SBL 003

26 2 0
                                    

Pagi ini, aku mengirim pesan kepada Endah. Setelah tadi malam, aku dan Endah sepakat untuk bertemu lagi hari ini. Kami menamai pertemuan ini dengan nama "Proyek Sebelum Berpisah Lagi". Amat menggemaskan bukan.

Aang : Sebentar lagi aku berangkat, kita sarapan di warung kopi ya. Kamu yang rekomendasiin Warkopnya.

Endah : Okey, aku masih siap-siap. Kalau sarapan di warung kopinya nanti lagi aja, gak papa gak?

Aku sedikit kecewa dengan penolakannya. Sebenarnya Endah memang tidak menolak mentah-mentah. Aku masih bisa bertanya kepadanya apa sebab menolaknya. Namun kuurungkan keinginan yang kurang penting itu.

Endah : Aku udah masak kering kentang sama balado ati ampela soalnya buat sarapan kita pagi ini. Kata dokter, udah bisa makan makanan yang sedikit keras, kan?

Kupegang erat handphone ini agar tidak lepas dari genggaman. Membaca isi pesan Endah, rasanya ingin kulempar apa saja yang ada di dekatku. Sayangnya yang kupegang ini adalah handphone Ayah, aku memakainya sampai handphoneku kembali dari Tukang Service.

"Bahagia sekali sepertinya."

Ternyata Ibu memerhatikanku dari jauh.

"Mau ketemu Endah lagi hari ini?"

"Iya Bu, sekalian mau ketemu Aly sama Alya. Rasanya udah lamaaa banget gak ketemu mereka. Apalagi Aly, aku mengingatnya dia yang masih dalam kandungan Endah."

Ibu tersenyum. "Jangan lupa bawa bunga kalau begitu."

Ibu mengerti sekali suasana hatiku. Benar juga, Endah pasti senang dibawakan bunga. Aku tidak tahu apakah ini keterlaluan atau tidak, aku hanya memanfaatkan sikap suami baru Endah yang katanya tidak cemburuan.

Endah : Mas, gak usah ke Rumahku, langsung kesini aja
Endah : [sharelok]

Endah berubah pikiran, apakah suaminya sudah pulang dari luar kota sehingga aku tidak diperkenankan untuk mampir ke Rumahnya? Wanita itu. Juara sekali dalam menjaga hati pasangannya. Aku semakin cemburu.

"Aku berangkat dulu ya, Bu."

"Hati-hati, ya Ang. Ngebut boleh, tapi hati-hati."

"Siap Bu. Kalau ada apa-apa, telepon ya."

Ibu mengiyakan. Kuambil kunci yang menggantung di paku samping lemari. Tidak hanya handphone, mobilku juga kata Ibu masih diperbaiki. Jadi, aku kesana-kemari menggunakan mobil Ayah. Tapi pesan Ibu, sebaiknya mobil itu dijual saja, biar pemilik baru yang merawatnya.

Aku belum memberikan jawaban untuk saran Ibu yang itu. Bagaimanapun mobil itu berisi kenanganku dan Endah. Aku membelinya saat masih bersama Endah, tabungan uang Endah juga masuk di dalam pembelian mobil itu. Entah apa yang terjadi, mobil itu masih di tanganku saat kami sudah bercerai. Aku semakin penasaran.

Sesuai saran Ibu, aku berhenti di sebuah toko bunga untuk membeli beberapa tangkai mawar putih untuk diberikan kepada Endah. Tidak memakan waktu lama, dari toko bunga aku hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk tiba di lokasi yang Endah bagikan. Ternyata aku juga berhenti di sebuah toko bunga.

"Kang."

Endah menyapaku dari belakang.

"Loh Neng? Kok bawa bunga juga? Ini saya bawa bunga diminta sama Ibu. Tahu begitu, saya beli bunga di sini."

"Nggak papa, Kang. Yuk."

"TKA-nya di sebelah mana, Neng?"

"Kita bukan mau ke TKA, Kang."

Endah tersenyum lantas menyebrang jalan. Sementara aku masih diam di tempatku berdiri. Hatiku mengatakan pertemuan ini bukan pertemuan yang menyenangkan. Seketika senyumku hilang. Endah yang sudah sampai di seberang jalan mengiyakan kegelisahan di wajahku.

Aku masih berharap kalau dugaanku salah. Endah masih menungguku di seberang jalan sana. Kakinya terlihat lebih kuat daripada aku, seharusnya aku merasa malu. Aku mengikuti langkah Endah tanpa bertanya mau dibawa kemana. Sampai akhirnya Endah berhenti di gundukan tanah dengan nisan yang mungil.

"Assalamualaikum Anak Shaleh, Mama datang lagi, Nak. Tapi nggak sama Teteh. Mama datang sama Papa, Nak."

Aly Putra Aang bin Aang. Ya. Mataku yang sudah berkaca-kaca ini tidak salah membaca tulisan pada nisan mungil itu. Tubuhku begitu saja memeluk Endah. Hatiku sangat sakit, tidak ada kata yang dapat menjelaskannya. Aku sama sekali tidak bisa menghentikan isak tangis ini.

"Maafkan saya, Neng."

"Aly sudah di tempat yang indah, Kang."

Endah terus menepuk punggungku saat pelukanku padanya semakin erat. Entah bagaimana Endah bisa melalui semua ini dengan senyuman di hadapanku. Rasanya tidak akan pernah kita temui, waktu yang cukup untuk menghilangkan perasaan sedih atas kehilangan.

"Sudah ya, Kang. Nanti Aly ikut sedih kalau lihat Papanya menangis seperti ini. Aly anak yang kuat, Kang. Makanya dia sudah siap di barisan terdepan mendahului kita."

Perlahan kulepaskan pelukan erat itu. Endah masih berusaha menenangkanku dengan senyumannya. Kemudian menuntunku untuk lebih dekat dengan nisan itu. Kami berdua duduk di sampingnya dengan tangisan air mata yang masih berusaha kuhentikan.

Melihat tanggal di nisan itu, aku bertanya kepada Endah. "Anak kita lahir dan meninggal di hari yang sama, Neng?" Dan Endah hanya membalas dengan anggukkan.

"Perasaan sedih kamu pasti lebih daripada ini, Neng. Sudah sakit mempertarukan hidup dan matimu untuk kelahiran anak kita, ternyata kamu juga harus dibuat sakit atas kepergiaanya. Bagaimana kamu bisa melewati ini semua, Neng? Saya tidak bisa membayangkannya."

"Saya sudah baik-baik saja, Kang. Setelah kepergian Aly, aku menjadi lebih kuat lagi untuk melanjutkan hidup. Maaf saya gak cerita soal ini kemarin. Saya khawatir Akang jadi kenapa-kenapa. Bukannya sembuh, Akang malah tambah sakit. Setelah ini, setelah Akang semakin tahu semuanya, Akang gak boleh protes, apalagi sama Gusti Allah."

"Berat untuk saya, Neng."

"Berat itu karena sekarang Akang lagi sakit, lagi amnesia. Padahal sebelumnya, yang saya tahu, kehidupan Akang sudah baik-baik saja kok. Akang menjalani hari dengan normal. Mudah-mudahan Akang segera sembuh ya."

"Saya sekuat itu, Neng?"

"Iya. Semuanya akan jauh lebih mudah kalau ingatan Akang sudah kembali. Banyak-banyak berdoa ya, Kang. Walaupun dokter bilang kalau kesembuhan Akang itu kemungkinannya kecil. Akang jangan sampai menyerah. Ada Gusti Allah yang akan membantu semuanya."

"Dan Gusti Allah menghadirkan kamu untuk kesembuhan saya, Neng. Saya tidak ingin jauh-jauh dari kamu, Neng. Kalau perlu, saya akan menemui suamimu dan bilang kalau saya ini masih mencintaimu, Neng."

"Nggak bisa, Kang."

"Kenapa gak bisa, Neng? Saya masih mencintai kamu."

"Tapi saya nggak, Kang. Saya menyetujui proyek Sebelum Berpisah Lagi dengan Akang ini karena saya merasa kalau Akang membutuhkan bantuan saya. Saya hanya membantu, tidak lebih daripada itu. Saya minta maaf."

Aku menggelengkan kepala sembari menyeka air mata. "Saya yang minta maaf, Neng. Saya terlalu terbawa suasana. Maaf saya buat kamu nggak nyaman."

"Nggak papa, Kang. Sekarang, kita berdoa dulu ya Kang, buat Aly. Setelah ini kita jalan ke belakang toko bunga itu. Ada Taman di sana, kita bisa istirahat sambil sarapan."

Aku mengangguk tanda setuju. Hal mengejutkan apalagi yang akan aku terima setelah ini? Aku benar-benar harus mempersiapkan diri. Usai mengirimkan doa untuk Aly, aku mengambil beberapa foto dengan Endah di sana.

"Ohiya, besok aku mulai pergi ke Kantor lagi." Aku membuka percakapan di perjalanan menuju Taman.

"Waaah. Selamat kembali ke Kantor, Kang."

"Ada Hadidi kemarin ke Rumah. Dan aku baru tahu, kalau sekarang aku bukan Fakturis lagi. Hadidi ketawa puas. Katanya dia nggak nyangka kalau aku seamnesia itu."

"Tapi aku juga pengin ketawa sih, Kang. Hahaha. Masa sama pekerjaan sendiri aja kamu lupa. Aneh banget."

"Oh jadi kalian sama-sama sedang bahagia di atas penderitaan orang lagi begitu? Tega sekali ya."

Endah masih tertawa. Aku senang melihatnya. Lesung pipi itu membuat wajahnya semakin menggemaskan. Endah pun semakin cantik nan berwibawa dengan hijabnya, merasa bersalah sekali sudah memeluknya. Sikapku terlihat seperti tidak memuliakan perempuan.

Sebelum Berpisah LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang