"Rania!"Gadis berkerudung ungu pastel itu terpaksa menghentikan langkah ketika suara familiar menyerukan namanya dari kejauhan. Rania reflek menoleh ke arah sumber suara. Di mana seorang laki-laki berkemeja flanel motif kotak-kotak berlari ke arahnya. Ketika jarak mereka menipis, menyisakan dua meter, si laki-laki menghentikan langkah. Nafasnya berhembus tergesa.
"Lo mau ke mana?" tanya laki-laki itu seusai menghela nafas.
"Ke venue, kenapa? Ada yang perlu dibantu?" tanya Rania balik.
"Lo udah makan?" tanya laki-laki itu lagi. Rania mengernyit bingung dengan perubahan topik pembicaraan mereka.
"Tiba-tiba banget?" komentar Rania.
"Kalau nggak ada yang penting aku lanjut dulu ya. Chat aja kalau perlu apa-apa," Rania hampir berlari lagi kalau laki-laki itu tidak tiba-tiba mencegah langkahnya. Hampir saja tangannya menahan lengan Rania jika ia tak lupa batasan.
"Kenapa lagi, Mahen? Kita sibuk, kalau gak ada yang penting beneran ku suruh Lukas pukul kamu ya," ancam Rania.
Laki-laki bernama Mahen itu menghela nafas. Kali ini lebih panjang dari yang sebelumnya. Menandakan bahwa ia sedang meredam emosinya. Mahen pikir Rania akan mengerti dengan maksud tersirat dari ucapannya. Namun ternyata ia harus mengucapkannya secara gamblang.
"Kata Alesa lo belum istirahat kan? Lo juga gak pulang ke rumah dari kemaren pagi. Mending lo sekarang istirahat Ran, pulang, makan, tidur." jelas Mahen. Ia menatap netra legam Rania untuk beberapa saat.
"Aku udah istirahat kok. Aku juga udah makan jadi kamu ga perlu khawatir, aku tau tubuhku sendiri. Makasih udah peduli." Rania benar-benar pergi kali ini namun Mahen terpaksa mencekal tangannya.
"Please Rania. Gak cuma gue yang khawatir, anggota lain juga. Jadi tolong dengerin gue kali ini. Ini proyek bersama, bukan cuma lo. Sekarang lo pulang, gak ada penolakan. Gue udah minta Aria buat nganter lo pulang. Untuk sekarang biar gue sama yang lainnya yang nge handle. Gue wakil lo, Ran. Ayo gantian. Oke?" jelas Mahen. Tak melihat tanda-tanda penolakan dari Rania, Mahen berseru memanggil Aria yang terlihat dalam jarak pandang. Aria yang mengerti segera mendekat.
"Sekarang, Hen?" tanya Aria. Mahen mengangguk. Aria menggandeng Rania.
"Ayo lo harus pulang, gak terima penolakan." ajak Aria.
"Duluan ya, Mahen. Sekali lagi makasih banyak. Nanti aku ke sini lagi," ucap Rania sambil berlalu.
"Besok aja ke sini nya, Ran!" seru Mahen sebelum gadis itu tak bisa mendengar suaranya lagi.
Mahen mengecek berkas yang baru saja ia ambil alih dari Rania. Langkah kaki jenjangnya membawanya menuju ke lapangan besar di tengah komplek fakultas. Di sana sudah berdiri panggung besar yang nantinya akan digunakan selama acara.
"Rania udah balik, Hen?" Sesosok jangkung berdiri di samping Mahen yang tengah membaca pesan di ponselnya.
"Oh, Lukas. Udah. Tadi dianter Aria," jawab Mahen. Atensinya kembali terpusat pada ponselnya.
"Itu cewek kalau nggak dipaksa susah Hen, kudu ekstra sabar kita mah. Lagian ambis banget sih. Gatau apa kita-kita khawatir," Lukas berucap lirih. Membuat Mahen tertawa kecil.
"Ya itulah Rania," komentarnya.
***
"Makasih Aria!" Rania berseru sebelum Aria menutup pintu mobil Mahen.
"Yoi! Lo istirahat yang cukup. Awas aja berani ke venue, ntar kita usir lo! Bye, Ran!" Aria berlalu setelah memencet klakson dia kali. Rania menunggu mobil itu hilang dari pandangan kemudian bergegas masuk ke dalam rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet
General FictionDari sekian banyak universitas di Indonesia, mereka disatukan di salah satu kampus negeri di Jakarta. Mahen, mahasiswa Seni Musik yang menjabat wakil ketua divisi Humas. Juga Rania, mahasiswa Sastra Inggris yang menjadi ketua divisi tersebut. Deka...