03 :: Cafe malam hari

13 2 0
                                    

berusaha menyembunyikan fakta paling menyakitkan dalam hidupnya dan bersikap seolah baik-baik saja, apakah pilihannya benar?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.





"Selamat datang, ingin memesan apa?" Senyum manis terbit di bibirnya, Biru tidak ingin meninggalkan kesan buruk untuk pelanggannya setiap bekerja, namun kali ini sedikit berbeda. Ia berusaha tersenyum sambil menarik turun lengan kemejanya yang sedikit pendek, karena pria paruh baya yang berdiri di depannya tengah menatap lamat ke arah goresan merah yang memanjang di lengannya. Biru tidak nyaman jika lukanya dilihat oleh orang lain, apalagi pria di depannya terlihat mencurigakan karena akhir-akhir ini sering datang ke cafe tempatnya bekerja dan selalu kedapatan tengah mengawasi dirinya.

"Tangan kamu kenapa?"

Satu pertanyaan lolos dari bibir pria yang memiliki mata sipit itu, Biru hanya tersenyum canggung, enggan untuk membalasnya. Tapi bukankah itu tidak sopan? Bagaimanapun juga ia sangat menghormati orang yang lebih tua.

"Hanya tergores saat angkat kursi, Pak" Jawab Biru, pemuda itu bisa melihat bahwa pria di depannya sedikit tidak percaya dengan jawabannya. Jantung Biru berdebar tak karuan, untuk ukuran tergores benda sangat tidak wajar karena luka itu cukup dalam, dan juga, ia membohongi orang yang tidak tepat. Alih-alih bertanya lagi, pria itu tersenyum tipis lalu mengeluarkan kotak obat ukuran sedang dari dalam tas nya dan memberikannya pada Biru.

"Buat kamu. Luka itu tidak akan sembuh jika diobati dengan betadine saja." Ucapnya lalu pergi menuju meja pojok yang menjadi tempat favoritnya selama berkunjung.

Biru tertegun, pemuda itu menatap ke arah kotak obat di atas meja kasir dengan perasaan campur aduk. Orang asing itu mengapa begitu peduli padanya? Jujur saja, ini bukan pertama kalinya pria itu baik padanya, selama datang ke cafe Biru selalu diberi uang kembalian cukup banyak dengan alasan jika si pria tengah buru-buru. Biru juga sering merasa diperhatikan diam-diam, dan hal itu membuatnya sangat tidak nyaman. Dia tidak akan di culik kan? Begitulah isi pikirannya. Apalagi untuk ukuran seorang pemuda, ia sedikit jauh untuk disebut tampan dan gagah karena paras manisnya itu, dan jangan lupakan badannya yang mungil. Sangat mudah untuk menjadi target penculikan bukan.

"Caramel Latte sama Cappucino panas satu"

Sebuah suara membuat lamunannya buyar, seorang pemuda dengan ekspresi datar berdiri di depannya setelah menyebutkan pesannya. Biru sedikit gelagapan dan tidak bisa mendengar dengan baik apa yang pemuda itu sebutkan tadi.

"Eh? Oh maaf, bisa di ulangi lagi?" Biru merutuki kebodohannya, bagaimana bisa dia lalai dalam melayani pelanggan. Dengan segera ia mengambil kertas kecil untuk catatan pemesanan dan pulpen yang tersedia untuk mencatat.

Pemuda itu terdiam sebentar, lalu melirik ke arah kotak obat yang masih ada di atas meja kasir, Biru yang menyadarinya pun segera mengambil kotak itu dan menaruhnya di loker, tak lupa senyuman canggung ia tampilkan. Betapa bodohnya kau Arubiru, batinnya.

"Caramel Latte sama Cappucino panas masing-masing satu. Meja delapan." Ulang pemuda itu lagi.

Biru segera mencatat pesannya "Baiklah, silahkan ditunggu ya" Balas Biru dengan ramah.

Pemuda itu pun kembali ke mejanya sedangkan Biru berjalan ke arah dapur cafe yang letaknya tak jauh dari meja kasir sambil membawa kertas bertuliskan pesanan pelanggan muda tadi. "Mas Ben! Caramel Latte sama Cappucino panas satu!" Teriak Biru di depan pintu dapur pada salah satu bos disana yang juga merangkap menjadi barista.

Bendra menoleh lalu mengacungkan jempolnya pada Biru, "Siap!".

Sembari menunggu pesanan selesai, Biru mengambil kotak yang diberikan oleh pria asing tadi. Saat di buka, ada obat luka luar yang cukup lengkap dan dipastikan jika harganya tidaklah murah. "Mahal pasti, yang kecil aja harganya bisa sampai seratus ribuan..." gumam Biru.

Tahta sang Biru [ Takata Mashiho ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang