2. Burning Passion

25 2 0
                                    

Claretta mengatupkan bibirnya kuat-kuat, heran mengapa ia bisa berakhir di sini, heran kenapa Rangga adalah satu-satunya orang yang bisa membuatnya merasakan apapun selain kehampaan. Ia mengedipkan matanya tersadar dan menghelas napas, berjalan melewati Rangga dan masuk begitu saja.

"Oh, ya ampun! Ya, silahkan masuk tamu ku,ˮ Rangga berkata pada Claretta, dengan sarkasme yang kental.

"Kau punya alkohol, kan?ˮ Tanya Claretta, meletakkan tasnya pada meja konter.

Claretta mendengar bunyi pintu ditutup, diikuti dengan suara langkah kaki Rangga yang semakin mendekat ke arahnya di dapur. Rangga berjalan menuju belakang konter dan meletakkan sikunya di atas meja, berhadapan dengan Claretta. Tersenyum cerah, ia bertanya, "Kenapa? Apakah adikku ini ingin minum untuk menghilangkan patah hatinya?ˮ

Claretta menatapnya kesal. "Apakah ada alasan lain bagiku untuk berada di sini?ˮ

Senyum Rangga pudar secara bertahap, tatapan matanya mengunci mata Claretta. Setelah itu, ia berbalik, membuka lemari kabinet di atas kepalanya. Ia mengambil dua buah gelas. "Scotch?ˮ Rangga bertanya.

Claretta menggumam mengiyakan, mendorong tasnya yang ada di atas meja lebih jauh. Dia berharap dapat mendorong jauh semua kekhawatirannya semudah ia melakukannya pada tas itu.

Rangga berjalan kembali memutari konter menuju tempat di mana Claretta duduk, lalu membungkuk untuk meletakkan gelas milik Claretta dari belakang gadis itu. Rangga bisa saja memberikan gelas berisi cairan emas itu langsung pada Claretta tanpa mendekatinya dari belakang seperti itu, tapi Claretta tidak protes dengan hal itu. Rasa hangat dari tubuh Rangga terasa nyaman di punggungnya.

Rangga mengambil tempat di sebelah Claretta, mengangkat gelasnya, sebuah ajakan untuk bersulang. "Untuk pertunanganmu yang gagal.ˮ

Claretta mendelik kesal, tapi tetap bersulang dengannya, menyeruput sedikit minumannya. Ia menyeringai kecil ketika merasakan sensasi terbakar di tenggorokannya. Itu melegakan. Dia tertawa kecil, terdengar pahit dan menyedihkan. "Kupikir putus dengan Jerry akan membuatku bebas.ˮ

Rangga membuat bunyi cluck dengan lidahnya, menggelengkan kepalanya. "Tsk tsk, little sister. Kau harusnya tahu lebih baik dari itu.ˮ

Claretta mendesah dan menatap lurus ke depan. "Aku tidak terlahir untuk bertahan,ˮ ia berkata pada dirinya sendiri. Pikirannya berkelana, tentang Jerry dan Abella, tentang bagaimana semuanya berakhir menjadi bencana untuknya. "Kenapa kau menyukainya?ˮ Ia bertanya tiba-tiba.

"Siapa?ˮ

"Abella.ˮ Claretta mengalihkan pandangan matanya pada Rangga. "Kenapa kau menyukainya?ˮ Ia bertanya lagi, perhatiannya terfokus pada Rangga.

"Oh? Abella?ˮ Rangga mengendikkan bahunya dan menyebikkan bibirnya, menunjukan sikap acuh tak acuh. "Kemalangannya, kemiskinannya, itu sungguh menarik.ˮ Ia menyeringai, puas dengan jawaban asalnya tersebut.

Claretta mendengus kesal. "Aku serius di sini. Aku ingin tahu apa yang sangat bagus darinya. Apa yang hebat dari dirinya sehingga aku harus mengakhiri pertunanganku?ˮ

Rangga menaikkan satu alisnya dan duduk condong ke depan ke arah Claretta, tubuh besarnya memenuhi meja konter. Posisi sedekat itu, Rangga telah melewati jarak personalnya. Ia melewati garis batas personal tak kasat mata yang dibuat Claretta. Rangga memiringkan kepalanya, berpikir. "Abella itu rapuh.ˮ

Claretta menyeringai mengejek, tidak puas dengan jawaban yang diberikan Rangga. "Dia lemah,ˮ ejeknya.

"Dia perlu dilindungi.ˮ Rangga berdehem dan meneguk minumannya. Ia melihat ke depan, pandangan matanya kosong dan jauh. Abella menolaknya, setelah semua yang telah ia lakukan. Gadis itu memilih Jerry.

Reckless Game Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang