43: Rasa yang Masih Sama

283 20 3
                                    

꧁ Selamat Membaca ꧂

꧁ Selamat Membaca ꧂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⚫ ⚫ ⚫

Kedua matanya mengerjap perlahan, menyesuaikan silau bias cahaya yang memancar dari pintu yang dibiarkan terbuka lebar. Laki-laki itu berusaha bangun dari tidurnya di sofa dengan bertumpu pada kedua siku.

Arka mengernyitkan dahi, masih ada sisa rasa pening di kepalanya. Tapi, tunggu ... kenapa ia merasa keningnya hangat dan basah, ya?

“Kompres? Siapa?” beo Arka, begitu tangannya bergerak melepaskan sapu tangan yang masih basah dan terasa hangat dari keningnya.

Terdengar dentingan alat makan dari arah dapur, membuat Arka tersadar dari lamunan sejenaknya. Begitu dia menengok ke arah sumber suara, Arka menemukan Bunga berjalan mendekatinya dengan nampan yang perempuan itu bawa.

Kontan, Arka membelalakkan mata terkejut. “Loh, Bunga?”

Perempuan dengan mata bulan sabit ketika tersenyum itu meletakkan nampan di atas meja. “Kak Arka udah dari tadi bangunnya?” tanya Bunga seraya mengambil duduk di samping Arka.

Belum selesai Arka dari keterkejutannya, tiba-tiba Bunga mengulurkan telapak tangan di keningnya untuk mengecek suhu tubuh Arka. “Udah turun demamnya,” gumam perempuan itu, yang justru membuat respon tubuh Arka membeku tak bergerak.

“Ini tadi aku bawain obat penurun demam buat Kak Arka, buat Kakak minum habis makan. Tapi ternyata demam Kak Arka udah turun. Jadi Kak Arka makan aja, ya. Ini udah aku masakin sup ayam. Kak Arka suka makan sup, nggak?” tutur Bunga panjang lebar seraya mengangkat mangkuk berisi sup ayam ke hadapan Arka.

“Maaf aku main asal nyelonong aja ke dapur, soalnya Kak Arka tadi tidurnya pulas jadi aku nggak enak banguninnya,” jelasnya lagi.

Tidak mendengar tanggapan Arka sepatah katapun, membuat Bunga mengangkat kepala, melihat apa yang sedang Arka lakukan hingga tak memberikan respon untuk ucapannya.

“Kak?” panggil Bunga begitu mendapati Arka yang sedang tercenung, entah apa yang sedang laki-laki itu pikirkan. “Kak Arka ...,” ulangnya lagi.

Arka gelagapan. “Hah? Eh, i-iya,” sahutnya begitu tersadar, sedikit tergagap dengan gestur cenderung grasak-grusuk. Ternyata ini bukan mimpi, batinnya.

“Lo ..., kok bisa di sini?” tanya Arka. Pelan-pelan berusaha untuk menggenapkan seluruh kesadaran atas kehadiran Bunga di hadapannya memanglah nyata.

Bunga hanya tersenyum tipis seraya mengangkat mangkuk sup itu memaksa Arka untuk menerimanya. “Makan dulu, Kak. Ini supnya udah mulai dingin,” ujarnya lembut, mengendikkan dagu mengarah pada mangkuk yang sudah ada di kedua tangan Arka.

Coba katakan padanya, sudah berapa lama Arka tidak melihat senyum cantik perempuan di hadapannya ini? Tatapan malu-malu setiap kali Arka memandang mata bulat indah itu, juga suara yang selalu cenderung terdengar rendah. Arka merindukan semuanya, sangat. Perasaannya tidak pernah berubah, irama detak jantungnya selalu meningkat setiap kali ia berada di dekat Bunga, juga debar hangat yang memenuhi dadanya. Semua masih terasa sama bagi Arka.

Tuhan, bolehkah Arka meminta sejenak saja dia ingin menjadi serakah. Dia ingin merasakan perasaan seperti sekarang untuk bertahan lebih lama. Setiap momen kebersamaannya dengan Bunga, Arka ingin merasakannya terus-menerus, berpuluh, bahkan beribu kali, ia masih akan tetap menyukainya.

Karena ia akan terus merindukan Bunga.

彡✿❦彡✿❦彡✿❦彡✿❦

“Lo tau ...” Arka menjeda, membasahi tenggorokannya sejenak. “Gue nggak baik-baik aja, Bunga. Gue lagi nggak baik,” ungkapnya.

“Maaf,” luruh sudah pertahanan diri Bunga. “Aku minta maaf, Kak ....”

Kala itu, ketika semua pertahanan diri Bunga meluruh, Arka berusaha memangkas jarak di antara mereka, seolah ingin meraih Bunga ke dalam dekapannya. Perempuan yang beberapa hari ini menjaga jarak darinya, kini ada di hadapannya, menghadirkan kembali perasaan yang tidak bisa Arka jabarkan. Ia suka irama ketika jantungnya berdetak kencang, darah di dalam tubuhnya terasa mengalir hangat. Dan perasaan ini, hanya ia dapatkan ketika hanya bersama Bunga.

Namun, belum sempat dia meraih Bunga, Arka seketika merasa pandangannya menggelap sebelum benar-benar kehilangan kesadaran.

“Bego! Bego! Bego!” geram Arka sambil menjambak rambutnya sendiri. “Jadi tadi gue tuh pingsan?” monolognya sendiri.

Bodoh memang! Bisa-bisanya dia pingsan di hadapan Bunga, dan harus membuat perempuan itu membopong tubuhnya masuk ke dalam rumah sendirian. Arka sangat sadar diri bahwa ia memiliki bobot yang berat, jadi, bisa dibayangkan bukan seberapa sulit Bunga harus memindahkan tubuhnya yang hilang kesadaran itu ke sofa di dalam rumahnya.

Arka menghela napas, masih dengan merutuki dirinya sendiri yang ceroboh dan sudah merepotkan Bunga. Namun, tidak bisa dia pungkiri, jauh di dalam hatinya, Arka merasa begitu bahagia. Ada perasaan lega yang melingkupinya ketika ia bertemu dengan Bunga, seolah beban-beban yang berpangku di pundaknya jatuh perlahan.

Laki-laki itu mematikan kompor, memindahkan sup ayam—buatan Bunga—yang ia panaskan ke dalam mangkuk. Lalu beranjak dan duduk di sofa ruang tamu.

Sup ayam buatan Bunga, kenapa rasanya enak sekali. Rasanya persis seperti yang Bibi buat. Seraya menyuapkan potongan wortel ke mulutnya, manik itu berpendar. Menatap obat yang Bunga siapkan untuk Arka sebelum perempuan itu pergi. Lalu, pandangan Arka tertuju pada satu bingkai foto.

Bukankah, foto itu selalu tersimpan rapi di dalam lemari yang tidak jauh dari sofa. Tapi kenapa kali ini tergeletak begitu saja di atas meja—tempat Bunga meletakkan obat untuk Arka.

Arka tidak bisa mendefinisikan, bagaimana perasaannya sekarang. Berarti Bunga sudah mengetahui bahwa Arka adalah Vano.

Memikirkan itu, membuat detak jantung Arka berdentam sangat kencang, darahnya serasa mengalir cepat. “Ternyata, lo udah tau ...”

⚫ ⚫ ⚫

Terima kasih sudah membaca Find Yourself!🩵💙

Sampai jumpa di bagian cerita selanjutnya🙌🏻🙆🏻‍♀️

140923

Find Yourself!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang