"Silakan pesanannya, Kak," ucap seorang pemuda berperawakan tinggi kepada dua perempuan yang sedang duduk berhadapan.
"Terima kasih, Kak," sahut dua perempuan itu bergantian.
Pemuda tersebut hanya tersenyum tipis dari balik maskernya dan langsung undur diri. Baru dua langkah, samar-samar, telinganya sudah mendengar seruan kekaguman dari perempuan tersebut.
"Tenanan ganteng banget, heh," ujar salah satu dari perempuan itu. (Beneran ganteng banget, heh)
"Yo, kan? Nggak mungkin aku nggorohi," sahut perempuan yang lain. (Ya, kan? Nggak mungkin aku bohong)
Pemuda itu hanya pura-pura tidak mendengar dan langsung berjalan menuju dapur. Segera dia lepaskan celemek yang terikat di pinggangnya dan langsung berpamitan kepada atasannya. "Bu, jam kerjaku wes entek, ya. Aku kate nongkrong karo Abin ambek Mas Alif," ucapnya kepada perempuan paruh baya yang sedang menyiapkan makanan. (Bu, jam kerjaku sudah habis, ya. Aku mau nongkrong sama Abin dan Mas Alif)
"Ealah, duwe karyawan kok nongkrang-nongkrong ae. Kerja durung ono rong jam wes kesusu dolen. Yo wes, ati-ati," sahut perempuan tersebut. Meskipun kesal, dia tetap mengizinkan pemuda itu meninggalkan tempat kerjanya. (Haduh, punya karyawan kok nongkrong terus. Kerja belum ada satu jam sudah keburu main. Ya sudah, hati-hati)
Pemuda itu adalah Zhafran Anugerah, laki-laki berusia 23 tahun yang aktif membantu orang tuanya berjualan di kafe keluarganya, bernama 'Sibling's Cafe' saat sore hari. Halimah, perempuan paruh baya itu memang ibunya. Bagi Zhafran, dia adalah perempuan terbaik, yang selalu menjadi pendengar setianya.
Ketika pagi-siang, dia mengajar fisika di Al Falah Islamic Junior High School. Guru memang pekerjaan tetapnya. Menjadi pelayan di kafe tidak wajib, hanya ketika dia ingin saja. Perkataan ibunya tadi juga tidak serius.
Sedangkan, dua orang yang disebutnya tadi adalah saudara dan temannya. Alif Adnan Fauzan, saudara kandung yang lebih tua dua tahun darinya. Seperti Zhafran, dia sedang membangun karir di dunia pendidikan. Saat ini, dia mengajar matematika di Malang International School. Sambil bekerja, dia juga sedang mengembangkan bisnis bimbel yang telah dirintis sejak lima tahun lalu, ketika dia masih duduk di bangku kuliah.
Lalu, Orion Abintang, teman dekat yang lebih muda satu tahun darinya. Tidak seperti dua temannya yang sudah fokus berkarir, dia masih berjuang mendapatkan gelar akademiknya di bidang pariwisata. Pada semester sembilannya, dia masih berjuang dengan skripsinya. Namun, dia memang tidak terburu-buru. Toh, setelah lulus, dia akan bekerja di hotel milik keluarganya.
Setelah berpamitan dengan ibunya, Zhafran segera mengendarai motor maticnya menuju sebuah kafe. Dia melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Dinikmatinya udara Kota Malang yang sedang sejuk, tidak panas seperti biasanya.
Begitu tiba di tempat tujuan, matanya menyisir setiap motor di parkiran. Pemuda dengan hoodie biru muda itu mencari motor dua orang yang menjadi teman nongkrongnya. Namun, setelah beberapa detik, upayanya tidak berhasil. Dia segera menelepon salah satu dari mereka.
"Waalaikumsalam," ucapnya untuk menjawab sambungan teleponnya. "Sampean ndek ndi, Mas?" Zhafran segera bertanya. (Kamu di mana, Mas?)
"Aku sek ndek bimbel. Jare jam telu?" (Aku masih di bimbel. Katanya jam tiga?)
"Aku lagi nggak mood ngewangi ibu ae seh, Mas. Makane cepet-cepet mrene. Yo wes nek ngunu, tak telepon Abin ae." (Aku lagi nggak mood bantuin ibu saja sih, Mas. Makanya cepat-cepat ke sini. Ya sudah kalau gitu, aku telepon Abin saja.)
"Tak kandakno ibu kon, yo. Yo wes teleponen Abin. Arek iku paling wes gabut." (Gue bilangin ibu lo, ya. Ya sudah, telepon Abin. Anak itu mungkin sudah gabut)
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle Of Youth
General FictionMasih banyak mahasiswa di Indonesia yang tidak terserap dunia kerja. Termasuk Viola, alumni Pendidikan Matematika yang masih berjuang mendapatkan pekerjaan. Tabungannya juga sudah semakin menipis setelah enam bulan menjadi pengangguran. Ketika sedan...