03. Perihal Perkara Hidup

19 3 0
                                    

Semilir angin berhembus lembut seakan hadirnya menjadi pengiring bagi seorang remaja yang tengah berdiri tegap di tengah gelapnya malam yang gulita. Seorang gadis dengan rambut tergerai sebahu itu mengusap kedua lengannya berusaha menetralkan suhu tubuhnya dari hawa dingin. Kedua matanya terlihat sembab, bibirnya sedikit pucat, tubuhnya seakan bertambah ringkih dari hari ke hari.

Arunika Shaquita Vrishti. Nama yang tersemat untuk nya sejak ia lahir ke dunia ini, dunia yang seharusnya menjadi tempat untuk berkembang dan menata masa depan dengan penuh harapan indah. Bukankah dunia itu seharusnya cukup indah bila di nikmati? Bagi Aruni, dunianya tidak cukup indah di banding dengan kebanyakan orang punya, ia tenggelam di tengah duri yang terus menghujam bahunya yang bahkan sudah jelas rapuh dan payah.

Ia mendongak memandang Bumantara malam dengan sinar redup yang dihasilkan oleh sang rembulan yang sedikit terhalang oleng mega. Jiwanya rapuh dan lelah, tapi ia enggan pulang menyapa Rumah yang seharusnya menjadi tempat beristirahatnya dengan sambutan hangat dan canda tawa sang Cemara. Yang ia butuhkan saat ini hanyalah Rumah yang bisa memberinya ketenangan batin dan mentalnya, Aruni ingin istirahat barang sesaat.

Gadis itu terkesiap kala merasa sebuah lengan melingkar di perutnya, tubuhnya yang semula dingin kini mulai menghangat karena merasakan seseorang yang memeluknya dari belakang. Samar-samar, ia merasa sebuah deru nafas menerpa lembut ceruk lehernya. Senyumnya mulai terbit, ia yakin itu Rumahnya saat ini.

"Zel, kamu dari mana aja?" Cicitnya hampir tak terdengar.

Sedangkan sang pelaku masih belum bergerak, seakan enggan berpindah dari posisinya yang kini masih memeluk gadisnya, berusaha menyalurkan energi nya barang sedikit meskipun hanya untuk menghangatkan satu sama lain.

"Diem deh, aku masih kangen sama kamu."

Gadis itu mengulum bibirnya membiarkan Hazel tetap dalam posisinya. Perlahan, tangannya bergerak mengusap surai lembut milik Hazel guna memberi kenyamanan untuk pemuda itu.

"Kamu nggak mau pulang?"

Pertanyaan klasik yang muncul dari bibir Hazel membuat Aruni menekuk wajahnya.

"Aku nggak mau pulang."

"... Lagi?"

Gadis itu menghela nafas. "Kamu kenal aku udah berapa lama sih, Zel?"

"1 Tahun 3 Bulan."

"Dan kamu masih belum tau aku?"

Hazel tersenyum lembut. "Ini udah malam, Runi. Kalau kamu enggak pulang, ibu kamu bakal khawatir."

"Aku nggak peduli, Zel. Aku capek dengan hari-hari ku di rumah yang isinya keributan. Aku pengen bisa tenang walaupun cuma sebentar, kamu ngerti kan?"

"Aku tau, tapi gimana pun juga kamu harus pikirin perasaan ibu mu. Dia pasti khawatir sekarang, kita pulang ya?"

"Zel!"

Netra cokelat pemuda itu menatap gadis yang lebih rendah darinya.

"Aruni..."

"Zel! Kamu itu egois! Kamu nggak pernah mau ngerti gimana rasanya jadi aku, kamu nggak pernah paham apa yang aku mau, kamu juga selalu gagal buat bikin aku tenang tiap aku lagi ngerasa kacau kayak gini. Bisa nggak sih kamu sekali aja ada di pihak aku?!"

Pemuda itu memejamkan kedua matanya rapat. Baiklah, untuk kesekian kalinya fisik lelahnya kini harus berusaha mengimbangi emosinya untuk tidak meledak saat itu juga.

"Aruni... Oke, sekarang dengerin aku ya. Kita harus pulang sekarang, kamu juga harus istirahat-"

"Aku gak mau, Zel!"

Hazel menghela nafasnya sabar, pemuda itu selalu berusaha mengesampingkan emosinya jika sudah berhadapan dengan gadis seperti Aruni. Karena Hazel tau, dirinya lebih pandai mengontrol emosinya dibandingkan Aruni yang sudah kacau dengan keadaan pikiran dan juga fisiknya. Membalas api dengan api hanyalah akan memperburuk suasana di antara keduanya.

"Yaudah. Aku bakal temenin kamu sampai kamu ngerasa lebih baik, oke?" Ucapnya sembari mengusap surai Aruni.

"Bawa aku pergi dari Rumah." Tutur Aruni.

Hazel menghentikan pergerakan tangannya di kepala Aruni.

"Enggak mungkin, Runi."

"Kenapa nggak mungkin? Buktiin kalau kamu emang bener sayang dan peduli sama aku, buktiin kalau kamu itu beneran bisa jadi Rumah buat aku! Buktiin kalau kamu cinta sama aku!"

"Tapi Runi, itu bukan hal yang mudah. Aku nggak mungkin bawa kabur anak orang dengan status aku yang masih pelajar kayak gini. Mau aku bawa kemana?"

"Aku enggak peduli! Yang penting aku selalu ada sama kamu."

Baiklah, gadis itu mulai berbicara ngawur lagi. Bagaimana pun juga itu bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi Hazel adalah orang selalu berfikir sebelum bertindak, ia jadi prustasi sekarang karena tak tahu harus bersikap bagaimana lagi dengan sesuatu yang mendesak di hadapannya sekarang.

"Aruni... Bagi aku, cinta itu bukan berarti sembarangan bawa kabur perempuan tanpa tahu tujuannya, apalagi bawa kabur dengan tujuan lari dari masalahnya. Tapi cinta itu ketika kita bisa saling menjaga dan jadi penyemangat satu sama lain, saling melengkapi satu sama lain, dan tentunya berfikir jernih terhadap apa resiko yang akan terjadi untuk kedepannya..." Tutur Hazel dengan nada lembut.

"Jadi aku minta sama kamu untuk lebih bersikap dewasa atas apa yang menimpa kamu, kamu harus yakin dan percaya bahwa kamu bisa berubah untuk jadi lebih baik dan bisa mengontrol diri kamu sendiri. Fokus terhadap apa yang kamu cita-citakan, bahagiakan orang yang kamu sayang. Dan Ibu kamu, dia satu-satunya orang yang khawatir tiap kamu enggak pulang begini, dia yang tetap tegar dan bertahan meskipun Ayah kamu nggak bisa lagi diharapkan untuk jadi seorang pemimpin, ibu kamu masih berusaha untuk ngelakuin dua peran sekaligus..." Lanjutnya.

Aruni terkekeh remeh mendengar nasehat Hazel.

"Kamu itu nggak tau apa-apa, Zel. Aku itu emang lemah, aku cengeng, aku egois, aku rusak mental, aku nggak berguna, aku emosian, aku nggak dewasa. Itu semua karena aku nggak pernah ngerasain hal yang anak-anak lain bisa rasain! Itu semua bikin aku tumbuh jadi cewek kayak gini!"

Hazel tau, pemuda itu mengerti dan mengamati. Keadaan Aruni memang tidaklah mudah untuk dihadapi, tidaklah mudah juga baginya untuk menghadapi perempuan dengan mental seperti Aruni. Tidak, Aruni bukan seorang gadis yang sakit jiwa, ia hanya seorang gadis yang lelah dan kehabisan cara untuk mengontrol semuanya. Hazel sebenarnya paham, pemuda itu hanya mungkin salah penyusunan kata untuk memberi arahan pada Aruni.

Tapi itulah Hazel, di dalam diamnya yang lamat ia berusaha memandang sisi baik dari suatu kejadian buruk.

"Kita pulang ya... Ayo. Kamu kuat, kamu bisa. Kalau mau nangis lagi bisa panggil aku kapan pun kamu mau. Karena aku tumbuh dengan pupuk yang lebih bagus dari kamu, aku bakal lindungin kelopak bunga kamu biar nggak di makan Ulat."

Sedikit perumpamaan sederhana yang membuat Aruni tersenyum lembut seperti bunga matahari, namun kelopaknya sedikit layu.

.

.

.

TBC.

Udah bab tiga, kalian masih setia nggak? Jangan lupa vote juga...

HAZELIO | Haruto Treasure Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang