Tukang putu itu berhenti sebentar tepat di depan rumahku, "Putuuu..!" ujarnya.
Sementara itu, disembunyikan oleh siluet Bang Guntur yang perkasa, tanganku mengeksplorasi setiap inci dari dadanya yang terakit sempurna bak mesin pembangkit hasrat, merasakan bagaimana ototnya menegang dan meregang di bawah tekanan tanganku. Merasakan setiap denyut dan desahan, merasakan bagaimana ia menggigil dalam genggaman tanganku.
Petir menyambar. Tukang putu itu mengadah ke langit yang bergemuruh, lalu meninggalkan kami dengan langkah bergegas.
"Siuuuuuu...!"
Dengan suara tukang putu yang semakin menjauh, Aku pun semakin tersesat dalam nafsu, mengeksplorasi setiap inci tubuhnya, menggarap daging dadanya seperti tukang kue meremas adonan dengan gemas.
"Emang boleh diapain aja teteknya Pak Satpam?" bisikku kembali sambil menyeringai, tangan berlapis latex putihku tampak begitu kontras ketika mereka bertualang di dua puncak gunung perunggunya.
Bang Guntur makin melengkungkan tubuhnya ke depan, dadanya yang membusung makin membludak kedepan, membuncah dari sela-sela jeruji."MMmmh...boleh diapain aja Dek! Terserah kamu!"
Kemudian ia memposisikan dadanya dengan teliti, ia menjepit sebatang jeruji besi vertikal di belahan dadanya yang montok. Saat itulah, ia mulai menggesek dadanya turun naik di batang besi itu, dengan gerakan yang mengingatkanku pada saat-saat intim kami. Jeruji besi itu, kaku dan dingin, kini diperlakukan seolah bagian tubuhku yang paling diidamkannya.
"Grrr, Ahhh..." ia menggeram.
Hatiku berdegup kencang. Aku mulai mencubit dadanya, berkali-kali, di berbagai tempat. Kulitnya kenyal, tapi kuat, layaknya material karet yang telah diperkaya dengan serat karbon. Otot dada Bang Guntur menyerah dan merelaksasi dengan pasrah.
"Dek... ahhhh," suaranya terengah-engah di antara hembusan napas yang tercekat, sebuah simfoni yang mengiringi petualangan kami. Kilatan petir menerangi wajahnya, kedua matanya terpejam erat, dan dalam kesenyapan yang mendadak, terdengar suara "KRAKOWW!!!"
Bersamaan dengan sambaran petir, tiba-tiba, otot-ototnya mengeras. Snap! Dalam satu gerakan yang serentak, gundukan daging melendung itu berubah, seperti puncak gunung Olympus tempat Dewa Zeus bersemayam. Kuremas dadanya dengan sekuat tenaga, tapi ototnya begitu keras, begitu padat, seperti beton yang ditempa dengan baja. Kubuat upaya mencubit kembali dadanya, tapi kulitnya tertarik sedemikian ketat hingga aku tak mampu. Rasanya seperti berusaha meremas bongkahan granit yang kokoh
Matanya terbuka perlahan, mata kami bertemu, pandangan matanya tajam dan menyentuh, seolah mengingatkan bahwa meskipun ia di bawah kendaliku, jari-jariku tidak bisa menandingi keperkasaannya. Ada semacam tantangan di sana, sebuah ujian yang harus kutaklukkan.
Aku balas menatapnya dengan tajam, "Lembekin teteknya Pak Satpam, aku mau bejek sekuat tenaga," titahku.
Bang Guntur tersenyum, "SIAP!" serunya.
Dengan penuh kendali membiarkan otot dadanya perlahan melunak, takluk dalam jeratan jemariku.
Aku bisa merasakan perubahannya, Jari-jariku semakin lama semakin bisa merasuki kedalaman, mengeksplorasi labirin yang penuh dengan kabel-kabel yang tersusun rapi. Aku merasakan denyut-denyut kekuatan yang tersembunyi di baliknya, mengalir dengan irama yang kukenali.
Kupenuhi janjiku, kuremas daging dada sekuat tenaga, hingga dagingnya yang liat itu memenuhi setiap ruang di sela jariku. Dengan beringas kuperas dadanya, seakan ingin memeras dua semangka alot. Squelch, squelch. Sensasi itu sulit kujelaskan, hangat dan kenyal, dagingnya berlimpah seperti buah yang siap diperas. Aku membayangkan bergalon-galonnya sari yang bisa diperoleh dari buah-buah sebesar dan sepenuh ini. Jari-jariku meresapi setiap inci tubuhnya, seakan menggali jalan tembus mencapai detak jantung yang berdenyut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembangkit Listrik Tenaga Tetek
Romance⚡︎Peringatan⚡︎: Cerita ini berisi konten LGBT dewasa yang eksplisit dan ditulis dengan pembaca spesifik dalam pikiran. Jika Anda merasa tidak nyaman dengan tema ini, Anda mungkin lebih suka mengeksplorasi karya lain. ⚡︎Sinopsis⚡︎: Dikala badai pande...