Gemuruh petir berselimut semilir angin yang dingin, siap menurunkan tetesan air yang mengumpul menjadi satu kumpulan awan tebal menyambut kehadiranku di kota Solo menjelang senja ini. Pertama kalinya ku injakkan kaki ditempat kelahiranku setelah 5 tahun lamanya pergi mengejar sebuah asa demi pendidikan di kota Malang. Hari ini aku pulang dengan banyak cerita yang akan ku ceritakan pada orang-orang dirumah, dimulai dari kehidupanku di Malang sampai dengan kelulusan dan gelar Sarjana yang ku raih pada Ayah, Ibu, kakak perempuan dan adik laki-lakiku.
"Ibu merindukanmu, Fai." Suara lembut yang sudah lama tidak ku dengar kini menyapa setelah aku tiba dirumah.
Ibu tersenyum padaku. Matanya berkaca-kaca, senyumnya mengembang. "Aku pun begitu, Bu." Balasku menenangkan kerinduannya yang meluap.
Aku memeluk Ibu dengan rasa rindu yang membuncah. Tangis kerinduan Ibu pecah dalam pelukanku. "Sudah, Bu. Fai sudah pulang. Apalagi yang perlu ditangisi?" Suara khas Ayah membuatku menoleh. Selalu saja Ayah meledek Ibu yang terkesan tidak bisa menahan perasaannya.
"Ah, Ayah. Ibu kan memang begitu, selalu mellow kalau membahas soal Fai yang bersikeras ingin mandiri." Suara manja Kakak perempuanku, Airin, akhirnya terdengar juga. Meski sudah memiliki keluarga, Airin masih tetap tinggal di rumah ini bersama suaminya, Mas Ringgo. Sifatnya pun tetap sama, seperti Airin yang manja dan pembela yang ku kenal dulu.
"Yasudah, sekarang aku kan sudah pulang. Tidak ada lagi yang perlu di khawatirkan. Aku sudah lulus, nanti aku akan bekerja disini. Aku akan menjaga Ayah dan Ibu. Aku janji." Ibu melepas pelukanku, menatapku tak percaya.
"Benar?" Hanya kata itu yang di ucapkan oleh wanita yang telah melahirkanku.
"Ah, Kakak lagi mau kumpul sama kita. Memang selama tinggal di Malang, sudah merasa kesepian ya?" Digta masih saja menjahiliku dengan celotehan-celotehannya. Ku kira setelah beberapa tahun tidak bertemu dengannya, adik laki-lakiku itu sudah berubah. Tetapi kenyatannya, masih sama saja. Heran.
"Digta, jangan meledek Fai terus. Kasihan dia baru sampai, biar istirahat dulu." Bela Mas Ringgo padaku membuat Digta merengut. Aku sampai tersenyum geli melihat perubahan di wajah Digta.
"Aku menang." Seruku setengah meledek Digta. Wajahnya masih muram, itu pertanda ia kehabisan kata-kata untuk balas meledekku.
"Lihat saja nanti." Katanya sebal kemudian berlalu pergi meninggalkan ruang tamu dan kembali kekamarnya.
"Dasar, Digta. Sudah kuliah tapi kelakuaannya masih tetap seperti anak umur 5 tahun." Dumelan Ibu terdengar memprotes sikap kekanak-kanakan yang dimiliki Digta.
"Ibu sih selalu diam saja kalau Digta seperti itu. Harusnya ditegur dong, Yah, Bu." Kini ganti Airin yang memprotes Ibu dan Ayah.
"Ya, nanti Digta akan Ayah tegur. Fai, istirahat sana. Airin, tolong antar adikmu ya." Airin mengangguk setelah mendengar perintah Ayah.
Wanita cantik berambut coklat alami itu berjalan mendahuluiku menuju kamar atas. Aku bersiap menyusul dengan menarik troll koperku, tetapi tertahan saat Mas Ringgo meminta ia yang akan membawakannya.
"Biar Mas saja ya, kasihan kamu capek." Mas Ringgo memang Kakak ipar yang pengertian sekali. Berbeda dengan Airin yang cuek meski selalu melindungiku.
"Terima kasih, Mas." Balasku setelah Mas Ringgo bersedia menolong.
Kami bertiga menuju lantai atas. Kembali ke kamar lamaku memang menjadi impian selama ini, aku rindu suasananya. Mas Ringgo meletakkan koper dan beberapa barang-barangku disamping pintu. Kemudian, Suami dari Kakak perempuanku satu-satunya itu pamit setelah mendapat telepon dari atasannya dikantor, begitu kata Mas Ringgo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another
RomanceTerlahir dengan nama Fai Ayu Diandra, hidupnya tak pernah berharap yang muluk-muluk kecuali soal Raka Gathan Anggara. Setiap saat dirinya ingin selalu berada disamping laki-laki itu, berharap ia yang akan menggantikan posisi calon Istri yang akan di...