"Silakan dinikmati, Kang. Kering kentang sama balado ati ampelanya. Saya sengaja bawa nasi lebih banyak, supaya Akang tidak ragu-ragu kalau mau nambah porsinya."
Aku mengambil piring yang sudah diisi penuh dengan nasi dan lauk-pauknya dari tangan Endah. Dia memang pandai memasak, dari penampilannya saja, makanan ini benar-benar menggugah selera makanku.
"Kamu nggak pernah berubah, Neng. Gak pernah bisa masak sedikit. Ini memang pas bahannya ada di Kulkas, atau sengaja masak dalam rangka menyambut saya? Dua-duanya makanan kesukaan saya ini."
Endah terkekeh, wajahnya terlihat tidak terima dikatai. "Memang ada makanan yang nggak Akang suka?"
Benar juga. Sepertinya hanya kayu dan batu yang tidak aku makan. Kalau tidak diimbangi dengan olahraga mungkin aku akan menjadi Bapak-Bapak berperut buncit. Aku tidak tahu apakah sampai sebelum amnesia, aku masih rajin olahraga atau tidak. Seingatku Endah sangat menganjurkannya. Dia akan memuji jika suaminya kuat.
"Ohiya kemarin kamu cerita soal usaha toko pakaian kamu, Neng. Bagaimana kamu membangun bisnis itu? Pasti suami kamu seorang pembisnis juga ya? Aku dulu selalu meminta kamu untuk jadi Ibu Rumah Tangga saja, cukup jaga anak kita. Tidak perlu capek-capek bekerja."
Setelah menuangkan air ke dalam gelas. Endah mengusap layar handphonenya. Lalu memperlihatkan layar itu padaku. Aku belum mengerti maksudnya. Dia membuka sebuah aplikasi dan mencoba lebih dekat.
"Akang nggak akan percaya kalau saya bisa dapat uang jutaan rupiah dari aplikasi Tiktok ini. Saya melewati semua ini dengan begitu mudah. Pada awalnya saya hanya harus mendapatkan komisi dari produk yang saya promosikan. Ternyata semakin banyak orang-orang yang tertarik, mereka ingin produknya saya promosikan juga."
"Waw. Itu keren sekali, Neng. Saya baru tahu kalau Tiktok bisa dipakai untuk jual-beli segala. Maaf ya selama ini saya tidak membuat bakatmu berkembang, Neng. Sepertinya saya terlalu mengekang kamu selama ini."
"Semua juga karena sudah waktunya, Kang. Ditambah teknologi semakin hari semakin canggih. Saya bisa kerja hanya dari Rumah, tidak perlu pergi pagi pulang petang, seharian di Kantor. Dan sekarang saya juga punya produk sendiri. Saya senang karena kegiatan saya ini buat saya semakin banyak ketemu orang. Saya bisa bantu mereka. Meski sekadar berbagi ilmu dan pengalaman."
Melihat bagaimana Endah berbicara. Aku terkesima.
"Kamu cantik sekali, Neng."
Tanpa sadar ucapanku membuat Endah menjauh dan salah tingkah. Lagi-lagi aku memercayai satu hal, wanita akan tampak jauh lebih mengangumkan, saat ia sudah bukan milik kita lagi. Pikiranku tidak lepas dari keinginan untuk membersamainya lagi. Namun kali ini tidak akan kunyatakan, aku tidak ingin membuatnya tidak nyaman.
"Saya itu lagi cerita. Fokus ke ceritanya, Kang."
"Okey okey. Maaf-maaf. Saya terbawa suasana lagi."
"Yasudah begitu saja ceritanya. Saya sudah kehabisan semangat untuk bercerita lagi. Katanya Akang mau saya cerita dari awal sampai akhir. Jangan mengkhianati komitmen dong, Kang. Apa perlu di Proyek Sebelum Berpisah Lagi ini saya pasang tarif seminar, nih?"
"Uuu sombong sekali wanita ini."
Endah memutar bola matanya. Tingkahnya semakin membuatku gemas. Benar sekali nasihat dari seorang bijaksana. Cinta itu tidak harus memiliki katanya. Melihat orang yang kita cintai sebahagia ini saja, sudah cukup memberikan kita semangat untuk melanjutkan hidup.
"Terimakasih ya, Neng."
"Untuk apa, Kang? Untuk menu sarapannya? Cuma hari ini loh Kang, saya kasih gratis. Besok mah harga naik, hihihi."
"Dalam situasi tidak normal ini terkadang saya takut, Neng. Saya bahkan tidak mengenal diri saya sendiri. Mungkin siapapun bisa mengambil kesempatan ini untuk melakukan hal yang tidak-tidak. Tapi saat bersama kamu, saya melupakan ketakutan itu, yang ada hanya tenang, Neng."
"Yang saya lakukan ini tidak ada apa-apanya Kang dibanding Ibu. Beliau melewati hari-hari yang berat, dengan ketidak-pastian apakah anak satu-satunya ini masih bisa bertahan hidup atau justru meninggalkannya untuk selamanya."
"Tentu saja itu yang utama. Maksud saya, selain Ibu. Kamu harus tahu Neng, ingin sekali saya berteriak sembari memaksa siapa saja yang saya temui untuk menjelaskan semuanya dalam waktu singkat. Tetapi melihat kamu yang sangat berhati-hati, begitu hangat memperlakukan saya, saya senang menunggu waktu untuk mengetahui semua kebenarannya."
"Karena hanya itu yang bisa saya lakukan sejauh ini, Kang. Yang Akang inginkan tentunya kesembuhan, bukan? Layaknya obat yang kita minum saat sakit, kita gak bisa minum obat itu sekaligus. Perlu beberapa hari untuk kita bisa menghabiskannya lalu sembuh. Itu maksud saya."
"Saya tidak tahu harus berapa kali lagi menyampaikan terimakasih. Mungkin sampai kamu bosan, Neng. Kalau saja mantan isteriku bukan kamu, mungkin saya tidak akan mendapatkan pelayanan sekelas VIP ini. Hahaha."
"Kepala kamu benar-benar bermasalah sepertinya, Kang. Kamu baca buku apa Kang selama terapi di Rumah Sakit kemarin? Walaupun akhirnya itu bikin saya percaya, ingatanmu memang benar tertinggal di tahun-tahun itu. Kamu pasti akan terkejut melihat Alya. Dia sudah bukan anak kecil lagi, Kang."
Aku menjauh dari sandaran kursi. "Kita hampir melupakan Alya, Neng. Dia sudah pulang? Ayo Neng kita jemput dia, Neng. Saya sudah tidak sabar ingin bertemu dia."
"Besok Alya libur, biasanya hari terakhir sekolah, ada istirahat cukup panjang sebelum ekstrakurikuler dimulai. Nanti kita ajak Alya untuk ngopi-ngopi di warung kopi di samping sekolah ya."
Aku benar-benar tidak sabar ingin bertemu Alya. Dulu waktu masih kecil, wajahnya sangat mirip denganku. Dia seperti aku versi perempuannya. Endah bergegas merapikan bekas makan kami berdua. Lalu berangkat ke sekolah Alya dengan mobil kami masing-masing. Endah membawanya karena harus pergi menemui resellernya setelah bertemu denganku.
"Alya dimana Sayang? Ekstrakurikulernya dimulai belum? Atau masih istirahat? Mama di depan Gerbang Sekolah nih. Bisa keluar sebentar nggak, Sayang? Mama mau ajak Alya ke Warung Kopi, Nak. Okey. Yasudah Mama tunggu ya, Sayang."
Endah menutup panggilan Alya.
"Apa katanya, Neng? Dia bisa ketemu saya?"
"Dia baru selesai kelas katanya, Kang. Biasanya siswa gak boleh keluar di jam sekolah. Tapi kalau hari sekolah menjelang libur begini agak bebas akses keluar-masuk siswanya."
Jantungku semakin berdebar. Semoga tidak ada lagi sesuatu yang buruk. Pertemuanku dengan Aly cukup menguras air mataku. Semoga tidak dengan pertemuanku dan Alya.
"Sayaaang. Gimana sekolahnya, Nak?"
Sambut Endah pada seorang perempuan yang baru saja menghampirinya. Mereka sama tinggi. Benar kata Endah, Alya sudah bukan anak kecil lagi. Bangun-bangun aku sudah punya anak perawan yang sangat cantik. Alya melihat ke arahku. Aku tidak melihat ada senyuman di wajahnya. Tapi saat ini dia sedang pelan-pelan menghampiriku, menuruti perintah Ibunya. Lalu mengulurkan tangan kanannya kepadaku.
"Alya mau salam, Kang." Endah memegangi pundak Alya.
Ingin sekali aku memeluknya namun khawatir membuat Alya tidak nyaman. Aku tidak menyangka pertemuanku dengan Alya akan berjalan sekaku ini. Alya tidak memperlihatkan rasa senang saat bertemu denganku. Akan kutanyakan pada Endah soal ini nanti. Katanya ia tidak pernah melarangku bertemu dengan Alya, tapi mengapa kami berdua sekaku ini?

KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Berpisah Lagi
Ficción General"Kalau Akang gak hilang ingatan, mungkin Akang nggak akan pernah meminta saya untuk kembali. Ya, kan?" Aku bingung saat Endah memintaku untuk menjawab pertanyaan itu. Aku sendiri bahkan membenci monster jahat yang diceritakan olehnya, padahal monste...