Ia bersimpuh di atas lantai berdebu, menghadap jendela raksasa yang menghadap langsung ke sebuah lapangan besar dan hutan belantara yang nampak mendung pun berkabut. Dwimaniknya terpejam, dengan kedua kuasa yang jemarinya saling bertaut. Di antara jemari, tergenggam sebuah liontin salib yang telah usang bak termakan usia.
Selepas membentuk tanda salib dengan sebelah kuasa yang dimulai dengan menunjuk dahi, dada, serta kedua bahunya, ia dikejutkan oleh kehadiran seorang gadis yang duduk di salah satu sofa di belakangnya. Gadis itu bertopang dagu, tersenyum tipis menatapnya.
"Di dunia yang sudah hancur ini, ternyata masih ada manusia yang percaya dengan agama."
"Sejak kapan kau di sana?" Tanpa menjawab, pemuda itu justru berbalik melayangkan tanya. Kedua matanya sekilas berkilat, nampak waspada. "Siapa kau?"
"Beberapa menit yang lalu saat kau masih sibuk berbicara dengan Tuhanmu. Maven Lassiter, ML84431A." Sang gadis menjawab dengan santai, lantas bangkit sembari bersedekap, perlahan mendekati si pemuda walau jelas, langkahnya nampak waspada dan berjarak. "Biar kutebak. Distrik 8? Atau 9?"
"Sembilan." Pemuda itu menjawab singkat, lantas ikut bangkit dari posisinya. Kedua matanya tak lepas memandang si gadis asing yang tengah memutari tubuhnya bak bumi berotasi dengan matahari sebagai pusatnya. "Samael Huang. SH42231A."
Gadis itu—Maven—mengangguk seraya membentuk huruf 'O' dengan mulutnya, seolah sudah menduga jawaban yang meluncur dari alat wicara si pemuda—Samael. "Oh, tentu. Distrik 9 dihuni oleh jutaan manusia dari ras asiatic mongoloid, ras terbesar yang masih bertahan di muka bumi, ras yang sama seperti ibuku." Maven menjeda ucapannya sejenak. "Kau pasti sangat beruntung, Huang."
Pemuda itu tersenyum. "Samael. Kau dapat memanggilku Samael atau Sam, Nona Lassiter."
Maven menyeringai dengan anggukan tipis di jemala. Secepat kedipan mata, sebuah pisau "melayang" ke genggamannya. Samael tak sempat menyadari bahwa kini, gadis dengan busana serbahitam itu sudah berada di belakang tubuhnya, dengan sebilah pisau menekan lembut sisi lehernya.
Kecepatannya melebihi cahaya.
"Biar kuperjelas; sayangnya tidak ada nona di sini, Samael Huang." Ia berbisik pelan. Suaranya begitu halus dan ringan layaknya embus angin musim gugur, namun mampu mengintimidasi siapa pun yang mendengarnya.
Tapi tidak dengan Samael.
Pemuda itu tersenyum, mengangguk samar, tak pedulikan pisau yang kapan saja dapat mengoyak lehernya. "Telekinesis dan teleportasi, eh? Kau memang pantas berada di level Alpha."
Tepat setelah berkata demikian, asap gelap kemerahan nan menguarkan hawa panas muncul secara misterius di sekitar mereka. Maven mengernyit, kedua matanya sedikit terbelalak menatap wujud dan aura pemuda di depannya yang perlahan "berubah". Bahkan, penerangan di ruangan itu seketika meredup, membuat suasana terasa begitu mencekam secara tiba-tiba.
Pemuda itu menoleh ke belakang—lehernya berputar 360 derajat bak burung hantu—bersitatap dengan gadis manis yang "menggertaknya" menggunakan sebilah pisau. Wajahnya menggelap perlahan dengan kedua bola mata yang memutih. Aksara-aksara aneh muncul di sana, memenuhi iras bak tato nan menyeramkan.
Maven menelan saliva ketika pemuda yang telah "berubah wujud" itu pamerkan seringai nang menakutkan, seolah mulutnya telah dirobek hingga "senyumannya" melebar ke telinga.
"Pernah bermain dengan iblis sebelumnya?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Havoc
FantasyEARTH, 2150 AD. Bumi telah mengalami kehancuran untuk yang kesekian kalinya. Tidak ada lagi negara, tidak ada lagi batas-batas yang memisahkan peradaban yang satu dengan yang lainnya. Silih berganti para manusia tewas dan tergantikan, untuk kemudian...