"Jadi kapan kamu mau bilang ke kakek kalau kamu itu mandul dan bersedia dimadu oleh Kevin?"
Aku menatap wanita cantik di depanku. Julia Mariska, yang merupakan kekasih suamiku. Ingin sekali menjawab jujur kalau aku tidak ingin mengaku mandul pada kakek karena... karena aku yakin tidak mandul. Tapi aku tidak mempunyai keberanian untuk terang-terangan menolak sebab akibatnya Mas Kevin akan menceraikan aku.
"Aku belum dapat momen yang tepat untuk mengatakannya, mbak. Harap mbak bersabar," jawabku. Berharap kekasih suamiku itu bisa mengerti.
"Sabar! Sabar! Mau berapa lama lagi aku harus bersabar? Waktu dua tahun itu bukan waktu yang singkat untuk menguji kesabaran. Aku sudah sangat sabar, Wi. Sekarang aku sudah di ujung batas kesabaran. Pokoknya malam ini kamu harus bilang ke kakek kalau kamu itu mandul dan merestui Kevin untuk menikahi aku!"
Aku hanya mengangguk seperti orang bodoh. "Baik, mbak. Akan aku usahakan." Atau... mungkin aku memang bodoh.
Julia menatapku lekat untuk beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum miring. "Jawaban yang selalu sama. Jangan-jangan kamu hanya mencari alasan saja agar Kevin tidak juga bisa menikahi aku."
Aku membisu, sebab yang dikatakanya benar. Aku hanya sedang terus menerus membuat alasan, karena hanya ini yang bisa aku lakukan untuk mempertahankan rumah tanggaku dan tidak dipoligami oleh suamiku.
"Kenapa kamu diam? Apa mungkin aku berkata benar?" Julia mendecih. "Kalau begitu kamu adalah wanita licik yang memiliki wajah lugu. Kamu ingin memiliki Kevin seutuhnya dengan tidak mau dipoligami dan... tetap menyandang status sebagai istrinya."
Aku menundukkan pandang, tak berani menatap wajah Julia lagi. Andai aku memiliki kekuatan seperti istri-istri yang lain saat berhadapan dengan seorang pelakor, yaitu membentak, memaki, memukul, bahkan sampai menjambak.
Sayangnya aku tidak memiliki kekuatan itu karena aku tidak mempunyai penyokong yang akan membelaku.
Di dunia ini aku sebatang kara. Satu-satunya orang yang harusnya bisa menjadi tempat bersandar adalah suamiku, Mas Kevin. Tapi nyatanya dialah yang selalu menyerangku dengan ancaman-ancaman agar bisa menikah dengan kekasihnya.
"Kenapa tidak Mas Kevin saja yang bilang pada kakek bahwa aku mandul dan dia ingin berpoligami."
Hei, kalimat apa yang baru saja keluar dari mulutku? Oh, aku sadar tidak mempunyai jawaban lagi selain ini.
Refleks Julia menarik tubuhnya yang semula duduk santai dengan menyandarkan punggung hingga menjadi agak lebih condong ke depan. Gerakannya itu, membuat aku seketika mengangkat wajah lagi dan menatapnya.
"Kalau Kevin yang bilang ke kakek, kemungkinan kecil akan dikabulkan. Kakek akan menganggap dua tahun pernikahan tanpa anak adalah hal yang wajar. Lalu kami kapan menikahnya?"
"Kan belum dicoba, mbak."
"Aaaargh...."
Julia menggeram tertahan dengan mata melotot seperti mau keluar. Membuat aku bergidik melihatnya. Apakah Mas Kevin tahu kekasihnya ini kalau sudah sangat emosi sangat mengerikan?
"Pantas saja Kevin itu sangat tidak menyukai kamu," lanjut Julia masih dengan sorot mata yang menakutkan. "Ternyata selain licik, kamu juga keras kepala. Kalau bukan karena Kevin berpesan untuk tidak menyakitimu, sudah aku bunuh kamu dan aku cincang-cincang."
Aku menyentuh dada sembari terus menyebut nama Tuhan. Berharap Julia tetap mengingat pesan Mas Kevin untuk tidak menyakitiku. Karena siapa yang tahu kalau di dalam tasnya yang mahal itu tersimpan sebilah pisau tajam yang bisa saja dia hujamkan ke dadaku lantaran emosi yang tak terkendali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dipaksa Mengaku Mandul
RomancePertiwi dipaksa mengaku mandul oleh suaminya, Kevin, pada kakeknya Kevin agar pria itu bisa menikah lagi dengan kekasihnya Julia. Tentu saja itu menyakiti hati Pertiwi karena dia yakin dirinya tidak mandul dan jika menurutkan kata hati, dia tidak ma...