25. Boneka Santet

18 5 1
                                        

Keno tertawa kecil sebagai tanggapan atas apa yang Varo ucap.

"Makin lama bukannya makin kangen malah gedeg tau nggak liat muka lo, Ken!"

Keno menghentikan tawanya, agak tertohok dengan ucapan Varo. Wajar saja, mereka sudah lama tidak bertemu. Terakhir kali mungkin saat setelah peristiwa di rumah sakit dulu. Sebuah tragedi yang membuat salah satu sahabat mereka mengalami trauma parah.

"Muka ganteng gini ... jahat lo!" Keno mengelus dagunya berlagak jumawa. Hal itu membuat Renzi menghentikan usapan lap pada badan motor.

"Kira-kira berapa tahun ya kita nggak ketemu?"

Varo mendudukan diri di trotoar jalanan, pakaiannya masih basah dan bahkan bau, tapi baginya itu tidak menganggu.

"6 tahun." Jawab Renzi mantap.

"Wiii dah lama juga ya, lo pada masih gini-gini mulu kagak ada perubahan."

"Perubahan gimana anjir maksud lo?"

Belum sempat Varo menjawab, sebuah nada dering tak biasa masuk ke ponsel milik Keno, ternyata Dito yang meneleponnya. Sebelum benar-benar bicara, Keno terlebih dulu berdehem sekedar mengenyahkan perasaan tidak enak. Ya ... tahu sendiri bagaimana cerewetnya Dito kalau sedang marah.

"H-halo?"

"Assalamu'alaikum, kamu di mana?"

Keno menjauhkan ponsel, pasalnya suara Dito berubah menjadi suara berat yang tampak tidak asing. Keno lantas kembali menempelkan ponsel ke telinga, sambil berjaga-jaga.

"Siapa ya?"

"Nauzubillah anak ini! Nggak ingat Kakek?"

Langsung terdengar sebuah kekehan dari mulut Keno. "Eh, Kek, ini ... Keno lagi di jalan mau pulang." Jawab Keno terbata.

"Pulang sekarang, ada yang ingin Kakek bicarakan sama kamu."

Keno mematikan ponselnya dengan kasar. Yang menelepon ialah kakek pemilik pesantren, tepatnya kakek Dito. Dulu, memang Keno sering pergi ke pesantren di mana si kakek ini mengajar, tapi semenjak Raditya pergi dan pulang dari luar negeri, ia jadi tidak pernah menemui kakek lagi. Bukan cuma itu, banyak hal yang telah berubah. Sikap Raditya yang terlampau kasar dan arogan, wajah yang terlihat lebih tegas dibandingkan dulu, dan lain hal.

Hampir saja Renzi menjatuhkan lapnya kalau saja ia tidak segera sadar, Keno buru-buru lari memasuki mobil. Hal itu membuat Renzi kaget dan melempar lap yang sudah kotor oleh lumpur ke arah Varo, cowok berjaket hitam itu melotot tajam, tapi tidak diacuhkan keduanya.

"Ken, mau ke mana lo?"

"Kakek dateng, ayo buruan!"

"Kakek siapa?"

"Udah, nanti juga lo kenal, ayo!"

Varo bangkit sambil berkacak pinggang. "Sialan lo dua, gue ditinggal?"

Tiba-tiba jendela yang mulanya tertutup kini dibuka dari dalam, Keno melogok dan menyengir lebar tanpa rasa bersalah. "Maap yak, lo kan mau tempat Mas Aksa, gue harus pulang ada hal penting!"

Dengan cepat mobil itu lantas melaju seimbang di jalanan, meninggalkan seorang cowok yang tampak kesal. Varo hanya membuang napas kasar, tangannya bergerak mencari keberadaan ponsel, lalu menelepon seseorang yang harusnya memang tidak ia hubungi.

"Apa nyet?!"

Tuh kan, belum juga ngomong udah ngegas dia!

"Bantuin gue!"

"Bantu apaan sih? Nyusahin aja lo!"

"Gue kecelakaan,"

"Astaghfirullahaladzim, di where?"

Ineffable | Dear Diary | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang