BAB 2

5 2 5
                                    

Setelah hari menyebalkan itu berlalu, hari Senin selanjutnya, di sore yang sama, hujan kembali datang lagi. Benar-benar memuakkan. Lagi-lagi aku dikelabui oleh prediksi cuaca. Apanya yang cerah? Langit kusam dengan airnya yang jatuh tanpa henti.

"Than, belum balik?" Tanya murid di depanku dengan motornya dan baju seragamnya yang mulai basah.

"Nunggu ujan nih," jawabku.

"Mau bareng?" Ajaknya.

"Nggak usah nggak apa, palingan juga habis ini reda."

"Yaudah kalau gitu, duluan ya..."

Aku mengangguk kepadanya. Dia Bryan, teman sebangkuku. Dia bukan tipikal anak yang rajin, tapi tak juga bandel. Hanya biasa saja, selayaknya murid SMA. Aku tak enak jika harus merepotkannya, apalagi tempat kursus kami berbeda dan jaraknya tidak dekat. Jadi mau tak mau aku menolak ajakannya.

Namun sayangnya, tak seperti dugaanku, hujan justru semakin deras, untungnya tak sampai ada petir. Tapi tetap saja, aku sudah menunggu sejam lebih tapi tetap tidak reda. Apa mungkin aku harus menunggu sebentar lagi seperti kemarin? Atau aku terobos aja hujannya? ckck... benar-benar sial.

Tiba-tiba ada sesuatu yang menyenggol lenganku. Awalnya kukira itu hanya senggolan tak sengaja dari murid yang sedang buru-buru. Namun, ketika aku menoleh, yang ada adalah sebuah payung. Mataku terus menelusuri siapa yang menyodorkan payung kepadaku. Rupanya itu dia, orang yang sama yang aku temui di sini hari kemarin.

"Hujannya bakal lama berhenti, pakai aja payung ini," ucapnya

Tentu saja aku reflek menolak nya. Aku bahkan tak akrab dengannya, bagaimana bisa aku memakai payungnya. "Nggak usah, kamu pake aja."

Dia hanya diam, lalu menarik tanganku. Dia memaksaku menggenggam payung itu lalu kembali pergi.

Dia berlari ditengah hujan deras itu. Dia berlari tanpa payung ataupun jas hujan. Aku tak paham dengannya. Mengapa dia memberikan payungnya padaku dan memilih lari kehujanan? Mau nggak mau aku pun pergi ke tempat bimbel dengan payung itu. Payung hitam polos tanpa motif. Entah mengapa rasanya payung itu agak menyedihkan, hanya hitam polos.

Keesokan harinya, aku berniat mengembalikan payung miliknya. Aku juga sudah membawa payung sebagai antisipasi kalau saja hari ini kembali hujan. Tapi rasanya tak enak jika aku mengembalikan payung itu tanpa imbalan. Aku lalu menunggu jam istirahat untuk membelikannya roti melon dan susu strawberry di kantin.

Sekembalinya aku dari kantin dengan roti dan susu itu, langkahku terhenti sejenak. Dia sedang tertidur di mejanya dengan buku tebal yang menutupi wajahnya. Mejaku dan dia cukup jauh, aku berada di barisan kedua di tengah, sedangkan dia ada di meja paling belakang dekat jendela. Aku lalu menghampiri mejanya dengan pelan berharap agar dia tidak terbangun dari tidurnya. Tapi aku gagal. Dia terbangun saat aku meletakkan payung di mejanya.

"Ah, maaf. Ini payung kamu kemarin, makasi," ucapku.

Dia yang masih setengah sadar, menatapku dengan wajah sendunya. "Oh, buat kamu aja. Lagian nemu itu" ucapmu.

Entah kenapa rasanya aku sedikit kecewa mendengar ucapannya itu. Aku lalu juga memberikan roti dan susu dari kantin tadi.

"Terus ini apa?" Tanyamu sambil menunjuk roti dan susu itu.

"Tanda terima kasih, ya walau bukan payungmu si."

"Nggak perlu."

"Perlu, lagian aku ikhlas kok."

"Ya aku juga ikhlas."

"Terima aja lah, orang udah dikasih juga."

"Yaudah, tapi payungnya ambil aja."

"Nggak perlu."

"Uda bawa sendiri?"

"Iya."

"Nggak apa ambil aja, kalau nggak mau buang aja. Dah jangan ganggu"

Dia lalu kembali tidur. Aku pun terpaksa mengambil payung itu. Percakapan kami yang untuk pertama kalinya menjadi sedikit lebih panjang itu selalu teringat. Ingatan itu masih saja berlalu lalang dalam benakku. Kalau aku mengingatnya sekarang, rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya untuk pertama kalinya. Rasanya baru kemarin dia memberikan payung itu kepadaku. Ternyata bersamanya waktu seakan berlari tanpa lelah. Ternyata, tak butuh waktu lama untuknya menarik seluruh duniaku.

Namanya Denira. Dia dikenal dengan nama itu. Namun, entah mengapa rasanya aku lebih suka memanggilnya Nira. Dia gadis manis berambut hitam sebahu yang terurai indah. Sama seperti Dika, matanya coklat gelap.

Aku tak tau siapa yang mengatur semua ini. Semuanya terasa aneh jika disebut suatu kebetulan. Setelah hari dimana dia memberikanku payung, entah mengapa kami selalu tanpa sengaja bertemu. Di kantin, di taman, di perpustakaan, bahkan di luar sekolah, aku sering tanpa sengaja melihat sosoknya. Yang selalu aku sadari, dia selalu sendiri.

Dia bukan orang yang selalu pergi dengan teman-temannya. Dia bukan orang yang sering berinteraksi dengan orang lain. Dia hanya berbicara seperlunya saja. Mungkin dia tak nyaman dengan banyak orang, toh itu bukan masalah besar. Selama ini kehidupan sekolahnya baik-baik saja, dia tak pernah terlibat masalah apapun.

Saat jam istirahat, dia lebih sering tidur di kelas beralaskan buku pelajaran. Dia juga menutup wajahnya dengan buku tebal, mungkin dia sensitif dengan cahaya. Karena tempat duduknya yang ada di samping jendela, beberapa kali cahaya matahari menembus kaca jendela dan celah-celah gorden, memantul di wajahnya. Tanpa sadar aku jadi sering memperhatikan nya.

Dahulu, aku mempertanyakan keberadaan nya yang ternyata bukanlah suatu kebetulan. Lambat laun jawaban itu datang tanpa pernah diminta. tak pernah ada arti kehidupan jika seluruhnya adalah kebetulan. Tak pernah ada yang namanya kebetulan. Kami dipertemukan bukan karena sebuah kebetulan. Pertemuan-pertemuan tak terduga juga bukan tanpa rencana. Aku akan selalu mempercayai itu.

***

Masih di tempat yang sama, di cafe ini. Dia masih mendengarkan cerita yang mau ia dengar.

“Nira? Rasanya aku belum pernah mendengar namanya.”

Aku hanya terdiam menatapnya.

“Aku baru tau kamu bisa seperhatian itu dengan orang lain.”

“Na…”

“Oke.. oke.. lanjutkan ceritamu.”

~May~

Hai-hai...
It's the second chapter of 'May'
Hope you like everything about May <3

MayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang