3. Mencoba Melupakan

322 8 0
                                    

Atmosfer ruangan tampak tidak baik untuk Devan. "Jadi kau menerima begitu saja dijodohkan denganku?"

Sekarang Devan dan Stella tengah berada di kafe yang letaknya hanya bersebrangan jalan dengan kantor tempat Devan bekerja. Lelaki itu merasa kalau akan sangat tidak pantas membahas urusan pribadi di dalam kantor.

"Aku tidak bisa menolak, Mas. Selain usia yang memang sudah matang untuk menikah, aku juga sudah cukup lama memperhatikan Mas Devan secara diam-diam. Jujur saja, secara pribadi sangat tertarik untuk menikah dengan Mas Devan." Stella mengaku tanpa malu-malu. Dia bahkan secara blak-blakan mengakui kalau dirinya tertarik pada Devan.

Lelaki itu menyeruput cappucino yang ada di gelasnya. Devan menghargai kejujuran Stella, tetapi dia jelas tidak ingin memberikan harapan palsu pada gadis itu. Sekarang perasaan Devan sudah terpaut pada Senna. Gadis menggemaskan itu membuat dia tersenyum di saat-saat sendiri.

Devan kemudian menatap wajah Stella yang dengan setia menampilkan senyum. Sungguh, tidak ada yang kurang dengan wanita itu. Tapi tetap saja Devan tidak dapat membohongi hatinya kalau dirinya tetap condong pada Senna.

"Maaf. Memang selama ini saya belum sempat menemui nenek untuk membahas mengenai perjodohan kita. Ada hal yang harus kau tahu tentangku, aku tidak bisa meneirma perjodohan ini karena sebuah alasan. Aku harap kau mengerti dengan keputusanku. Lebih baik saya jujur daripada memberikanmu harapan palsu.”

Wanita bernama Stella itu tersenyum kecut. Hatinya cukup nyeri saat mendengar penolakan dari Devan. Sesaat setelah mengingat ucapan nenek Devan, gadis itu kembali bersemangat. Dia tidak akan menyerah untuk bisa mendapatkan Devan. Duda tanpa anak itu benar-benar membuatnya mabuk.

"Nenek Hamidah bilang, Mas harus menemuinya secara langsung kalau memang ingin membatalkan rencana perjodohan kita. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Keluargaku juga sudah setuju dengan perjodohan ini."

Stella mengatakan itu dengan santai. Dia yakin kalau kalimatnya itu akan membuat Devan segera kembali ke rumah neneknya. Dengan begitu, dia bisa mempengaruhi nenek Hamidah untuk memaksa Devan menerimanya. Tentu saja dengan trik tipuan.

Tidak ada yang tidak tergoda dengan sosok sesempurna Devan. Lelaki berperawakan sedang dengan wajah super tampan layaknya superstar itu memiliki daya tarik yang begitu kuat. Sekali saja Devan tersenyum, ribuan hati wanita akan melemah. Sedahsyat itu efek dari duda tiga puluh lima tahun tersebut.

"Baik. Sebaiknya kau kembali, aku harus kembali ke kantor. Pekerjaanku tidak bisa ditinggal lama.”

Bukan sebuah janji, itu hanya keputusan yang Devan ambil. Dia akan mengadakan pertemuan dengan neneknya untuk membahas soal perjodohannya dengan Stella. Devan juga mempertimbangkan pendapat Adam tentang dirinya yang harus bergerak cepat sebelum terlambat.

"Baiklah. Selamat bekerja Mas Devan." Stella tersenyum sebelum beranjak dari duduknya dan meninggalkan Devan lebih dulu.

Akhirnya Devan bisa bernapas lega setelah kepergian Stella. Mungkin dia memang sempurna untuk ukuran seorang wanita. Stella dewasa, mandiri, dan terlihat cerdas. Tapi sayang sekali semua poin baik dari sosok Stella itu tidak sedikit pun menyentuh perhatian Devan. Dia menganggap semua yang ada dalam diri Stella tidak se-spesial itu.

*

"Papi dan Mami kapan kembali ke Indonesia, sih? Apa lupa sama aku?”

Senna sedang bicara via telepon dengan Dimas.  Begitulah, setiap ditinggalkan orang tuanya, Senna pasti akan terus bertanya kapan orang tuanya akan pulang. Dimas sampai hapal dengan pertanyaan dan tingkah manja putri tunggalnya itu.

"Sayang, Papi sama Mami belum ada tiga hari di sini, dan kau sudah tanya kapan pulang? Astaga, anak papi. Gimana bimbingan skripsinya, Sayang? Jangan sampai ada nilai yang jelek, ya. Belajar yang rajin. Nanti papi beliin mobil sport impianmu kalau skripsimu berhasil di approve." Suara Dimas di ujung sana terdengar sangat jelas. Senna tahu, ayahnya tidak sedang bermain-main.

"Bener ya, Pi? Awas kalau bohong. Pokoknya Senna tagih."

"Iya, Sayang. Papi pasti tepatin janji. Memangnya kapan Papi tidak menepati janji, hm?"

"Nggak pernah, sih. Papi selalu turutin semua maku. Makasih ya, Pi. Aku pengen cepet lulus deh, Pi. Biar bisa cepetan nikah sama Om Devan," ceplos Senna sambil tertawa-tawa.

"Sayang, kamu belum tahu, ya?"

"Belum tahu tentang apa, Pi?" Senna yang sedang asyik memakan es krim menghentikan gerakan mulutnya. Dia benar-benar penasaran tentang sesuatu yang akan disampaikan oleh Dimas.

"Om Devan mau dijodohin sama neneknya. Dia mungkin akan segera menikah. Jadi lebih baik jangan berharap lagi sama Om Devan, ya."

Kalimat yang diucapkan oleh Dimas membuat es krim yang ada di tangan Senna terjatuh ke tanah. Bersamaan dengan air matanya yang juga berjatuhan tanpa komando. Hati gadis itu sakit sekali mendengar kalau om duda kesayangannya akan segera menikah dengan orang lain.

"Calon pilihan Oma Ida cantik banget ya, Pi? Lebih cantikan dia dibandingkan Senna? Om Devan pasti bahagia banget ya bisa nikah sama tante itu? Pantesan Om Devan selalu dingin sama Senna. Ternyata dia sudah punya calon istri." Senna mengatakan itu dengan tersendat-sendat, dia tidak bisa berbohong jika hatinya tidak sakit. Dia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya sedikit pun. Hati Senna benar-benar hancur.

"Ssst, Sayang ... Di mata Papi, Senna yang paling cantik. Tidak ada gadis yang lebih cantik daripada Senna. Kamu juga harus mengerti, Sayang. Kamu dan Om Devan itu usianya terpaut jauh sekali. Dia membutuhkan wanita dewasa untuk mendampingi hidupnya. Kamu masih suka makan es krim, suka jalan-jalan, kamu masih muda, Sayang. Sekarang lebih baik Senna mulai belajar mencintai seorang pria yang seusia dengan Senna. Pasti banyak yang naksir anak papi ini, ‘kan? Jangan patah semangat. Kamu bisa menganggap Om Devan sebagai Om kamu selamanya. Karena kita memang sudah seperti keluarga sejak lama." Dimas menyampaikan itu semua dengan sangat sabar. Dia ingin putrinya mengerti kalau memang tidak seharusnya dia mengharapkan Devan.

"Gitu ya, Pi? Jadi aku harus cari pacar lain? Belajar buat lupain Om Devan?" Senna meminta pertimbangan dari ayahnya.

"Papi tahu, Sayang. Kamu sudah lama sekali menyukai Om Devan. Tapi kita tidak boleh merusak kebahagiaan keluarga mereka. Oma Ida ingin Om Devan memiliki istri yang sepadan dengan dia. Kamu mengerti maksud papi, kan? Papi tidak keberatan sama sekali kalau memang kamu bisa menikah dengan Om Devan, tetapi untuk sekarang ... itu tidak mungkin, Sayang."

Senna menunduk. Air matanya semakin deras mengalir. Dia belum pernah jatuh cinta. Mencintai Devan merupakan saat pertamanya. Dia tidak pernah berharap cintanya akan berakhir sesadis ini. Dia bahkan tidak pernah merasakan balasan dari cintanya yang begitu besar terhadap Devan. Ini terasa begitu kejam untuk Senna.

"Senna mengerti semuanya. Mulai sekarang Senna akan menjauh dari Om Devan. Senna tutup dulu, ya, Pi. Baik-baik di sana. Salam untuk Mami. Aku merindukan kalian."

Senna menutup sambungan teleponnya. Gadis itu berusaha menghapus air mata yang masih membasahi pipinya. Memaksa bibirnya untuk tersenyum walau itu terasa berat.

"Sekarang aku tahu alasan Om tidak mau aku dekat-dekat. Ternyata Om Devan sudah punya calon istri. Kenapa Om nggak bilang langsung saja, sih. Apa Om Devan takut kalau aku kecewa tapi ‘kan lebih baik dibilang sendiri biar aku mejauh. Tenang aja. Aku bakalan ngejauh demi kebahagian kalian, kok. Aku bakalan nyuruh Om juga pulang ke apartemen. Biar nggak ketemu tiap hari. Ketemu setiap hari. Itu terlalu menyakitkan." Gadis itu berbicara seorang diri sambil memandangi es krim yang telah meleleh di bawahnya. Seperti itulah kondisi hatinya saat ini.

Mengejar Hot DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang