dan itu cukup membuat Haning muak.
"Hadehhh.. jangan pada muja dia deh, liat tuh mukanya jadi sok kecakepan gitu." ujar Haning pada semua temannya.
Tapi teman-temannya itu tak peduli dengan ucapan Haning. Mereka hanya terus berusaha menarik simpati dari Maurel.
"Iya, boleh, sini praktek sama gue." ujar Maurel menimpali semua orang yang ingin melakukan praktek dengannya.
Karena Haning hanya terus diam dan duduk di tempat, Maurel pun meladeni teman-teman Haning. Ia mengajari semua teman Haning yang memang ingin diajari. Maurel juga sesekali show off kepada semua yang ada disitu mengenai skill-nya. Dia mencontohkan bagaimana cara dribbling yang benar, cara passing yang sesuai, dan cara shooting yang akurat.
Berbeda dengan teman-temannya yang bertepuk tangan setelah melihat Maurel melakukan aksi keren, Haning justru tetap terpaku diam sembari menatap mereka semua dengan tatapan heran.
"Ck, kok bisa sih pada muja-muja Maurel? Biasa aja padahal." Haning melengos dengan kedua tangan ia silangkan di depan dada.
Dugh!
Bola basket itu menggelinding pelan hingga menabrak sepatu Haning, membuat si empunya melirik bola itu lalu menatap ke arah siapa yang sudah menggelindingkan bola itu ke arahnya. Disana ada Maurel yang tersenyum manis pada Haning. Dengan seragam yang sudah tak beraturan itu, nyatanya Maurel masih terlihat menawan meski kemeja seragamnya telah keluar dari rok, dan dasi yang ia pakai juga sedikit melonggar.
Dia sedikit berlari dan mendekat ke Haning yang masih saja betah untuk duduk terdiam. Maurel melepas dasinya, lalu membuka kemeja seragamnya. Kini kaos putih polos yang ia kenakan di dalam seragamnya itu jadi terpampang. Teman-teman Haning makin histeris karena bagi mereka Maurel semakin menawan di mata mereka.
"Eum.. guys, ini Haningdia, kalian juga pasti udah kenal sih. Dia anak baru di kelas kalian kan? Dia baru masuk dua mingguan, tapi udah berani nyiram gue pake es cendol waktu itu." ujar Maurel yang tiba-tiba mengenalkan Haning pada semua murid.
Haning yang masih terduduk itupun mendelik, ia mendongak pada Maurel yang berdiri di sampingnya dan masih mengoceh itu.
"Gue tau kalian pasti jadi benci dan ngejauhin Haning karena insiden itu. Tapi jangan lagi ya sekarang. Lagian gue gapapa kok, gue udah ngerasa biasa aja sama kejadian waktu itu, jadi gue harap kalian juga mulai biasa aja sama Haning. Temenin dia ya kalo pas lagi di kelas, jangan dikucilin. Diajak main, diajak belajar bareng, diajak ngobrol bareng, diajak makan bareng juga. Gue nitipin Haning ke kalian ya, gue harap kalian bisa berteman baik sama Haning setelah ini." ujar Maurel, mengakhiri kalimat panjangnya sampai disitu.
Teman sekelas Haning itu semuanya terdiam, mereka mendengarkan ucapan Maurel dengan seksama sembari menatap Maurel dengan senyum. Mereka kompak mengangguk tatkala Maurel selesai dengan ucapannya. Pandangan mereka semua kini beralih ke Haning. Mereka memberikan tatapan teduh dan senyum yang tulus untuk Haning.
Maurel melirik ke Haning, menurunkan pandangannya. Ditatapnya wajah cewek berponi itu yang terbingung. Maurel tertawa karena ekspresi bingung yang Haning berikan untuknya.
"Kalo kita sekelas, mungkin gue masih bisa temenin lo pas lo lagi sendiri atau dikucilin. Tapi karena kita ga sekelas, gue jadi susah buat nemenin lo setiap saat. Jadi, gue bilang gitu ke mereka supaya lo punya temen. Supaya enak kalo mau apa-apa tanpa gue perlu khawatir lagi nanti." kalimat itu keluar dari mulut Maurel begitu saja, dan tentu Haning merasa heran pada kalimat terakhirnya.
"Have fun ya, gue tau lo pasti ga cocok sekolah di sekolahan khusus cewek kaya gini. Bokap lo nyuruh lo pindah kesini juga biar lo deket sama gue karena kita bentar lagi jadi kakak-adek. Gue jadi merasa bersalah karena itu. Pasti lo udah terlanjur nyaman juga di sekolah lo yang lama. Tapi semoga lo bisa beradaptasi dan betah ya sekolah disini." ujar Maurel sekali lagi.
Tak ada balasan apapun dari Haning. Dia masih menatap bingung ke Maurel.
"Eumm.. gue ga pengen ganggu lo praktek. Lagian lo pasti ga mau kan kalo gue liatin pas lagi praktek. Gue pergi dulu ya, kalo ada apa-apa lapornya ke gue, jangan ke yang lain. Paham, adek?" kata Maurel tersenyum sembari memberikan pat-pat lembut di pucuk kepala Haning.
Adek?!
Haning mendelik. Apa-apaan itu barusan? Maurel sudah lancang memberikan pat-pat di kepalanya, dia juga memanggil Haning dengan sebutan adek? Oh ayolah, jika mereka resmi menjadi saudara nantinya, tak akan ada yang memanggil kakak maupun adik. Maurel memang lebih dulu lahir, hanya saja usianya dengan Haning tak jauh berbeda. Haning hendak marah, tapi Maurel sudah lebih dulu berlari dan melenggang pergi.
—————•••—————
Hai-haiiiii... so far gimana nih cerita ini menurut kalian? Gue pengen tau dong pendapat kalian soal 'Step-sister' ini hehe..
Oh iya, jangan lupa vote dan komentarnya ya, karena itu sangat berarti banget buat gue. Happy weekend! 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Step-sister | bbangsaz
FanfictionSampai kapanpun Haning nggak akan pernah ikhlas kalo Papanya nikah lagi, apalagi nikahnya sama Mamanya Maurel. Haning nggak mau tinggal seatap sama Maurel, cewek paling nyebelin yang pernah Haning kenal. ❏ bbangsaz lokal story ❏ gxg, harsh word © ka...