1.2 Rumah Cely

29 4 0
                                    

Pada saat ini tepat pada pukul 12.00 malam, Sergio masih berada di kafenya dengan alasan ingin mengenalkan menu baru kepada Cely sebelum orang lain mengetahui menu ini.

"Croissant?" Cely menatap Sergio yang mengambil dua croissant. Setelah diletakan di piring, Cely melihat croissant tersebut, dan kembali menatap Sergio. "Kamu-"

"Kamu suka croissant kan?"

Ah benar, Cely suka sekali roti yang bernama Croissant. Bahkan sangking sukanya, Cely rela pergi ke Paris demi membeli croissant terbaik. Kini pacarnya membuat menu baru, dan menunya berupa makanan favorit Cely. Langsung saja Cely peluk dan cium bibir Sergio berkali-kali sangking senangnya.

"Suka..." Cely mencium bibir Sergio dengan singkat, Cely menjeda kecupannya lalu dilanjutkan setelah Cely mengucapkan, "banget," Cely mencium Sergio sampai nafasnya hampir habis.

"Aku bakal beli croissant disini, gak perlu lagi pergi ke Paris, makasih ganteng," posisi Cely masih memeluk Sergio. Lelaki itu lega, untungnya Cely menyukai menu baru yang susah payah dia gagas dan pertahankan oleh orang-orang yang menentangnya. Yah, meskipun belum dicoba oleh Cely, setidaknya kerja keras Sergio terbayarkan.

"ENAK PULA," teriak Cely kegirangan setelah mencoba croissant miliknya. "Jam sebelas pagi mungkin aku kesini mau beli croissant, habis itu jam sembilan malam aku kesini lagi mau beli croissant,"

"Kalau niat ketemu aku jam berapa? Kayanya pacar kamu udah jadi croissant aja ya," candaan Sergio mendapat pukulan ringan oleh Cely. "I don't date food you weirdo," Cely mengelus pipi Sergio. "Masa cowok aku cemburu sama makanan,"

"Ya soalnya aku gak perlu takut karena gak ada cowok yang mau dekat sama kamu,"

"Selain maling,"

Sergio tertawa menanggapi candaan Cely, "bener, selain maling," tangan Sergio mengacak rambut Cely. "Kamu sering banget pulang malam, emangnya gak dicariin orang tua kamu?"

"Enggak sih, orang tua aku di luar negeri lagi ada urusan, katanya sih bahas tentang kerjaan," dari nada Cely, Sergio menebak bahwa hubungan kekasihnya dengan orang tuanya tidak begitu baik.

"Jadi rumah kamu gak ada orang?"

"Ada Bu Ratna, Bu Nisa, sama Pak Dasnu satpam rumahku, emangnya ngapain nanya rumah aku? Mau apa hayo," Cely mencolek dagu Sergio, menggoda lelaki yang saat ini salah tingkah.

"Mau cuddle sampai pagi," jawab Sergio asal. Cely cekikikan mendengar jawaban Sergio. "Gak sekalian ngajak ciuman?" tawar Cely.

"Yang itu mau juga sih,"

"Kamu mau ngelakuin sesuatu yang lebih dari sekedar ciuman gak?"

"Kamu yakin memang mau?" Sergio sepertinya tahu apa yang lebih dari sekedar ciuman. Entah nantinya tebakannya salah, setidaknya Sergio membalas ajakan Cely dengan kata-kata yang ambigu, agar tidak malu jika dirinya salah.

"Kamu tau apa yang lebih dari sekedar ciuman?" Cely mendekatkan badannya kepada Sergio. Lelaki itu semakin yakin bahwa jawaban yang ada di pikirannya itu benar.

"Perhaps you want to do it with me?"

"Bener, we can do it in my room,"

•••

Sergio melihat rumah Cely yang sangat besar. Memang benar adanya satpam dengan tulisan Dasnu di dada kiri baju satpam tersebut, dan Sergio bertemu dengan kedua asisten rumah tangga yang bekerja disana.

"Pacarnya ya Cely?" tanya Bu Ratna yang memberhentikan jalan mereka menuju kamar Cely. Perempuan itu menganggukan kepalanya, "tapi pacar rahasia Bu," jawab Cely. Bu Ratna melihat ke arah Sergio memperhatikan wajah lelaki tersebut. Karena canggung, Sergio hanya melambaikan tangannya yang kaku sembari memberi senyuman yang singkat kepada Bu Ratna.

"Oh okelah, siapa aja yang boleh tau Cely pacaran sama..."

"Sergio," potong Cely yang mendapat anggukan dari Bu Ratna. "Sergio, siapa yang boleh tau Cely pacaran sama Sergio?"

"Cuma Bu Ratna doang yang baru tau, Bu Nisa sama Pak Dasnu gak tau kalau kami pacaran. Aku mohon kita bisa jaga rahasia ya Bu," Cely mengangkat jemari kelingkingnya, berharap bahwa Bu Ratna berjanji kelingking kepadanya.

"Okelah Cely, rahasia Cely udah Ibu simpen ya," Bu Ratna mengaitkan jemari kelingkingnya dengan kelingking Cely. "Kalian mau dibuatin makanan apa? Atau Sergionya mau minuman?" Kepala Sergio mengarah kepada Cely. "Aku mau buah-buahan aja, Sergio mau apa?"

Sergio masih tertegun. Seumur hidupnya, dia tidak pernah mempekerjakan asisten rumah tangga. Ibunya bekerja sebagai asisten rumah tangga demi membiayai dirinya sekolah. Bahkan sebelum Sergio bekerja paruh waktu, mereka tidak bisa memilih makanan, jika ada makanan yang masih tersisa di rumah, itulah yang akan mereka makan selama tiga hari.

Baru kali ini Sergio ditanya mau makan apa, apakah tidak masalah jika dirinya memesan banyak makanan? Tapi Sergio takut jika Cely ilfeel kepadanya, dan memutuskan Sergio setelah kejadian ini. Pandangan Sergio kepada Cely nantinya akan sama dengan pandangan Hanif kepada Cely. Sergio takut pilihannya berefek ke masa depan yang buruk baginya.

"Aku juga mau buah aja Bu..."

"Bu Ratna nama saya ya ganteng, kamu juga coba makan salad sayur yang saya buat ya Sergio, mau tau pendapat kamu tentang salad sayur saya,"

"Iya Bu Ratna, aku sama Sergio ke kamar ya Bu," Cely menarik tangan Sergio menaiki tangga. Sergio belum sempat membalas Bu Ratna, tapi sepertinya memakan salad sayur Bu Ratna itu enak.

Cely menuntunnya sampai ke kamar Cely yang benar-benar besar seperti tiga kali lipat ukuran kamar kostnya. Sangking besarnya kamar Cely, perabotan yang terjumlah banyak tidak terlihat sempit sama sekali. Isi kamar Cely berupa lemari besar berwarna putih, sepertinya Cely menaruh seluruh baju dan perhiasannya disana, lalu ada televisi berkuruan besar dan modern, sofa dengan bahan yang empuk, sepertinya Bu Ratna atau Bu Nisa yang membersihkan sofa ini karena sofanya berwarna putih. Tidak mungkin sofa berwarna putih tidak kotor, jika sofanya tidak kotor berarti ada yang membersihkannya bukan. Lalu selain sofa, terdapat meja belajar, ada juga banyak buku yang diletakan di meja belajar tersebut, ukuran kasur yang besar, serta memiliki kamar mandi sendiri di kamar tidurnya.

Jika Sergio adalah Cely, mungkin Sergio tidak akan pernah minggat dari kamarnya.

"Welcome to my room," Cely mempresentasikan kamarnya kepada pacarnya. "We can do it right there," Cely menunjuk ke arah kasur besarnya. Masalah dari Sergio adalah lelaki itu masih melihat sekeliling kamar Cely. Sergio berjalan mengintari kamar Cely yang diikuti oleh Cely kemanapun Sergio pergi.

"Itu lemari isinya baju-baju aku. Ada banyak yang gak aku pakai, seharusnya aku beli lemari yang kecil aja kalau ujungnya baju-baju yang aku beli gak kepake," jelasnya sembari memikir baju yang dia beli tapi tak pernah dipakai. Jika makanan terdapat istilah food waste, maka istilah baju mungkin disebut clothe waste.

Mungkin yang dikatakan orang-orang tentang tidak ingin berpacaran dengan Cely ada benarnya juga. Lelaki insecure melihat barang-barang Cely. Itu pun mereka mengatakannya tanpa melihat rumah serta kamar Cely, bagaimana jika mereka melihat rumahnya? Sudah pasti banyak lelaki yang akan menutup matanya kepada Cely.

Padahal Cely baik dan manis.

"Aku berubah pikiran," ungkap Sergio. Lelaki itu masih melihat sekitaran kamar Cely, bahkan Sergio melihat plafon dan chandelier yang ada di kamar Cely. Jujur chandelier sangat indah dan besar sehingga Sergio lupa menatap Cely sesaat.

"Berubah pikiran kenapa?" Cely takut, seharusnya Cely tidak mengajak Sergio ke rumahnya, karena dia pun juga mengetahui banyak laki-laki yang minder mendekatinya karena Cely ini kaya. Sungguh, Cely suka dengan Sergio, jangan buat salah satu fakta Cely ini membuat dirinya dan Sergio putus.

"Ada tiga orang di rumah ini Cely, kita pacaran diam-diam dan kamu cuma kasih tau ke Bu Ratna, yakin masih mau disini,"

"Saran kamu gimana?" hati Cely lega. Setidaknya Sergio tidak memutuskannya karena melihat kamar mewahnya Cely.

"Ke kost aku mau gak?"

---

Mau tidur bareng aja susah ya, sebenarnya iya karena kita tinggal di Indonesia.

Ini Cerita KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang