Satu-satunya

16 4 1
                                    

Ini sulit, dua pilihan ini sulit. Seperti ketika dirimu dihadapkan oleh dua pilihan "hidup atau mati". Jika memilih hidup, selamanya tersiksa. Atau mati, sama saja tidak hidup. Lantas mana yang lebih baik untuk dipilih?

"Kereta api itu maju terus ya? Enggak pernah mundur," kehadiran Bara yang tiba-tiba telah membuyarkan lamunan singkatku.

"Siapa bilang?" aku mendongak—menatapnya yang baru saja akan duduk di sebelahku. "Kereta punya dua kepala di depan dan belakangnya, bisa maju bisa juga mundur," beritahuku asal.

"Sok tahu kamu, Sa."

Bara menengadahkan kepala, menatap sayup-sayup cahaya matahari yang akan bersembunyi sepenuhnya. Di tepian rel kereta api—tidak terlalu dekat pula. Di setiap sore terakhir jika ada yang mencariku, cari saja disana, mustahil tiada. Di dekat warung ibunya Dio—teman SMPku yang sudah wafat. Sudah dua tahun lalu aku yang biasanya di sini bersama Dio, jadi sendiri. Kali ini jadi bersama si Bara, berandal sekolah yang temannya hanya satu, ya aku.

Semenjak Bara ikut nimbrung disini, aku jadi banyak cerita termasuk tentang Dio. Bara tidak semenjengkelkan itu, ternyata. Namun di sekolah kita tetap tidak akan saling menyapa untuk dianggap akrab. Cukup di sini saja, tak banyak juga yang tahu. Toh kalau dipikir memang kenapa jika aku berteman dengan si berandal, aku juga tidak terpengaruh buruknya dan aku juga tidak peduli soal adanya teman atau tidak. Sekecil itu aku sudah sendiri, "sekecil itu" itu seperti apa aku juga kurang tahu. Sejak aku lahir mungkin? Kata orang-orang aku anak haram, tapi kata nenekku "yang haram itu babi" jadi maksudnya aku babi?

Entahlah, hidupku hanya ada aku dan nenekku yang tinggal menunggu ajal. Aku tidak bekerja, bukannya tidak, cuman belum saja. Aku makan dari uang pensiun kakekku. Aku harus berterima kasih pada beliau, karena sudah wafat pun aku masih makan uangnya. Orangtuaku? Aku juga tidak tahu, tanya nenekku saja deh. Aku malas membahas itu.

"Ngapain kesini lagi?" tanyaku pada Bara yang menikmati buaian angin hingga terkantuk.

"Habis ke makam Dio."

"Ngapain? Kenal aja enggak."

"Aku bilang ke Dio kalau Isa kangen."

"Ngaco," jawabku singkat seraya memalingkan wajahku dari si sok jagoan itu.

"Orangtuaku cerai," ucapannya membuatku terkejut, amat sangat. Aku berpikir apakah kita sedekat itu hingga aku harus tahu sampai sana.

Secara wajar, sewajar wajarnya respon manusia, ku tanya, "kenapa?"

"Entah, aku sudah sebesar ini tapi masih tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Mereka main halus sampai aku enggak sadar kalau ternyata mama sudah enggak tinggal sama-sama."

"Kenapa bisa baru sadar kalau kamu saja setiap hari pasti pulang ke rumah?" tanyaku makin penasaran.

"Salah. Rumahku banyak, jadi wajar aku tidak sadar."

"Dih. Sombongnyaaa," sembari menyikut lengannya yang ternyata keras. "Eh, kamu nge-gym ya, Bar?"

"Iya dong. Tuh, kamu enggak lihat otot lenganku?" sombongnya lagi.

"Enggak, enggak mau lihat," sengaja ku tutupi mataku, diresponnya dengan gelakan.

"Hidupmu enak enggak, Sa?"

"Kamu tanya ke orang yang salah, Bar."

"Aku enggak berharap jawaban iya darimu kok. Tiap kali kesini, ngelamun, cukup buat ngejelasin pikiran kacaumu itu."

Sotoy sekali bocah satu ini. Sudah sombong, sok tau pula. Ya ada kalanya perkataan itu benar. Namun kupikir tidak juga. Memang sesering itu lamunanku tercipta di sini? Aku kesini kan untuk merayakan setiap sore setiap bersama Dio. Mengobrol dengan ibunya yang mungkin bisa dianggap setengah gila setelah kepergian putra tunggalnya itu. Mau menyalahkan siapa jika truk tangki yang menabrak Dio juga masuk jurang, pun supirnya yang menyusul kepergian Dio dalam kejadian yang sama. Sebut saja memang sudah takdirnya begitu.

Gitar yang senarnya sudah putus-putus juga masih saja dipajang di pojokan dalam warung ibunya. Itu gitar milik Dio yang dibeli dengan tabungan ngamennya bersamaku dulu. Iya aku mengamen karena Dio yang mengajak, itung-itung buat tambahan uang jajan juga.

Dio kalau tahu aku masih saja jadi beban nenekku, pasti tertawa. Pasalnya masih saja aku bergantung pada beliau. Aku tidak ada pemasukkan, banyakan pengeluaran. Aku butuh kerja untuk menghidupi perutku. Badanku memang gemuk sejak dulunya. Mau ku puasa penuh seminggu juga enggak akan mengubah bentuk badanku, yang ada bisa kena tipes deh. Persetan dengan diet, aku tak sekaya itu untuk nge-gym dan beli makan makanan sehat.

"Memang kacau," ucapku singkat.

Bara menoleh ke arahku, "sekacau apa? Telingaku siap mendengar keluh kesah Isa."

"Apaan sih, Bar? Kamu lebay."

"Sekali kali lebay juga enggak apa-apa kali, Sa."

Aku berdiri setelah mengambil tas ranselku. Menatapnya yang masih duduk terdiam.

"Kamu lihat itu?" telunjukku menunjuk ke arah rumah bertingkat megah di ujung desa.

Bara menyusul berdiri melihat apa yang ku tunjuk dan mengangguk setelah mengetahuinya.

"Rumah itu dulunya tanah kosong yang biasa jadi tempat mainku sama Dio. Kata Dio, dia pengen bangun rumah di sana, dan rumahku harus ada di sebelahnya. Tapi lebih dulu ajal dari pada orang yang punya rumah itu."

Bara mengangguk angguk.

"Dan juga di sana dulu ada pohon besar yang aku dan Dio buat ayunan di pohon itu. Bawahnya kita gali untuk naruh kotak kenangan yang isinya kenanganku sama Dio."

"Tapi kan sekarang udah jadi rumah, Sa."

"Nah makanya itu, kotak kenangannya hilang bersama orangnya."

"Aku percaya semua orang ada masanya, Sa."

"Aku juga, tapi aku menyangkal kebenaran itu."

"Mau disangkal pun tetap terjadi juga kan?"

Anggukku singkat, "sejahat itu hidup ini."

"Enggak akan jahat kalau kamu mau ikhlas."

"Ngomongin ikhlas segala. Pikirin tuh panggilan dari BK," kataku.

Ia mengangkat kedua bahunya—tak peduli. Aku menatap punggungnya yang mulai menjauhiku. Kalau dipikir, bisa saja hidup Bara lebih kacau dari hidupku. Tapi kenapa juga aku memikirkannya.

"Bara! Tunggu!" aku menyusulnya dengan larian kecilku, namun ia malah semakin berlari laju semakin menjauh.

"Gelangmu?" setelah aku berhasil sejajar dengan langkahnya, ia menanyai tentang gelang hijau gelap yang ada pada lengan kananku.

"Oh ini. Gelang milik Dio, katanya bisa bawa keberuntungan."

"Cantik cantik musyrik."

"Loh itu kan kata Dio! Kalau aku enggak percayalah kalau gelang doang bisa bawa keberuntungan."

Bara merogoh saku seragamnya dan mengeluarkan sebuah permen karet dan ia sodorkan kepadaku.

"Kamu pikir aku anak kecil?"

"Ambil aja," tawarnya yang akhirnya kuterima.



tamat, dan terima kasih.

Kotak KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang