1. People come and go.

69 2 0
                                    

Konon katanya, setiap kedatangan tentu menghadirkan perpisahan. Pun setiap pertemuan pasti akan meninggalkan kenangan. Benar begitu. Namun saya engga pernah percaya. Sampai suatu hari, ayah dan ibu membuktikan nya sendiri. Bahwa kedatangan mereka di hidup satu sama lain, akhirnya menghantarkan dan mengenalkan kata perpisahan tepat diulang tahun saya yang ke-18.

Hari itu, rumah satu-satunya yang saya miliki hancur. Porak poranda, berantakan tak bersisa.

Bahkan untuk sekedar meneteskan air mata, saya enggan. Sebab saya sadar bahwa itu adalah hal yang percuma. Toh, engga merubah apapun. Hingga mungkin mereka berpikir bahwa saya baik-baik saja. Padahal engga begitu. Saya sedih... hati saya patah dan meraung hingga kebas.

"People come and go, Dayana."

"Saya tau." waktu itu saya duduk di taman dekat rumah. Ber-atap kan langit malam yang tak dihiasi satu bintang pun, saya biarkan pemuda di sebelah saya mengoceh semaunya.

"Mau dengar satu rahasia gue ga?" Tolong lah, saya ini sedang sedih. Apa engga bisa hari ini dia diam saja tanpa harus berisik?

"Karna lo diem, gue artiin sebagai iya." Saya masih diam. Pandangan saya masih fokus kedepan, saya tatap apa saja selain wajah menyebalkan Harland.

Saat dia tiba-tiba bangkit dari duduknya, saya pun mengernyit heran. "Bukannya tadi kamu mau cerita?" Nope, katanya.

"Rahasia gue itu sebuah tempat. Tempat yang selalu gue datengin, ketika hidup rasanya beraaaaat banget. Karena tadi lo jawab iya, jadi besok, gue bakal tunjukin tempat rahasianya." Selesai bicara dia tersenyum. Salah satu jenis senyum yang amat saya benci dari dirinya. Sebab setiap kali dia melakukan itu, rasanya saya ingin meleburkan diri ke dalam pelukannya, bercerita banyak hal, lalu begitu pelukan akan berakhir, saya akan bilang bahwa saya, "Suka sama kamu, Harland."

***

Ujian Nasional tingkat SMA tengah berlangsung di bulan ke empat tahun 2023 ini. Kelas-kelas yang biasanya terdengar berisik dan riuh seperti di pasar, hari ini berubah sepi dan itu menyenangkan bagi Dayana. Ujian nya berjalan dengan baik. Setengah jam kemudian, semua siswa berhamburan keluar dari kelas masing-masing. Satu dan banyak diantara nya langsung bergegas menuju kantin, sedang beberapa siswa lainnya, berjalan menuju perpustakaan sambil mengeluh perihal ujian yang baru saja mereka jalani. Dan Harland, masuk kedalam golongan yang kedua.

"Gila, susah banget!" Dia cemberut. Berjalan dengan wajah kesal di sebelah Dayana. Gadis dengan wajah tanpa make up itu hanya tersenyum kecil. Merasa bahagia ketika melihat Harland menderita. "Makanya kalau saya ingetin buat belajar itu, ya belajar Harland. Bukan malah pelukin gitar kamu seharian." mulut yang pemuda komat-kamit meniru ucapan Dayana, dan bukannya kesal, gadis itu hanya terkekeh dan geleng kepala. Sudah biasa dengan tabiat Harland yang satu ini.

Sepanjang perjalanan menuju perpustakaan, mereka tak hentinya berbincang. Dimulai dari membahas ibu dan keluarga Dayana, buku-buku Tereliye favorit keduanya, musik, hingga universitas yang mereka ingin masuki setelah lulus SMA. Harland sangat suka momen-momen ini. Momen dimana Dayana tersenyum dan melupakan semua masalah nya walau hanya sebentar.

Dan tanpa Harland tau, Dayana jauh lebih menyukai nya.

"Kamu selalu keren, Harland."

"Wah, tiba-tiba?!" pertanyaan Harland itu, Dayana jawab dengan gelengan. "Sejujurnya saya selalu pengen bilang ini. Bahwa kamu, keren. Dan semakin terlihat keren waktu denger rencana masa depan kamu barusan. Saya doakan selalu, semoga apa-apa yang kamu harapkan, dikabulkan sama semesta dan sang Pencipta."

Harland tersenyum. Untuk beberapa detik, dia berterimakasih pada ibu Ema, berterimakasih sebab berhasil lahirkan gadis cantik dengan hati kelewat mulia seperti Dayana.

"Dayana. Gue juga selalu doakan lo. Semoga setelah badai panjang ini, lo diberikan pelangi yang ga kalah panjang. Yang warna-warna nya terbentang indah dan lama, sampai lo lupa akan semua kesedihan yang pernah lo alamin."

"Terimakasih."

"Gue juga makasih. Buat doa lo barusan, dan buat lo yang udah bertahan sejauh ini."

***

Tidak terpikirkan sama sekali oleh saya bahwa tempat rahasia yang Harland maksud adalah sebuah rumah sakit. Bangunan yang di dominasi oleh warna putih itu, terlihat asri karena tanaman-tanaman yang terawat elok memenuhi. Saya tersenyum, terima uluran tangan Harland yang terarah di depan saya.

"Hari ini gue akan mengenalkan lo akan arti come and go yang sebenarnya."

Saya dan Harland berjalan lurus, susuri koridor terbuka yang di lewati oleh pasien dan beberapa suster. Sesekali Harland menyapa pasien yang ada disana. Berikan senyum ramahnya sambil menunjuk saya, seolah berkata, "Temen." yang akan saya tanggapi dengan balas tersenyum sopan.

10 menit berjalan, langkah Harland berhenti dan menatap seorang wanita paruh baya yang menangis di bangku taman rumah sakit. Rambutnya berantakan, wajahnya memerah dengan mata yang membengkak. "Kenapa?" tanya saya. Tanpa sadar rasa iba datang menyapa.

"Suami nya. Seminggu yang lalu, mobil yang mereka kendarain kecelakaan. Si ibu sama anaknya selamat, tapi pagi tadi, gue denger dari bunda kalau kondisi suami nya memburuk dan akhirnya dinyatakan meninggal."

"Menurut kamu itu apa Harland?"

Dia mengernyit. "Maksudnya?"

"Iya, bagi kamu, apakah itu termasuk sebuah kesialan? Sama seperti ayah yang bernasib sial ketahuan selingkuh makanya di cerai-in sama ibu?" dengan lugas dia menggeleng.

"Kesialan itu engga ada, Dayana. Kita hanya makhluk yang sedang diuji Tuhan dengan takdir dan nasib malang. Semua orang icipi itu, hanya takaran nya aja yang beda-beda."

"Termasuk kamu?"

"Termasuk gue."

"Hentikan semua pikiran negatif yang masih memenuhi isi kepala lo. Sebab sebanyak apapun lo berpikir dan berandai, yang namanya takdir, engga akan pernah bisa di ubah."

"Saya engga pernah berandai-andai, Harland. Itu buang-buang waktu." Dia usak rambut saya tiba-tiba. Gemas, katanya.

"Orang lain mungkin engga bisa liat, tapi gue tau Dayana. Setiap malam lo pasti berpikir gimana kalau keluarga lo masih utuh? gimana kalau ayah engga ketahuan selingkuh sama ibu? gimana kalau mereka mutusin buat ngomong baik-baik alih-alih cerai? gimana gimana dan gimana lainnya. Im your friend for years, gue kasitau barangkali lo lupa."

Cih. Apalagi yang bisa saya lakukan selain mendecih untuk pemuda menyebalkan yang sialnya terlalu mengenal saya ini?

***

"Kamu mau gendong juga ga?" Harland menggeleng pelan dan setia memandangi Dayana yang tengah menggendong seorang bayi berusia dua minggu dalam pelukan nya. Gadis itu tersenyum lebar. Hal yang sangat jarang terlihat.

Hari ini pesan Harland sepertinya tersampaikan dengan baik. Ditempat dan bangunan yang memperlihatkan cara kerja ((datang dan pergi)), dia berharap bahwa Dayana mengerti bahwa sejatinya memang beginilah cara dunia berjalan. Tidak ada yang benar-benar abadi, sesuatu yang kekal hanya terlahir ketika kamu menerima takdir yang Tuhan beri. Maka untuk itu, cukup jadikan pelajaran dan simpan kenangan nya, di dalam hati.

"Jadi... pertemuan dan perpisahan itu, salah satu takdir Tuhan yang diicipi oleh semua makhluk nya, benar begitu? Benar tidak terlewatkan oleh satu orangpun?"

"Benar Dayana. Ga terlewatkan oleh seorangpun."

To be continued...

Like we just met (HAERYU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang