#1 Hutan

2K 25 0
                                    

Aku terbangun lemas, kurasakan punggungku dingin terbaring di sebuah alas yang terasa seperti batu yang dingin, kelopak mataku memberontak menahan rasa penasaranku, sedikit demi sedikit aku melihat cahaya bulan purnama menerangi dedaunan lebat pohon yang berada di atasku. Sayup-sayup aku mendengar suara samar, namun pendengaranku masih belum pulih sepenuhnya. Aku yakin suara-suara itu berasal dari seorang –tidak, beberapa laki-laki. Tapi ketika aku berusaha menolehkan kepalaku untuk melirik sekitar, pada saat itu pula aku kembali pingsan.

— — — — — —

Beberapa saat kemudian.

Mataku terbuka melihat bulan purnama yang sudah bergeser dari posisi tadi. Kelima panca inderaku langsung kembali kepadaku dengan cepat. Suara serangga khas seperti di dalam hutan terdengar sahut-menyahut, bau rumput basah menyeruak dalam hidungku. Dan dinginnya batu yang menusuk punggungku membuatku beranjak duduk seketika, lalu aku tersadar, aku sedang telanjang.

Aku melihat sekeliling, sepertinya beberapa orang tadi telah meninggalkanku sendirian, batu yang aku duduki merupakan sebuah altar berbentuk seperti tempat pemujaan-pemujaan yang sering kulihat di televisi. Dan batu itu dikelilingi oleh kolam air yang mengalir tetapi lambat sampai-sampai aku tidak mendengar suara alirannya namun aku melihat suatu ujung aliran kolam itu. Tepat di atas lubang aliran itu aku melihat terdapat sepotong kain, tak lama aku menyebrangi kolam menuju tepian tempat kain tersebut berada.

Seperti telah disediakan untukku, terdapat sepotong kain dan sebuah pakaian seperti celana dalam suku pedalaman. Sebelum kedinginan, aku segera memakainya, celana dalam tersebut dipakai dengan cara diikat ke belakang sehingga tidak sulit bagiku. Namun, sepotong kain yang tersedia sangatlah kecil karena ukuran tubuhku yang kekar berotot, sehingga aku hanya menyampirkannya di pundakku. Sekarang aku terlihat seperti bapak-bapak petani yang telanjang dada dari sebuah desa pedalaman.

Di sekeliling kolam tersebut terdapat batu-batu lebar yang tersusun seperti memagari kolam. Beberapa jejak kaki sisa tanah terlihat di beberapa titik di atas lingkaran batu tersebut. Namun, sepertinya aku tidak perlu berlama-lama di sini karena tiba-tiba perutku keroncongan dan memberikan tanda agar aku segera mencari sesuatu untuk dimakan atau mencari tempat untuk menghindari kedinginan.

Dalam gelapnya malam, aku hanya dibersamai oleh terangnya purnama sang bulan dalam meyusuri hutan ini. Tidak tahu arah, aku pun mengikuti jalan setapak yang cukup jelas untuk kutelusur. Hingga setelah hampir setengah jam aku berjalan, di kejauhan aku melihat beberapa titik terang seperti nyala api. Langkah demi langkah kupercepat sehingga aku tiba di sebuah gubuk dengan perapian di depannya.

Aku berjalan ke depan pintu gubuk tersebut. Belum sempat aku mengetuk, pintu tersebut terbuka dan terlihat seorang pria dengan badan besar berotot berkata kepadaku,

“Gnatad tamales, rou Rehtorb!”

Antara Dua SemestaWhere stories live. Discover now