Panglima

89 15 3
                                    

" Panglima Tio. "

Seorang pria gagah perkasa bergelar perdana menteri menoleh ke arah panggilan tersebut. Ia melihat seorang anak kecil, berambut pirang sedang masuk pintu kamarnya ini.

" Ada apa wahai pangeran? " Tanyanya kepada sang anak kecil.

" Panglima, ingin pergi ke jamuan kerajaan tetanggga? "

Panglima itu menggangguk, menandakan isyarat iya.

" Panglima hebat, nanti kalau sudah besar aku mau jadi seperti panglima. " Seru bocah itu.

" Jangan. "

" Kenapa? " Balasnya.

Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang pelayan tiba dan  memberitahukan bahwa kereta kerajaan miliknya sudah siap. Untuk menghadiri jamuan kerajaan tetanggga. Sang panglima kemudian berpamitan kepada pangeran dan pada Raja dan Ratu.

" Jangan lupa kendalikan dirimu Tio. " Sang ratu tersenyum masam melepas kepergiaan Tio.

" Jangan sampai terkendali oleh emosi. " Lanjut sang raja.

Tio hanya mengguk dan pergi ke kereta untuk melakukan perjalanannya. Ia tahu, bahwa perjalanan ini perjalanan pertamanya untuk menjaga perdamaian. Namun, semua bukan hanya tentang itu. Ia masi ingat jelas semua kenangan masa lalu yang seperti mencekiknya diam-diam.

" Saya datang. "

.....

Tio memasuki aula kerajaan ini disambut hangat oleh raja kerajaan ini.

" Tio, kamu datang? " Nada raja terdengar mengejek.

" Ya, saya di sini seperti yang anda lihat. "

" Oh, jangan marah anakku haha. " Lanjut sang ratu.

" Kamu lihat, di sini di aula ini, keluargamu yang malang itu di hukum. "

" Ya, pasti aku ingat, aula kotor ini telah merenggut banyak nyawa. Tidak Akan pernah aku lupakan kenangan di sini. "

" Anak kotor dari keluarga miskin ini ternyata bisa mengerti Bahasa kita. "

....

" Tolong.... jangan bunuh suami saya. "

" Suami kamu itu lancang, berani-beraninya menunjukkan kebenaran! Sekarang takdir tidak memihak pada orang miskin seperti kalian. "

" Jaman sekarang kebenaran itu harus di sembunyikan. " Ujar sang Raja

" Kebenaran tidak di butuhkan. " Lanjut sang Ratu.

Srek...

Pedang itu menancap persis di perut sang lelaki. Wanita yang tadinya tegar sekarang jatuh ke lantai. Wanita itu juga ikut di siksa ia ikut dicambuki. Sang lelaki yang tadi sudah jatuh berusaha menahan cambuk yang di berikan pada wanitanya itu.

" Cah Ayu. "

" Mas. "

Nafas terakhir kedua pasutri itu dihembuskan bersamaan. Menyisakan tangis pilu dari seorang anak lelaki berusia 5 tahun yang sedang memegang boneka kucingnya itu.

" Cup cup cup anak manis. " Ujar sang Ratu dengan nada mengejek.

" Mbok'e.... "

Tangis sang anak menjadi saksi pilu, kejamnya dunia ini.

SetaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang