"Sudah berapa lama kita bercerai, Neng?"
Tanyaku pada seorang perempuan yang sedang duduk di hadapanku. Sembari merekatkan kain selimut pada bayi yang sedang dipangkunya, ia menatap sekitar kemudian mengerutkan dahi. Terlihat seperti banyak sekali angka di kepalanya. Sementara aku sudah tidak sabar mendengar jawabannya. Apakah kami sudah bercerai selama itu?
"Dua tahun yang lalu kurang lebih. Iya deh, kalau tidak salah, dua tahun yang lalu. Saya agak lupa soalnya."
Perempuan itu terlihat masih ragu dengan hitungannya. Namun kemudian menyusul jawabannya yang ragu-ragu dengan senyumannya yang seperti biasa, hangat dan begitu menyenangkan. Lalu sekali lagi ia meyakinkanku bahwa hitungannya sama sekali tidak keliru.
Aku tidak tahu harus memasang raut wajah yang mana. Apakahh senang atau sedih. Karena hatiku begitu sakit namun perempuan yang kucintai terlihat begitu bahagia. Pertemuan ini adalah pertemuan yang sangat kunantikan meski pada kenyataannya berujung menyakitkan.
Seminggu melakukan terapi di Rumah Sakit, aku berharap apa yang disampaikan oleh Ibu setelah aku bangun dari koma adalah kebohongan. Ternyata memang benar begitu adanya. Aku sudah bercerai dengan istriku, Endah.
Setelah bangun dari koma, aku lupa bagaimana caranya berjalan. Kaki dan tangan ini sulit sekali untuk digerakan. Namun, keinginanku untuk segera bertemu dengan Endah dan anak-anak membuatku begitu semangat untuk terapi, sehingga aku cepat kembali berjalan.
Amnesia ini membuatku tidak dapat mengingat banyak hal, termasuk bagaimana aku dan Endah bisa bercerai. Seingatku, keluarga kecilku adalah keluarga kecil yang bahagia. Kami sudah merawatnya selama belasan tahun, dengan dikaruniai dua orang anak. Alya, putri pertamaku. Dan Aly, bayi laki-laki yang masih dikandung Endah. Kini bayi itu tidur nyenyak dalam dekapan hangat Endah.
Meskipun aku dan Endah sudah bercerai. Bagiku masa dua tahun bukan masa yang lama. Aku akan berusaha untuk mengembalikan kelurga kecilku yang bahagia. Langit penuh petir pagi ini kuyakinkan segera berubah menjadi langit dengan penuh warna pelangi yang indah.
"Dokter bilang apalagi, Kang?"
Pertanyaan Endah membuat lamunanku buyar. Ternyata dia masih sama seperti yang dulu, tidak pernah merasa rugi untuk memulai dan menyambung percakapan. Bukankah pertanyaan ini merupakan tanda bahwa Endah masih ingin berbicara denganku yang sudah lama koma.
"Dokter bilang, aku tidak disarankan untuk mengonsumsi makanan yang bertekstur kasar. Banyak minum air putih. Banyak istirahat dan banyak berkomunikasi dengan orang-orang terdekat, supaya ingatanku cepat kembali."
"Syukurlah kalau begitu. Semoga lekas sembuh ya, Kang. Nggak mudah tentunya buat Akang melewati ini semua."
"Betul sekali, Neng. Saya berharap kejadian ini adalah bagian mimpi buruk dari koma saya. Sulit bagi saya untuk menerima kenyataan kalau kita sudah bercerai, Neng. Kita mulai semuanya dari awal lagi ya Neng. Kita kembalikan keluarga kecil kita yang bahagia. Anak-anak butuh kita bersama. Mereka pasti sedih melihat kita berpisah."
Senyuman manis itu, lagi-lagi tercipta di wajahnya. Namun kali ini tidak terdengar jawaban apapun dari mulutnya. Mungkin baginya ucapanku ini terdengar sangat lancang. Aku yang sedang kehilangan separuh ingatan seenaknya saja meminta untuk balikan.
"Kang, dari jawaban Akang sebelumnya bisa disimpulkan kalau amnesia Akang ini nggak permanen. Bisa jadi Akang hilang ingatan dalam jangka waktu satu minggu, satu bulan. Setelah ingatan Akang kembali, Akang akan tahu kenapa kita bisa bercerai. Akang akan menyesal dengan keputusan meminta saya untuk kembali ini."
Seketika air mata ini tak kuasa kubendung. Tak ragu kutumpahkan air mata ini di depan Endah. Mungkin aku dinilai sebagai orang yang egois, namun sumpah mati aku benar-benar tidak siap dengan perpisahan ini meski Endah terlihat sudah berdamai dengan dirinya sendiri.
"Kenapa kita berpisah, Neng? Masalah apa yang tidak bisa kita selesaikan sampai-sampai kita memilih jalan bercerai? Bagaimana saya menghabiskan sisa umur saya dengan perjalanan hidup yang seperti ini, Neng? Untuk apa saya kembali bekerja, kalau semangat hidup saya sudah tidak berdiri di samping saya? Please, Neng."
Endah menatapku kasihan. "Kang, ada kalimat bagus dari Akang yang bikin saya kuat sampai sekarang ini. Bahagia itu bukan dicari, Kang. Tapi bahagia itu dicipta. Akang bisa bahagia tanpa saya dan anak-anak, kalau Akang memang mau menciptakan kebahagiaan itu sendiri."
Aku menggelengkan kepala. Menunjukkan ketidak-setujuanku pada ucapan Endah, meski katanya yang dia ucapkan adalah ucapanku sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa menciptakan kebahagiaan, sementara sumber kebahagianku adalah dirinya. Kalimat itu terdengar mengerikan, seperti sosok monster yang mengucapkannya.
"Lebih baik sekarang Akang pulang, banyak-banyak istirahat. Saya yakin, setelah Akang sembuh, semuanya akan baik-baik saja seperti semula. Kalau memang dokter bilang kesembuhan Akang akan lebih cepat saat Akang berinteraksi dengan orang-orang terdekat, itu bukan saya Kang, orangnya. Kita bahkan tidak pernah sekalipun bertemu dalam setahun terakhir ini. Maafkan saya, Kang."
Rasanya aneh, aku sangat membenci sosok yang diceritakan oleh Endah. Padahal sosok itu adalah diriku sendiri. Peristiwa macam apa yang membuatku berubah menjadi monster jahat yang menyakiti anak-isteriku. Namun dalam situasi tidak normal ini, aku harus tetap menerima keputusan Endah untuk tidak mau beristeraksi denganku. Hanya saja aku ingin membuat perjanjian.
"Baik kalau begitu, Neng. Mulai sekarang, saya janji tidak akan mengganggu kehidupan Neng lagi. Tapi Neng juga harus janji, Neng akan menceritakan semuanya kepada saya. Saya akan pergi, kalau saya sudah tahu semuanya."
Endah masih menampakkan keraguan pada wajahnya. Kekalutan hatinya dirasakan oleh Aly, bayi itu bangun dari tidurnya kemudian menangis. Sungguh kamu mengerti betul perasaan Ibumu, Nak.
"Biar saya bantu gendong, Neng."
"Ohiya boleh, Kang."
Endah memberikan Aly kepadaku dengan sangat hati-hati. Tangisannya tidak juga mereda, kucoba untuk berdiri dan mengayunnya dalam dekapanku. Seketika Aly berhenti menangis, sepertinya dia mengenal siapa yang sedang memangkunya. Sementara Endah, dia masih sibuk membuat sebotol susu yang sebentar lagi selesai.
Beberapa pengunjung caffe tersenyum memerhatikan tingkah kami. Bukankah kami terlihat seperti keluarga bahagia? Begitu kompak kerjasama suami-isteri ini.
"Tidur lagi dia, Kang?" Tanya Endah.
Aku memperlihatkan Aly kepadanya. "Nggak. Dia lagi memerhatikan wajah Papanya. Mana susunya, Neng? Biar saya yang kasih, dia pasti kangen sama Papanya."
"Kang."
"Iya?"
"Bayi ini namanya Arya, dia anakku dan suami baruku."
"Saya tidak salah dengar, Neng?"
Ternyata keanehan ini terus berlanjut. Semua yang saya dengar semakin menyesakkan dada. Saya yang pada awalnya begitu semangat untuk mengembalikan Endah ke dalam pelukan saya karena waktu perpisahan yang hanya baru dua tahun, kini berubah menjadi kecewa.
Endah sudah ada yang memiliki ternyata. Kalau begitu, tidak ada harapan lagi untuk kembali membangun rumah tangga bersamanya. Apakah kami bercerai karena Endah berselingkuh dengan pria lain? Sementara aku dibuat koma olehnya? Aku harus segera mencari tahu semua ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Berpisah Lagi
Художественная проза"Kalau Akang gak hilang ingatan, mungkin Akang nggak akan pernah meminta saya untuk kembali. Ya, kan?" Aku bingung saat Endah memintaku untuk menjawab pertanyaan itu. Aku sendiri bahkan membenci monster jahat yang diceritakan olehnya, padahal monste...