BAB 8

285 23 1
                                    

"Ada apa menelponku malam-malam begini?" Jawabku tak bersemangat pertanda enggan mengangkat panggilannya.

Terdengar seseorang menghela nafas kasar di seberang sana. "Aku ingin bertemu, please Fai, satu kali ini saja."

Aku terdiam, mencoba mengajak pikiran dan hatiku berdamai pada keadaan. "Aku sibuk." Dan ternyata itu sulit. Harus ku akui.

Lagi-lagi dia menghela nafas, sesekali berdehem dengan suara beratnya yang menyiratkan kekecewaan. "Sebentar saja tidak bisa?" Pintanya memelas.

Kepalaku menggeleng pelan, ku gigit kuku jariku gelisah. Terbesit perasaan ingin menemuinya, tetapi Ayah dan Digta melarang terang-terangan sebelum laki-laki itu menemui mereka secara pribadi.

"Kalau aku tidak mau? Mas mau apa?" Sekali lagi dapat ku dengar laki-laki itu mengeram frustasi.

"Baiklah." Desahnya pasrah.

Ku hela nafas secara perlahan, menghembuskan rasa sesak sampai ditelan udara. "Mas menyerah?" Ujarku dengan suara parau.

"Kamu sendiri yang tidak bisa. Lalu aku bisa apa?"

Ku gigit bibir bawahku kuat-kuat, menahan air mata yang siap meluncur dari persembunyiannya. Kenapa jika denganku dia tidak bisa berjuang?

"Yasudah." Sahutku menahan sesak dan emosi yang akan meluap. Kemudian ku tutup sambungannya secara sepihak, memberi ia waktu untuk berpikir.

Kuletakkan ponsel lamaku diatas nakas, kepalaku menengadah keatas menatap langit kamar yang seakan menggambarkan raut wajahnya disana. Kembali ku pejamkan mata secara paksa meski tangis tak kunjung reda. Suasana yang sunyi melarutkanku dalam kesepian hati. Apa aku terlalu egois?

[28 July, 17.00]

Ku tatap orang-orang yang sedang berlalu lalang atau sekedar menikmati suasana sore ditaman dekat bukit ini. Sesekali menyaksikan canda tawa mereka oleh orang terkasih. Hatiku sedikit merekah kala melihat banyak anak-anak kecil sedang menikmati masa tumbuh kembang mereka dengan riang dan gembira. Membayangkan suatu saat aku akan kembali lagi kemari dengan Raka yang menggendong buah hati kami. Cih, membayangkan hal tersebut membuat perutku sakit.

Terdengar suara deheman keras dari seseorang yang berdiri disampingku yang sedang terduduk dibangku taman. Kepalaku enggan menoleh sampai akhirnya seseorang itu angkat bicara. "Boleh aku duduk?"

Ah, aku mengenali suara itu. Dengan malas ku tolehkan kepala kesamping. Betapa kagetnya aku saat melihat laki-laki ini berpenampilan berantakan dengan beberapa luka lebam di wajahnya. Kemeja yang ia kenakan bahkan sampai kusut terlebih dibagian kerah.

"Sini duduk." Raka menyunggingkan senyum kemudian ambil tempat duduk disebelah bangku panjang taman yang sedang aku tempati.

"Senang melihatmu lagi." Katanya lebih tepat kepada bergumam. Memang semenjak dia menelpon malam itu, tak ada lagi komunikasi antara kami. Aku sudah bekerja di tempatnya, tetapi belum pernah bertemunya. Mungkin ia sengaja menghindar atau aku yang kurang memperhatikan atasanku sendiri.

"Wajah Mas kenapa?" Kuberanikan diri untuk bertanya walau ragu. Sekali lagi Raka menampakkan senyumnya, meski aku tau dia sedang tidak dalam kondisi baik.

"Hanya luka ringan." Balasnya enteng seakan hal seperti itu biasa dialaminya.

Aku tersenyum kecut. "Mas berkelahi?" Tebakku pada akhirnya membuat Raka terdiam.

"Tidak."

"Lalu?"

"Sudahlah aku baik-baik saja." Katanya meyakinkanku.

AnotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang