Bab 3

15 1 0
                                    

“Maaf aku bangun kesiangan,” ucapku saat hanya bisa menghidangkan segelas kopi dan roti pada Mas Kevin. Padahal dia terbiasa makan-makanan berat semacam nasi ketika sarapan. Gara-gara obrolan Mas Kevin via telpon dengan seseorang yang kutebak adalah Mbak Julia, membuatku sulit tidur semalam. Baru bisa tertidur sekitar pukul tiga dini hari yang menyebabkan aku bangun sangat terlambat.

“Hum.” Hanya itu tanggapan Mas Kevin. Dia langsung memegang telinga cangkir keramik yang baru aku taruh di  hadapannya.

Sebenarnya aku ingin bertanya perihal ucapannya yang menyebut aku bodoh semalam. Tapi tidak cukup waktu karena sebentar lagi Mas Kevin sudah berangkat ke kantor. Mungkin aku bisa menanyainya lain waktu jika dirasa belum ‘basi’ untuk membicarakannya.

Yang pasti aku penasaran kenapa dia menyebutku bodoh. Sikap aku yang mana yang membuatnya berpikir kalau aku bodoh?

Mas Kevin mereguk kopinya kembali hingga tandas setelah menghabiskan satu roti tawar oles selai coklat, sebelum akhirnya dia berdiri dari duduknya. “Aku pergi sekarang.”

Aku ikut berdiri. “Apa perlu aku mengantarkan makanan ke kantor? Kalau iya, aku akan masak sekarang dan segera aku antarkan ke kantor. Aku tak yakin mas cukup tenaga untuk bekerja sebelum makan nasi.”

“Terserah kamu saja,” katanya sembari mengambil tas dan kemudian melangkah pergi.
Mendengar jawabannya, aku bergegas memasak. Kubuatkan dia menu spesial, yaitu ayam rica-rica pedas manis. Aku sering memasakkannya menu ini dan dia menyukainya.

Andai Mas Kevin tahu bahwa memasakkannya adalah hal yang menyenangkan bagiku. Begitu pun ketika aku mencuci dan menyetrika baju-bajunya. Sayang semua pengorbananku tak membuatnya berpaling dari Mbak Julia.

Sedih sekali jika aku menyadari hal ini. Namun, selama mereka belum menikah dan Mas Kevin belum menceraikan aku, maka aku boleh saja berharap dia akan menjadi mencintaiku layaknya seorang suami pada istrinya.

Apakah aku sangat mencintainya hingga mau berkorban sedalam ini?

Jawabannya aku tidak tahu. Sebab aku dan dia menikah karena perjodohan yang dibuat oleh kakeknya dan almarhum kakekku dua tahun lalu. Sebelum meninggal kakek berpesan agar aku memiliki sikap sabar dan ikhlas dalam menjalani pernikahan. Sekuat mungkin mempertahankan keutuhan rumah tangga agar perceraian tidak terjadi.
Terkecuali terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.

Dan Mas Kevin tidak pernah melakukan kekerasan secara fisik padaku. Tapi aku akui kalau hati, iya.

Tapi kembali aku mengingat pesan kakek untuk sabar dan ikhlas. Karena kata kakek cobaan itu akan ada akhirnya.

Inilah yang membuat aku tetap bertahan menjadi istri Mas Kevin meskipun tanpa sentuhan darinya. Namun aku akui setelah selama dua tahun tinggal satu atap, rasa cinta itu mulai tumbuh walaupun rasa cinta itu belum begitu kuat terasa.

Lebih dari dua jam kemudian, aku berangkat menuju kantor Mas Kevin yang merupakan perusahaan milik kakeknya. Sekitar 20 menitan, aku sudah sampai. Security dan resepsionis sudah mengenal aku sebagai istri Mas Kevin sehingga aku bisa masuk dengan mudah tanpa harus ditanyai oleh mereka.

Saat sedang menunggu lift, tiba-tiba aku bertemu Wilson. Adik iparku itu langsung memberikan senyum. Yang jadi perhatiannya pertama kali adalah wadah bekal susun yang aku tenteng.

“Makanan untuk Kevin ya?” Meskipun usia Kevin lebih tua satu tahun dari Wilson, tapi pria ini langsung memanggil nama tanpa embel-embel ‘kakak’ di depannya. Entah kenapa. Mungkin agar terkesan akrab walaupun aku perhatikan mereka tidak pernah akrab. Seolah ada dinding pemisah antara keduanya yang entah apa.

Soal wajah, mereka juga tidak mirip sama sekali. Wajah Mas Kevin lebih mirip mamanya karena foto wanita itu terpajang di ruang tamu rumah kami. Sedangkan Wilson seperti cerminan kakek. Wajah dan sikap mereka pun nyaris sama. Oya, yang anak kakek Mas Kevin dan Wilson adalah papanya Mas Kevin.

Dipaksa Mengaku MandulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang