02. Di Balik Hujan

19 4 0
                                    

Sazanka mendesah berat kala hujan turun dengan deras, bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa saat lalu. Seluruh murid yang membawa payung kini mulai bertebaran di tengah halaman sekolah untuk menuju rumah mereka masing-masing. Ada yang di jemput oleh orang tua mereka, ada juga yang membawa kendaraan sendiri, sedangkan Sazanka tim murid yang pulang pergi dengan menggunakan Bus.

Ia melirik arloji cokelat yang berada di tangannya, waktu menunjukkan pukul 16.30. Tapi karena cuacanya hujan deras, langit terlihat sangat gelap sehingga lampu-lampu di jalanan pun sudah mulai terpancar mengeluarkan cahayanya.

Sudah cukup lama gadis itu berdiri disini, sedangkan suasana di sekitarnya mulai sepi. Merasa mulai jengah menunggu huja reda, muncul lah sebuah ide klasik di otaknya.

"Terobos aja kali ya? Ini mah kalau lari sampai Halte juga ga akan terlalu basah banget."

Tekadnya sudah bulat, gadis itu mulai melangkahkan kaki untuk menginjakkan kaki di tengah air yang mengalir deras di lapangan.

BLAAR!!!

Sazanka kembali memundurkan langkahnya sembari menutup kedua telinganya. Gadis itu ingin menangis, ia melirik ke sekeliling lobby yang sudah terlihat sepi karena para murid sudah bergegas pulang sejak tadi. Kini hanya terdengar suara Hujan beserta goresan kilat yang terpancar di langit, suasananya cukup mencekam sekarang.

Ia ingin lari kedalam, namun listrik padam akibat Suara petir tadi sehingga di dalam sana terlihat sangat gelap gulita. Emosi yang ia tahan-tahan sejak tadi akhirnya pecah juga, gadis itu berjongkok dengan menenggelamkan wajah di atas lututnya. Bahunya mulai bergetar dengan isakan tangis yang menyatu dengan suara hujan dan juga suara gemuruh.

Masih menangis dengan ketakutan, ia merasa punggungnya yang terasa dingin itu mulai menghangat. Gadis itu mendongak, matanya yang buram akibat linangan air mata itu masih mampu menangkap objek yang membungkuk di hadapannya sembari meletakkan sebuah jaket di punggung nya.

"Jangan takut." Ucap si Objek tersebut yang kini sudah memapah tubuh mungil Sazanka untuk duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana.

Sedangkan Sazanka masih berusaha memproses kejadian di otaknya, ketakutan itu masih menyelimuti dirinya meskipun sekarang ada seorang pemuda yang duduk di sampingnya. Sazanka mengusap air matanya, dengan suaranya yang parau ia berusaha berucap.

"Makasih ya... Kamu lagi." Ia membuang wajahnya ke sembarang arah. Sedangkan sang lawan bicara hanya berdehem sebagai jawaban.

Sebenarnya Sazanka sempat merasa bingung, mengapa pemuda ini selalu menolongnya tapi seakan ekspresi nya tidak menunjukkan ke ramahan sama sekali. Sudahlah, ia tidak ingin lagi mengambil pusing karena hal ini. Yang terpenting adalah sekarang dirinya sudah merasa aman. Bukankah di setiap sisi buruk pasti ada sisi baik? Ya, kedua sisi yang saling berlawanan namun juga tetap berdampingan.

Dan kini Sazanka benar-benar bisa melihat wajah pemuda itu dengan jelas sekarang, benar-benar ukiran wajah yang sempurna. Rasa jengkel yang sudah dia sematkan kini perlahan memudar dan kembali menjadi rasa kagum. Netra lembutnya kini beralih pada sebuah noda sambal di seragam putih pemuda tersebut, sontak gadis itu kembali memalingkan wajahnya mengingat kejadian beberapa jam lalu. Ya, Sazanka jadi merasa sedikit bersalah sekarang.

"Maaf yang tadi. Gara-gara bakso ku, baju kamu jadi kotor."

Sejatinya gadis itu memang keras kepala, di lubuk hatinya ia sudah tau bahwa ucapannya akan diabaikan. Tapi tetap saja mulutnya tidak bisa diam untuk mengucapkan sesuatu, toh ia pikir niatnya baik hanya untuk minta maaf, bukan untuk mengganggunya atau semacamnya.

"Hazelio Bratadikara..."

Sepertinya tekadnya tidak putus sampai disitu, mulut gadis itu spontan kembali mengeluarkan suara kala netranya menangkap sebuah nametag di baju pemuda tadi. Namun kini pemuda itu menatap Sazanka sembari mengangkat sebelah alisnya, dengan senyum lembutnya Sazanka berucap.

"Terimakasih ya." Mata gadis itu masih terlihat sembab.

Mengulas senyuman tipis, pemuda itu menganggukkan kepalanya lalu kembali fokus memandang rintikan hujan yang mulai mereda di luar sana.

"Udah agak reda, mau pulang sekarang?"

"Hah?" Sazanka jadi ngelag. Jujur saja, ini kalimat terpanjang yang keluar dari mulut pemuda itu untuk dirinya.

"Hm?"

"Umm... Yaudah deh."

Sejujurnya Sazanka agak kecewa karena kebersamaannya dengan Hazel harus berakhir sekarang, rasanya ia ingin disini lebih lama lagi. Kalau boleh jujur, rasa takutnya sudah hilang tergantikan dengan rasa desiran aneh ketika berada di sekitar Hazel, seperti perasaan... Nyaman?.

Dengan santai Hazel mulai berjalan mendahului Sazanka, keduanya kini berjalan di tengah-tengah lapangan sekolah menuju gerbang keluar sekolah. Aroma petrikor masih tercium dengan pekat di indera penciuman keduanya. Rintik halus menjadi sisa-sisa siraman air langit yang mengguyur deras beberapa saat lalu, namun jalanan sore ini sudah mulai terlihat ramai dengan beberapa orang yang kembali beraktivitas di luar menggunakan payung dan jas hujan mereka.

Pandangan Sazanka tak luput dari Hazel yang berada di depannya, bahunya yang tegap terlihat sedikit basah akibat sentuhan rintik hujan. Seulas senyuman terukir di bibir mungil milik Sazanka, sesekali melihat kearah jalanan aspal yang basah, hatinya juga sedikit tenang dan damai di suasana sore yang terasa lembab.

Tak lama kemudian, keduanya sampai di pemberhentian Bus. Sazanka berdiri tepat di samping Hazel untuk menunggu Bus tiba, sedangkan sang Hazel tetap dengan sikap tenangnya memandang lurus ke depan, rambutnya sedikit basah sekarang.

Sazanka melirik arloji nya, waktu menunjukkan pukul 17.50, pantas saja hari terlihat semakin gelap. Gadis itu terkesiap saat tangan Hazel meraih jaket yang melekat di tubuhnya lalu meletakkannya di pundak kokoh pemuda itu.

"O-oh? Makasih juga yang ini ya, makasih jaketnya." Sazanka kembali membuka suaranya.

Sekarang ia mulai terbiasa berbicara tanpa jawaban, sepertinya Hazel memang tipe orang yang hanya akan berbicara untuk hal yang penting saja.

Sazanka mengerutkan dahinya kala Hazel melangkah pergi sembari memakai jaketnya dan menggunakan kupluk nya. Bersamaan dengan itu, sebuah Bus melaju melambat dan berhenti disana.

Tunggu, apa? Mengapa ia malah pergi? Sazanka pikir Hazel akan naik Bus juga sama sepertinya. Tetapi mengapa pemuda itu malah pergi setelah Bus tiba, seakan-akan ia hanya menemani Sazanka sampai Bus tiba.

Beberapa orang mulai turun dari dalam Bus membuat lamunan Sazanka membuyar, mengabaikan perasaan herannya gadis itu segera masuk kedalam Bus untuk pulang ke Rumahnya.

Sekarang yang terpenting adalah Sazanka rindu dengan kasur dan selimut tebalnya, ia juga ingin memeluk boneka Alpaca miliknya.

.

.

.

TBC.

HAZELIO | Haruto Treasure Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang