Di ruangan cafe yang sudah mulai sepi. Di tengah suara gemericik hujan. Di penghujung hari yang melelahkan. Wangi kopi masih jauh lebih kuat dari bau hujan. Namun, dia masih duduk di depanku. Mengenakan bando merah muda favoritnya.
"Gimana rasanya?" Tanya gadis itu.
"Rasa apa?" Aku bingung.
"Rasanya udah meluapkan semua isi hatimu?"
"Rasanya sama aja, nggak ada yang berubah."
"Kenapa gitu?"
"Apapun yang aku lakuin, nggak akan bisa mengubah apapun. Semuanya tetep aja, nggak ada yang berubah."
"Memangnya kamu cerita tentang apa?"
"Tentang dia."
"Sudah kutebak, pasti tentang dia."
"Maaf ya, Na."
"Kenapa minta maaf? Nggak ada yang salah"
"Tetep aja.."
"Nathan, aku nggak akan mengubah apapun tentang apapun, juga tentang dia bagi kamu. Aku cuma mau kamu bahagia, aku akan dukung kamu." Tatapannya begitu tulus dengan senyumnya yang menenangkan.
"Makasih ya, Na…"
Dia tersenyum lagi, matanya fokus menatapku, "Memangnya apa yang kamu ceritakan tentang dia?"
"Banyak, banyak hal. Kalau kamu mau kamu bisa baca draft nya…"
"Aku maunya kamu yang ceritain langsung."
"Kamu yakin?"
"Yakin…"
"Nggak apa?"
Dia mengangguk.
***
13 Mei 2011, semua bermula dari sini. Hari yang tak akan pernah bisa lepas dari ingatanku. Matahari, awan, bulan, dan bintang, aku tak akan melupakan semua tentang hari itu. Apalagi tentang hujan yang datang tanpa diundang. Hujan di antara langit sore yang harusnya indah, tapi berubah kelabu. Bau hujan yang memuakkan menjadi jejak hujan yang tak kunjung hilang.
Rintik hujan jatuh lebih cepat dari biasanya. Angin berhembus lebih bising dari biasanya. Bahkan, dedaunan telah lelah, menyerah, mengikuti kemana angin membawanya menari.
Bukan hanya aku sendiri yang berdiri di sini, berharap hujan segera reda. Barisan murid sepertiku juga turut menunggu hujan berhenti. Kami berdiri di depan gedung sekolah yang masih ramai. Gedung bertingkat yang kokoh dengan pepohonan disekitarnya. Gedung sekolah yang megah namun juga suram. Harusnya, saat itu sekolah sudah mulai sepi, murid-murid mulai berlarian pulang atau mungkin pergi ke tempat menyesakkan lainnya.
Sudah lebih dari satu jam aku menunggu. Murid lain sudah mulai menyerah dan memutuskan untuk nekat menerjang hujan. Itu hanyalah opsi terakhir yang mungkin akan kupilih. Aku tak ingin hujan membuatku basah. Aku juga tak ingin hujan membasahi buku-buku dalam tasku. Selain itu, bukan rumah yang kutuju saat itu, melainkan tempat les. Letaknya memang tak terlalu jauh dari sekolah, tapi tetap saja, hujan tak akan membiarkannya.
Payung? sayangnya dia bukan salah satu barang yang aku bawa ke sekolah. Aku benci membawanya kemana-mana, merepotkan. Namun, aku juga tak menyangka jika hari ini akan hujan, prediksi cuaca hari ini juga harusnya cerah. Entah apa sebab hujan memaksa turun hari ini. Benar-benar merepotkan.
Mau tak mau aku harus menerjang hujan ini. Lesku sudah hampir dimulai, aku tak mau tertinggal sedikitpun. Aku tak lagi peduli dengan tubuh yang basah atau buku dengan tulisannya yang mungkin akan luntur karena hujan. Aku hanya berharap agar bisa segera pergi ke tempat les.
Aku mulai bersiap, menutup kepalaku dengan hoodie abu yang aku pakai, melangkah melewati genangan air di jalan. Namun, langkahku terhenti. Tiba-tiba ada seseorang yang menarik tanganku, menghentikan langkahku. Aku tak mengenalnya, awalnya. Yang aku lihat, ia seorang murid perempuan berambut coklat sebahu.
"Jangan dulu, tunggu sebentar," ucapnya.
Aku tak mengerti maksudnya. Oh, kini aku bisa mengenalinya, dia salah satu teman sekelas ku. Kami memang jarang berinteraksi. Tak ada alasannya, hanya jarang saja.
"Tunggu semenit lagi, hujannya uda mau reda,” ucapnya lagi.
Bagaimana dia bisa tau kapan hujan reda? dan apa pedulinya denganku? Aku bahkan nggak pernah berbicara akrab dengannya.
"Ah, maaf. Aku kira kamu nggak suka kehujanan. Tunggu sebentar lagi, daripada basah kuyup" jelasnya.
Apa maksudnya? Ah, aku nggak peduli. Aku hanya melihatnya dengan tatapan aneh, hanya sedikit. Namun ajaibnya, dia benar. Tak lama, hujan lalu berhenti, benar-benar reda.
Dia lalu pergi begitu saja. Aneh, dia benar-benar aneh. Aku bahkan belum mengucapkan sepatah katapun, apalagi terima kasih. Apa boleh buat, dia pergi duluan. Aku juga tak punya waktu lagi, aku harus segera pergi ke tempat les atau aku akan semakin banyak ketinggalan materi.
Hanya butuh sepuluh menit berjalan dari sekolah untuk sampai di tempat kursus. Untunglah, aku belum terlalu terlambat.
"Tumben telat? Gara-gara hujan?" Tanya murid di sebelahku. Dia adalah teman dekatku, lebih tepatnya sahabatku sejak kecil. Kami satu sekolah saat SD dan SMP, tetapi kami harus pisah SMA karena beberapa alasan. Untunglah kami masih satu tempat les, jadi kami masih bisa saling bertemu.
"Ya gitu," jawabku singkat.
Namanya Dika, kami bisa dibilang sangat akrab. Mungkin karena kami sudah berteman lebih dari sepuluh tahun, atau mungkin karena rumah kami yang berdekatan. Yang pasti Dika adalah tempat ternyaman untukku saling bertukar cerita. Meskipun aku juga punya teman baru di SMA, begitu juga Dika, tapi rasanya masih belum ada yang bisa mengalahkan keberadaan masing-masing dari kami.
Dika sedikit lebih tinggi dariku, rambutnya hitam gelap, bola matanya coklat tua. Dia sering menjadi incaran murid-murid perempuan di sekolahnya. Padahal mereka nggak tau aja, Dika itu super jorok, dia jarang membersihkan kamarnya. Kalau mau cari barang apapun pasti ada di kamarnya, udah kayak kantong Doraemon.
Apalagi dia itu jarang mandi, paling berangkat sekolah cuma mandi parfum. Katanya sih, dia udah mandi malam jadi males buat mandi lagi, tapi tetep aja. Untung mukanya lumayan, jadi ketolong dikit lah. Apalagi dia juga jago basket, sampai-sampai dapat julukan aneh dari teman-temannya. Aku masih ingin tertawa saat mengingatnya.
Apapun itu, aku sangat bersyukur bisa berteman dengannya. Dia orang paling baik yang pernah kutemui. Aku sering bercerita tentang masalah-masalahku padanya, dan dia adalah pendengar yang baik. Dia juga beberapa kali bercerita tentang dirinya, tapi kebanyakan tentang kejadian lucu di sekolahnya. Dia selalu berusaha terlihat bahwa hidupnya sangat bahagia.
***
Masih di tempat yang sama, di cafe ini. Dia masih mendengarkan cerita yang mau ia dengar.
"Kamu benci hujan?" Tanya gadis itu.
"Iya.."
"Sejak kapan?"
"Lama."
Dia hanya menatapku, "lalu apa selanjutnya?"
~May~
Hai-hai! Nice to meet you all <3
Hope you guys love it...
Mungkin kalian akan bingung kenapa nggak ada prolognya, tapi buat Nathan, nggak perlu ada prolog buat menceritakan tentangnya. Sama halnya dengan pertemuan mereka berdua, tanpa prolog tapi sangat bermakna.
KAMU SEDANG MEMBACA
May
Genç KurguKalau aku bisa menceritakannya dalam satu buku, tidak akan cukup. Ini bukan hanya tentang sosoknya, tapi tentang keberadaannya. Keberadaannya yang bukan untuk dilupakan, bukan juga untuk ditiadakan. Dia, yang datang tiba-tiba tapi tak pernah menjadi...