Niki berjalan memasuki kantor polisi dengan perasaan kalut. Seorang satpam berjalan mendahuluinya, membawanya memasuki sebuah ruangan dengan beberapa kubikel kosong. Sneakers yang Niki kenakan di rumah sakit sudah berganti menjadi sandal rumah kebesaran--setidaknya sedikit lebih baik daripada menginjak tali sneakers yang terus terlepas karena ketidak-fokus an gadis itu.
Kakinya berhenti di depan kubikel terakhir. Duduk di baliknya, pria dengan sepasang mata elang yang sejak tadi memenuhi pikirannya. Satpam yang berpamitan hanya ia tanggapi dengan anggukan kecil seiring keringat dingin turun membasahi pelipisnya.
Niki menguasai keadaan dengan cepat, mengalihkan pandangan ke jeruji besi tepat di sisi lain ruangan. Sebuah wajah familiar lain menyapanya dengan cengengesan. Saat itu juga, walaupun seharusnya tidak, Niki bersyukur orang itu ditahan ketika ia datang.
"Wah, mbak psikolog," sapa orang itu sambil melambai ke arah Niki. Ia lalu beralih ke polisi yang berjalan dari arah belakang. "Heh, bapak pol! Saya kenal mbak itu. Iya, saya kenal. Mbak ingat saya, kan?"
Niki menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk tidak tertawa. Tanpa ia sadari, sosok yang ia hindari tatapan matanya juga tertawa kecil.
Polisi pun membentak si tahanan, "Harap tenang, pak!"
Niki menyudahi gelak batinnya. Siap kembali ke tujuan awal ia datang yang sempat terlupa. "Maaf, pak, apa... apa bapak itu pelaku penusukan yang barusan?" tanyanya hati-hati.
"Iya, mbak nya kenal dengan pelaku atau korban?"
Niki mengangguk. "Ya. Saya kenal keduanya." Perlahan, ia mendekat ke arah tahanan itu dan berjongkok di hadapannya. "Pak... Pak... Bapak bisa dengar saya?" Tangannya melambai berkali-kali di depan wajah pria itu. Si tahanan masih bertahan dengan senyuman aneh dan mata yang kosong.
"Mbak tambah cantik. Pasti sering pake bedak ular, ya? Atau deodoran kuning?"
Pria di kursi tertawa keras. Kontras dengan polisi di sebelahnya yang salah tingkah dan merasa tidak enak.
"Waduh. Maaf mbak, bapak ini sepertinya mabuk berat. Sudah kami periksa tadi untuk kadar alkoholnya. Sebaiknya jangan terlalu dekat, takutnya--"
"Nggak apa-apa, pak," sanggah Niki. Ia tidak takut sama sekali, toh mereka dipisahkan oleh besi-besi yang terlampau kuat. Niki menarik sebuah kartu nama dari balik casing handphone nya, mengulurkan tangannya ke arah si polisi agar bisa diambil. "Saya psikolog. Bapak ini pernah konseling di saya. Kebetulan sekali bisa ketemu di sini."
Polisi itu menelusuri kartu nama Niki buru-buru. "Oh, begitu ya mbak... Kira-kira, nanti kalau keterangan dari mbak dibutuhkan, apa kami bisa menghubungi mbak?"
Niki tersenyum tipis. "Tentu."
Gadis bergaun putih itu bangkit dari posisinya, hendak mengikuti polisi yang kini tampak akan meninggalkan ruangan. Sebelum sempat menyusul, pria di kursi mencekal pergelangan tangannya dengan keras. Suara-suara di telinga Niki menyuruhnya untuk memberontak, tapi tubuhnya menolak diajak kerjasama.
Suara berat pun segera bergema. "Cia? Is that you?"
--
"Damn it." Niki memaki dengan keras tepat setelah menemukan titik sepi di kantin kantor polisi.
Kantin itu gelap dan sudah tidak berpenghuni karena baru jam 5 pagi. Juga menjelaskan kenapa hanya sedikit petugas yang terlihat berlalu-lalang. Mungkin baru akan ramai dalam setengah sampai satu jam.
Kepalanya berdenyut. Sesi konseling yang cukup alot, disusul kabar tentang Max, penerbangan yang melelahkan, lalu bertemu pria itu. Pria yang bahkan enggan ia sebut namanya, namun sialnya masih membuat jantungnya berdebar meski bertahun-tahun telah berlalu.
Niki memang berhasil menyentak cekalan pria itu setelah kalimat pertamanya. Suara itu saja sudah cukup untuk menjadi alarm penanda bahaya. Pria itu tidak mengejarnya. Oh, tentu saja, itu tidak mungkin terjadi, kan?
"Cia? Cia, buka pintunya. Kita harus bicara. Aku tahu itu kamu."
Niki memaki lagi, kali ini tanpa suara. Prediksinya salah lagi. Cukup lama gadis itu bergeming di tempatnya, menimbang-nimbang apakah ia harus berbalik badan dan melepaskan genggamannya pada gagang pintu atau tidak. Menimbang-nimbang apakah ia harus menanggapi pria itu atau berlari tepat setelah membuka pintu. Atau, apakah sebenarnya ia benar-benar siap berurusan dengan pria itu lagi atau tidak.
Pikirannya boleh berkelana, tapi tangannya bergerak di luar kendalinya. Niki, layaknya orang berkepribadian ganda, memasang senyum paling lebar yang ia bisa. Matanya langsung ia paku pada tali hoodie yang pria itu kenakan, sudah tahu kalau ia mungkin akan bertingkah bodoh kalau menatap mata itu lagi.
"Hai, Bas," ujarnya dengan nada ceria. "Sorry, tadi agak chaos jadi gue nggak sempat nyapa lo balik. Gue agak sibuk, maybe let's talk again later?"
Pria itu, Baskara, menangkap tangan Niki lagi. "Sebentar aja. Kita udah nggak ketemu bertahun-tahun. Sedikit pembicaraan kecil nggak akan membuang waktu kamu sia-sia, kan?"
Senyum gadis itu pun luntur. Semudah itu. Semudah itu Baskara memperlakukannya seolah mereka teman lama yang masih akrab. Memikirkannya saja membuat darah Niki seketika mendidih. Ia menyentak kasar, sekali lagi melepaskan pegangan pria itu.
"Harusnya emang kita nggak ketemu, kan?"
"Cia..."
"Kayak yang lo bilang terakhir kali. Akan lebih baik kalau gue menghilang. Nggak seharusnya ada pembicaraan kecil apa pun antara gue dan lo."
Barangkali, memang ini yang harusnya dilakukan Niki dari awal. Menegaskan mereka dan segala batasannya.
Bahwa Baskara sudah resmi bukan bagian dari kehidupannya sejak lima tahun silam.
--
Brak!
"Heh, bangsat, bisa-bisanya lo sakit pas gue mau lamaran." Ius mendumel usai membuka kasar pintu kamar rawat Max. Pria jangkung itu tidak sekacau Niki. Penampilannya rapi dengan setelan kantor dari atas ke bawah. Kalau kata teman-teman SMA mereka dulu, Ius adalah satu-satunya di antara mereka bertiga yang paling andal perihal jaga image. Terbukti, bahkan di depan sahabatnya selama satu dekade, Ius masih terlihat rapi seperti biasanya.
Max memutar matanya jengkel. "Aelah. Nggak lo, nggak Niki, bisanya ngomelin gue mulu." Max menjeda untuk mengangkat pakaiannya, memperlihatkan perban yang melingkar di bagian perut. "Harusnya lo pada tuh prihatin sama kondisi gue."
Ius gelagapan. "Selama lo masih belum di penghujung ajal, gue nggak bakal khawatir." Pria jangkung itu pun mendudukkan diri di sofa seberang brankar. "Eh, Niki mana?"
"Katanya mau pergi ke kantor cabang. Belum lama, kok, perginya. Emang nggak pas-pasan sama lo?"
Ius mengernyit. Mencoba mengingat-ingat kembali apakah tadi ia melewati sesosok perempuan tinggi dengan rambut panjang. "Hah? Nggak tuh."
Max mengangkat bahu.
Yang bertanya pun memutuskan untuk berselancar di internet sebentar, diikuti Max yang memilih berbaring sambil memandangi langit-langit. Tak lama, gebrakan pintu kedua terdengar.
Brak!
"Pagi." Suara dalam memantul di dinding-dinding.
Alih-alih membalas sapaan itu, Max justru menoleh ke arah Ius. Penasaran dengan reaksinya. Apakah laki-laki itu akan marah? Apakah perkelahian akan segera pecah di kamar ini? Kalau iya, itu akan menjadi tontonan yang sangat menghibur. Ius sendiri terpaku beberapa saat dengan mulut yang sedikit menganga. Ia bahkan tidak berkedip sekali pun.
Max berdeham. "Bro, gue bisa--"
"BAS! OH SHIT, LO..."
--
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Untied Lies
RomanceNiki adalah seorang psikolog yang senang berpetualang. Hampir semua tempat di Indonesia sudah ia kunjungi, tapi ada satu yang--Niki bersumpah demi bulu ketiak Max--tak akan ia kunjungi lagi: Jakarta. Tak peduli sebesar apapun wilayah itu dan sekecil...