"Ke kantin, yuk!" Ajakku.
"Nggak laper." jawabnya.
"Harus laper"
Dia hanya menatapku sesaat. Matanya lalu teralihkan lagi ke sampingku.
"Nathan, kantin bareng yuk!" Ajak seseorang di sebelahku.
Ternyata Hana yang mengajakku. Dia teman sekelasku. Kami cukup dekat karena kursus ditempat yang sama juga. Dia anak yang cukup famous di sekolah, selain karena prestasinya tapi juga karena ayahnya yang merupakan kepala yayasan sekolah ini.
"Ah, iya Han. Ayo, Ra!" Jawabku sambil masing mengajak Nira.
"Nggak ah, aku di sini aja. Kamu aja yang ke kantin," ucap Nira.
Sejujurnya aku masih ingin membujuk Nira untuk pergi bersama ke kantin. Namun, aku tak enak pada Hana yang terus mengajakku ke kantin. Akhirnya aku pergi ke kantin hanya dengan Hana. Kami lalu mencari bangku kosong di kantin. Hana membeli semangkok mie ayam dan aku hanya membeli segelas es kopi.
"Kok minum aja? Nggak laper?" Tanyanya.
"Nggak, lagi pengen kopi aja. Enak mie ayamnya?"
"Enak kok, lain kali kamu harus coba deh."
Aku hanya mengangguk.
"Kamu deket sama Denira?"
"Tiba-tiba banget nanya gitu. Ya nggak deket-deket banget, kayak temen aja gitu."
"Oh… kirain"
"Kenapa emangnya?"
"Ya nggak apa sih. Aneh aja akhir-akhir ini kamu deket sama dia. Padahal kamu nggak pernah ngobrol sama dia sebelumnya. Tadi juga kamu ngajak dia ke kantin"
"Ya nggak harus ada alasannya kan?"
"Iya si, tapi jujur ya, aku rada kasihan sama dia. Dia kayak nggak punya temen gitu, kemana-mana sendiri. Di Kelas juga sendiri nggak ngobrol sama yang lain. Dia susah bersosialisasi ya? Bahkan aku kira kamu deket sama dia karena kasihan."
Aku cukup kaget dengan kalimat terakhir yang Hana ucapan. Aku bahkan hampir tersedak mendengarnya. Aku tak mau menjawabnya, aku tak nyaman mendengarnya.
"Eh, Na, aku balik dulu ya. Panas di sini," aku beranjak pergi dari kantin. Hana terlihat sedikit kesal ketika aku pergi. Aku lalu kembali ke kelas dan duduk di bangku ku.
Apa iya aku hanya kasihan dengan Nira? Nggak, nggak mungkin. Bahkan mungkin Nira yang kasihan padaku. Aku benar-benar hanya ingin berteman dengan Nira, dan bukan salahku juga jika aku semakin dekat dengannya, apa adanya Nira membuatku nyaman akhir-akhir ini. Nira itu sosok teman membuatku nyaman bersamanya, sama seperti Dika.
Aku lalu melihat ke arah bangku Nira. Seperti biasa, ia sedang tertidur. Aku menatapnya dari kejauhan. Entah mengapa dia tiba-tiba terbangun. Kami saling berkontak mata. Dia kemudian beranjak pergi dari kelas. Entah kemana, mungkin ia pergi ke toilet.
Namun, lama sudah waktu berlalu tetapi Nira tak kunjung kembali ke kelas. Bahkan Bu Ratna, guru Matematika kami sudah ada di kelas. Aku bingung kemana Nira pergi, kenapa ia tak kunjung kembali. Hingga beberapa menit kemudian, ia akhirnya kembali ke kelas.
"Darimana saja kamu ini? Mau bolos pelajaran saya!?" ucap Bu Ratna di depan kelas.
"Maaf Bu, saya terkunci di toilet tadi," jawab Nira.
"Terkunci? Kok bisa? Ya sudah duduk sana!"
Nira terkunci di toilet? Bagaimana bisa. Kenapa Nira nggak menelponku untuk meminta tolong. Oh iya, kami belum bertukar nomor telepon. Aku harus meminta nomornya sepulang sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
May
Teen FictionKalau aku bisa menceritakannya dalam satu buku, tidak akan cukup. Ini bukan hanya tentang sosoknya, tapi tentang keberadaannya. Keberadaannya yang bukan untuk dilupakan, bukan juga untuk ditiadakan. Dia, yang datang tiba-tiba tapi tak pernah menjadi...