10 - Sahabat Ari

3 1 0
                                    

Hari ini aku agak terlambat pulang ke rumah karena menyelesaikan tugas kelompok Bahasa Indonesia. Aku dengan segera menuju ke makam Luna sebelum matahari tenggelam. Betapa terkejutnya aku ketika mendapati dua lelaki seumuranku duduk bersimpuh di sebelah makam Luna. Salah satunya aku tentu mengenalinya, Ari. Satunya lagi menangis tersedu-sedu mencengkram tanah.

Aku mempercepat langkahku dengan marah, apa yang mereka lakukan di sini? Berani-beraninya mereka mendekati Luna! Langkahku terhenti ketika menyadari lelaki yang sedang dirangkul Ari terlihat sangat frustasi.

"Siapa? Ngapain di sini?" tanyaku lirih meskipun aku sudah menebak jawabannya.

"Andrew?" Ari mengangkat wajahnya, lelaki di sebelahnya juga.

"Siapa?" ulangku lagi. Kemarahanku yang tadi entah kenapa menguap begitu saja melihat wajah bengkak lelaki di sebelah Ari.

"Ini Rye, Lawrye Akalanka, anak dari ...," Ari tercekat. Aku mengangguk paham.

"Aku Andrew, pacar Luna," ujarku sambil mengangguk lalu berjongkok di sisi lain makam Luna. Aku tau Luna pasti akan sedih kalau aku marah-marah di sini. Akibat kecelakaan itu, aku kehilangan Luna, sementara itu Rye kehilangan ayahnya. Sangat tidak baik bagiku marah-marah padanya.

Aku melirik Ari yang menatapku tajam. Kelihatannya dia takut aku naik pitam lagi. Aku menunduk menatap nama Luna. "Kenapa kalian kemari?"

"Kami sering kemari," jelas Ari. Rye tampak terlalu sedih untuk berbicara. "Rye merasa ayahnya menginginkannya meminta maaf."

"Rye...," bisikku lirih. "Turut berduka cita ya, pasti kau sangat menyayangi ayahmu...."

Rye mengangguk, menangis di sebelah Ari. Ari mengangguk berterima kasih padaku. Sepertinya Ari memang membayangkan aku akan menghajar Rye kalau bertemu dengannya.

"Andrew, bisa kita bicara berdua sebentar?" tanya Ari. Aku mengangguk, rasa kekesalanku pada Ari mendadak menguap, mungkin karena aku sedang berada di dekat Luna. Ari menepuk pundak Rye dengan lembut. "Gue ngobrol sama Andre bentar ya Rye."

Rye mengangguk. Ari dengan hati-hati meninggalkan Rye dan mengodeku untuk mengikutinya. Aku mengikutinya sambil melirik Rye yang tampak lemas tidak bertopang pada Ari. Begitu kami sudah berada cukup jauh dari Rye, Ari berbalik menatapku.

"Andrew maaf atas ketidak sengajaan pertemuan ini," ujar Ari sambil menatap lurus ke mataku. Aku mengangguk.

"Kalian memang sering kemari?" tanyaku sedih.

"Ya," ujar Ari. "Maaf."

Aku menatapnya sedih. "Kau selalu mengantarnya?"

"Kadang gue, kadang teman-teman gue, kadang teman-teman SMP-nya, tapi lebih sering gue karena rumah gue nggak jauh dari sini jadi Rye bisa mampir," ujar Ari.

"Hanya ke makam Luna?" tanyaku sambil melirik Rye yang matanya terlihat sangat bengkak.

"Ke makam ayahnya, ke makam semua korban kecelakaan, ke rumah sakit korban kritis, lu lihat sendiri betapa stressnya Rye saat ini," ujar Ari sedih. "Dia terlalu terpukul atas kepergian ayahnya, maaf kalau waktu itu gue ngebela ayah dia, gue nggak bermaksud..., gue hanya..., memikirkan perasaan Rye karena gue lihat sendiri dari awal keadaan Rye seperti apa."

Aku terdiam, melirik Rye dengan sedih. Rambutnya tampak acak-acakan, matanya bengkak, matanya merah, dia tampak sangat kurus. Rye jauh lebih terpukul dan kehilangan dibandingkan aku.

"Jangan memberi pembelaan dengan bertameng orang lain," ujarku pedas. "Aku bahkan belum maafin kesalahanmu yang dulu-dulu."

Ari menghela napas. Aku menyipitkan mata memandangnya. Aku kesal padanya, tapi aku tidak kesal pada Rye. Itu dua hal yang jauh berbeda.

You are my SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang