Davian, siswa kelas 10 yang bersekolah di sekolah swasta elite dengan akses beasiswa. Lahir dari keluarga sederhana membuatnya tidak terlalu menonjol dari segi ekonomi, walau kebutuhan sehari-harinya tercukupi namun kehidupan sekolahnya tidaklah semulus alur novel.
Teman-teman sekolahnya sering memanggilnya si miskin. Mereka adalah para anak konglomerat dengan harta yang tidak akan habis sampai tujuh keturunan.
Vian selalu merasa tidak adil. Mengapa harus ada batasan di antara yang kaya dan yang miskin? Bukankah manusia itu memiliki derajat yang sama di manapun tempatnya berada.
Tubuh anak lelaki 15 tahun di dorong ke tembok beton di belakang sekolah. Seragamnya compang camping dengan banyak debu menempel di badan. Tubuhnya yang kurus kering dengan tinggi 165 cm bergetar hebat. Rasanya ingin menangis, namun ia tahu bahwa hal itu hanya akan membuatnya semakin dibenci.
"Si miskin ini belaga sekali, siapa yang mengizinkanmu mendapat ranking pertama?" tendangan dari alas sepatu yang mahal mengenai perutnya dengan telak. Kuat sekali hingga Vian terbatuk beberapa kali dan meringis kesakitan. Pembully ini tidak sendiri, mereka berjumlah 5 orang dan diketuai oleh orang dengan sepatu mahal.
Mereka tertawa bersamaan. Vian menatapnya dengan mata yang lesu dan berair. Wajahnya di angkat ke hadapan wajah yang lain, lalu mendapatkan pukulan yang langsung membuatnya mimisan.
Ketika pukulan pertama telah diterima, maka banyak pukulan lain yang mengikutinya.
Rasa besi memenuhi mulut, air mata tidak bisa ditahannya lagi, wajahnya babak belur penuh luka dan darah. Pandangan matanya kabur kemudian ia jatuh pingsan.
Mereka meninggalkannya begitu saja di belakang sekolah yang sepi.
Vian yang pingsan ditemukan oleh satpam yang bertugas untuk patroli malam, ia segera dibawa ke rumah sakit. Orangtuanya segera datang dengan raut muka yang sangat khawatir.
"Apa yang terjadi pada Vian, dok?" ibunya meneteskan air mata tanpa henti, ayah di sampingnya menenangkan sebisanya. Jujur saja, sebagai ayah ia juga tidak ingin anaknya mengalami hal seperti ini.
"Dik Vian kehilangan banyak darah, kepalanya mendapat banyak pukulan jadi sebaiknya mendapat istirahat dan perawatan yang cukup." Setelahnya dokter pergi. Ibunya menangis semakin menjadi, ayah pun meneteskan air mata iba. Mereka tahu anak mereka di rundung oleh temannya, namun apa daya, keluarga sederhana seperti mereka bisa apa. Dan lagi, setidaknya Vian harus bertahan demi pendidikan yang baik.
Dua minggu berlalu, Vian telah sembuh dan dapat beraktivitas seperti sedia kala. Ia sudah bisa berangkat pagi dengan berjalan kaki layaknya biasanya. Hobinya adalah membaca novel yang berjudul Omniscient Reader Viewpoint, karya Sing Shong. Meskipun sudah menamatkannya berkali-kali, meskipun sudah hafal dengan setiap adegan yang dibacanya, menurut Vian itu adalah novel terbaik. Tidak ada yang bisa menggantikannya.
Setiap kali Vian merasa lelah, ia akan membaca novel itu. Ketika dirundung, atau ketika mendapat nilai jelek. Tokoh utama novel itu adalah sumber kekuatannya. Kim Dokja namanya. Sudah seperti sahabatnya, Vian selalu merasa sangat menyayangi Kim Dokja.
Dunianya adalah Kim Dokja. Ketika novel berakhir open ending. Vian menangis sejadi-jadinya. Lebih keras dari tangisannya ketika di rundung oleh teman sekelasnya.
"Wah-wah, si miskin membaca novel ya?" novel di tangannya direbut dengan kecepatan cahaya, Vian membalik badan akan protes namun tendangan tepat pada perutnya membuatnya terpentok meja dan jatuh ke lantai. Mereka tertawa merendahkan.
"Kalian bisa menggangguku, tapi tidak boleh menyentuh novel itu!" tatapan mata Vian yang tajam sempat membuat 5 orang tertegun, namun tak lama mereka menyeringai licik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reader's Viewpoint for the Reader [ORV × OC]
FanfictionVian, anak dari keluarga sederhana yang hidup dengan membaca sebuah novel fantasi. Namun ketika ia dinyatakan meninggal karena insiden rundungan oleh teman satu sekolahannya, ia malah mendapati jiwanya hidup di dalam novel tersebut. Bagaimana perjal...