Di dalam kamar yang tak asing baginya, suasana sunyi yang menyayat hati, dan aroma yang setiap hari gadis cantik itu hirup. Semua ini kini terasa begitu memilukan.
[Name], gadis yang menderita penyakit mematikan, tak ada yang tahu bagaimana cara melawannya, termasuk dokter. Tahun demi tahun ia habiskan di rumah sakit, sendirian.
"Ah.. Aku muak dengan semua ini." Gumamnya dalam hati, penuh makna.
Langkah kaki terdengar, nyaring di keheningan malam yang mencekam di rumah sakit. Seorang pria tampan yang gagah, membuka pintu tanpa mengetuk.
"Aku tarik ucapanku tadi. Aku tidak sendirian, ada Itoshi Rin yang selalu berada disampingku." Ujar [Name] pada dirinya sendiri.
Benar, meski keluarga [Name] telah menelantarkannya sejak kecil, selalu ada Itoshi Rin, sang kekasih, yang selalu ada disisinya.
"[Name]." Ucap Rin lembut. Dia pria yang dingin, namun saat bersama sang kekasih, ia menjadi sosok yang sangat lembut.
"Maaf aku terlambat, banyak hal yang menggangguku hari ini." Ujar Rin, ekspresinya penuh penyesalan.
[Name] hanya membalas dengan senyuman tulus, penuh cinta. Lalu, setelah beberapa saat, ia menjawab. "Tak apa. Aku tahu kau sibuk dengan pekerjaanmu."
Hening, tak ada kata lagi. Lalu Rin memecah keheningan itu tanpa ragu. "Jangan mati." Ucapnya, suaranya gemetar, sambil memegang tangan sang kekasih yang pucat.
Gadis cantik itu hanya tersenyum, seperti biasa. "Apa yang kau katakan?" Tawanya merdu.
Namun, tawa itu reda ketika Rin terlihat serius. [Name] meraih wajah Rin, senyum lemah di bibirnya. "Maaf, aku tidak bisa berjanji."
Mendengar jawaban dari gadis yang dicintainya, hati Rin terluka dengan kenyataan itu. "Tidak, jangan pergi. Aku tak bisa hidup tanpamu." Katanya, suaranya gemetar. "Ini perintah."
Gadis itu hanya terkekeh lagi, menertawakan sisi kekanak-kanakan sang kekasih. "Meski kau memerintahku, jika Tuhan memanggilku esok, aku bisa berbuat apa?"
Hening, tak ada yang berbicara. Tangan [Name] berpindah ke tangan Rin. "Rin, pulanglah. Mengapa kau datang kemari? Jika kau sibuk, tak perlu datang malam-malam seperti ini, datang saja besok."
"Tidak, aku ingin tetap di sini. Aku baru saja tiba, dan kau mengusirku?" Kata Rin, membuat [Name] cemberut. Ia tak ingin merepotkan Rin.
"Rin, aku bilang pulang." Hening sejenak, kemudian Rin menghela nafas. Dia tahu betul, sang kekasih adalah orang yang keras kepala.
Rin mencium kening sang kekasih, senyuman tulus di wajahnya. "Aku pulang, sayang. Jaga dirimu."
Rin melangkah menuju pintu, berhenti di ambang pintu. Entah mengapa, ia merasa perasaan yang tak enak. Walaupun begitu, ia membuka pintu itu, dan pergi.
Pagi tiba, matahari indah menyambut esok hari. Di balik keindahan itu, ada seorang gadis yang tertidur pulas.
"APA YANG KAU KATAKAN, DOKTER!? PACARKU PASTI BAIK-BAIK SAJA! DIA HANYA TIDUR, BUKAN MATI!" Rin, pria tampan itu, berteriak dengan keras pada dokter. Suaranya bergema di ruangan rumah sakit, itu sangat mengganggu pasien yang lain.
"Mohon maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi, saat pagi hari tiba, beliau sudah tak bernafas." Jawab dokter dengan lembut, mencoba menenangkannya.
Rin, kekasih [Name], merasa hancur. Hatinya seakan ditikam ribuan duri tajam bertubi-tubi.
Ia jatuh ke lantai, kesedihan yang mendalam merajai. Rin tak menyadari, malam sebelumnya adalah pertemuan terakhir mereka.
Tangisan berlinang, Rin yang jarang menangis kini menangis tersedu-sedu.
"Ah.. Aku tak sempat mengucapkan selamat tinggal."
Dalam keheningan yang penuh kesedihan, Rin duduk sendiri di kamarnya. Setiap sudut kamar mengingatkannya pada [Name], kenangan indah yang kini menjadi beban berat dalam hatinya. Ia menatap foto-foto mereka berdua yang tersusun rapi di meja, mengenang momen-momen bahagia yang pernah mereka lewati.
Rin merasa seperti kehilangan arah dalam hidupnya. [Name] bukan hanya kekasihnya, tetapi juga sumber inspirasi dan semangat baginya. Ia teringat bagaimana [Name] selalu menguatkan dirinya saat ia merasa lemah dan ragu. Hidupnya terasa hampa tanpa kehadiran [Name], dan pikiran itu membuatnya semakin hancur.
Di sela-sela tangisnya, Rin menggenggam erat kalung yang pernah diberikan [Name] padanya. Kalung itu adalah hadiah ulang tahun mereka yang terakhir, diukir dengan inisial nama mereka berdua. Ia merasakan getaran erat dari kalung itu, seolah-olah ada kehadiran [Name] yang menguatkan hatinya.
Tak lama kemudian, Rin memutuskan untuk pergi ke taman yang sering mereka kunjungi bersama. Dia duduk di bawah pohon yang rindang, menatap jauh ke cakrawala. Angin sepoi-sepoi membuat rambutnya bergerak perlahan, dan ia merasakan seakan-akan [Name] sedang berada di sisinya.
"Bukankah ini indah, [Name]?" Gumam Rin, seolah-olah sedang berbicara dengan arwah kekasihnya. Dia merasakan hadirnya [Name] dalam angin yang berhembus lembut dan suara dedaunan yang bergerak.
Rin mengingat kembali obrolan terakhir mereka. "Meski kau memerintahku, jika Tuhan memanggilku esok, aku bisa berbuat apa?" Kata-kata itu terdengar dalam benaknya, dan ia merenung. [Name] selalu memiliki kebijaksanaan dan keberanian dalam menghadapi kenyataan, bahkan dalam momen-momen yang penuh kesedihan.
Dalam hati Rin, ia tahu bahwa [Name] ingin dia terus melangkah, menghadapi hidup dengan semangat yang sama seperti yang [Name] miliki. Dengan perlahan, Rin menghapus air matanya dan tersenyum ke arah langit.
"Terima kasih, [Name]." bisik Rin pelan. "Aku akan terus melangkah dan menjalani hidup dengan keberanian yang kau ajarkan padaku."
Rin merasa bahwa kehadiran [Name] masih ada dalam hatinya, memberikan dukungan dan cinta yang tak tergantikan. Meskipun ia sangat sedih dengan kepergian [Name], ia tahu bahwa cinta mereka tetap abadi dan akan terus menginspirasi langkahnya di dunia ini.
Dengan tekad yang baru ditemukan, Rin bangkit dari tempat duduknya di bawah pohon. Ia melangkah perlahan meninggalkan taman, membawa kenangan indah tentang [Name] dan tekad untuk menjalani hidup dengan penuh semangat, sebagaimana yang [Name] harapkan darinya.
Itoshi Rin, cinta pertama dan terakhir [Name].
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Echoes of Love. [Itoshi Rin x Reader]
Romance[Name], gadis yang menderita penyakit mematikan, tak ada yang tahu bagaimana cara melawannya, termasuk dokter. Tahun demi tahun ia habiskan di rumah sakit, sendirian. "Jangan mati." Ucap Itoshi Rin, suaranya gemetar, sambil memegang tangan sang keka...