"Neng, dugaan yang ada di kepala saya saat ini tidak benar, kan? Bukan kamu kan yang buat saya koma lantas kamu bisa berselingkuh dengan laki-laki yang saat ini sudah menjadi suamimu, Neng?" Tanyaku pada Endah.
Bayi itu sudah ada dalam dekapan Endah lagi. Ternyata dia bukan Aly. Melainkan anak Endah dan suami barunya. Aku tidak menyangka Endah secepat itu membuka lembaran hidup yang baru, menemukan penggantiku.
Endah tersenyum, "saya gak serendah itu, Kang. Baiklah, untuk menghindari dugaan-dugaan Akang yang semakin aneh, saya setuju untuk menceritakan semuanya. Tapi tidak sekarang. Karena saya sudah ada janji, saya akan bertemu dengan reseller saya di sini, Kang."
"Reseller? Tunggu dulu, Neng. Kalau bayi ini bukan Aly, maksud kamu, Aly sedang bersekolah di TKA seberang sana? Dia sudah TKA, Neng? Saya pengin ketemu. Saya juga pengin peluk Alya, dia pasti sudah besar sekarang." Aku terus memberikan pertanyaan beruntun pada Endah.
"Iya Kang, saya punya toko pakaian sekarang. Kebetulan reseller saya ini, orangtuanya anak-anak yang bersekolah di TKA seberang sana. Soal Alya dan Aly, kapanpun Akang boleh kok ketemu sama mereka. Tapi gimana kalau ketemunya besok? Pagi Akang ketemu dulu sama Aly, lalu siangnya Akang jemput Alya pulang dari SMP-nya?"
Aku tertarik dengan ide Endah.
"Serius, Neng? Suami kamu tidak masalah?"
"Dia bukan tipe suami yang cemburuan kok, Kang. Sekarang dia lagi kerja di luar kota. Kalau aku cerita soal ini, dia pasti ngerti kok. Dia orang yang baik, Kang."
Aku berusaha tetap tersenyum saat Endah memuji lelaki lain. Bagaimanapun aku cemburu mendengarnya. Wanita yang dalam ingatanku adalah istri yang sangat aku cintai, membanggakan pria lain di depan mantan suaminya.
"Baik kalau begitu, Neng. Saya pergi dulu. Terimakasih sudah menerima saya dengan baik. Maaf saya sudah menuduh kamu yang tidak-tidak. Besok hubungi saya, untuk info waktu dan tempatnya. Hati-hati ya Neng."
Endah tampak canggung saat kulambaikan tangan tanda perpisahan padanya. Hatiku semakin bertanya-tanya, tak percaya apakah aku dan Endah benar-benar seasing ini.
Bingung mau kemana, aku memutuskan untuk kembali ke Rumah Ibu. Kulihat sebuah mobil sudah terparkir di sana. Penasaran siapa yang bertamu, kupercepat langkah kaki ini setelah turun dari mobil yang kuparkir di sebelah mobil tamu yang belum kukenal itu.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Ibu sedang berbincang dengan seorang tamu laki-laki. Aku mengenalnya, dia Hadidi Susanto, memegang jabatan Area Sales Supervisor (ASS) di Kantorku. Meskipun jabatan yang dia pangku lebih tinggi, dalam ingatan, interaksi kami di Kantor layaknya seorang teman.
"Yang ditunggu-tunggu akhirnya jalan juga. Gimana sekarang, Ang? Sehat, Bro? Masih kenal aku, kan?"
Aku menjabat tangannya dan menerima rangkulannya, "Ingat-ingat, Hadidi Susanto. Teman makan siangku di Kantor. Yabeginilah, kesana-kemari sambil kebingungan. Mungkin Ibu sudah cerita banyak ya tadi. Sudah lama?"
"Lumayan, dari setengah jam yang lalu aku di sini. Iya, Ibu sudah cerita cukup panjang tadi. Syukurlah kalau sudah sehat. Yang tabah ya, mudah-mudahan ngumpul lagi ingatannya. Kemarin sempet gak bisa jalan ya?"
"Iya. Tapi alhamdulillah terapi seminggu bisa jalan lagi."
Sementara aku dan Hadidi melanjutkan perbincangan, Ibu melangkah meninggalkan kami. Sembari berpesan kepada Hadidi untuk mau membantuku mengembalikan ingatan. Kalau saja isi kepala ini bisa kembali dengan dijatuhi buah kelapa, mungkin aku akan segera mencari pohonnya. Menunggu seharian agar kelapa itu jatuh.
Sayangnya tidak semudah itu. Orang-orang tidak melihatku sebagai orang yang sakit. Karena pada kenyataannya badanku sehat, kepalaku baik-baik saja dengan bentuknya, meski tidak dengan ingatannya.
"Untung saja yang hilang di kepala hanya beberapa bagian hidup, Ang. Jadi, kamu masih bisa mengingat bahasa Indonesia. Soalnya yang aku tahu, amnesia itu ada yang bisa sampai lupa bahasa lho, Ang."
"Seperti ini saja rasanya sudah aneh. Bangun-bangun Ayah sudah meninggal, dengan Endah sudah bercerai. Sampai nggak tahu lagi bagaimana melanjutkan hidup. Cuma bisa berharap kalau ini sekadar mimpi buruk."
"Pasti berat sekali rasanya, Bro. Aku sendiri tidak bisa membayangkan. Tapi kamu harus percaya, ujian yang menimpa ini tidak mungkin kalau tidak ada hikmahnya. Coba lihat Ibu, Ibu begitu sabar, kesabarannya ternyata membawa hikmah, anaknya masih diberi kesempatan hidup. Jadi, jangan sampai disia-siakan ya, Bro."
Aku tersenyum tipis.
"Gimana kalau sambil nyari angin, pekan besok mulai ngantor lagi, Ang? Siapa tahu dengan ke Kantor lagi setiap hari, itu bisa bikin ingatanmu balik."
"Wahiya boleh itu, Bro. Mudah-mudahan aku tidak lupa bagaimana caranya mencetak faktur. Dan masih mengingat siapa saja sales-sales di Kantor kita."
"Bro, serius sampai seamnesia itu?"
Hadidi terlihat heran dengan jawabanku.
"Kamu itu sudah bukan Fakturis lagi. Jabatanmu Area Operational Supervisor (AOS) sekarang. Benar-benar tidak ingat? Sorry banget ya, Bro. Bukan bermaksud untuk bahagia di atas penderitaan orang lain. Tapi amnesiamu ternyata selucu itu."
"Serius, Bro?" Tanyaku sekali lagi.
"Seriuuus!" Hadidi masih dengan tawanya.
"Ahis kemana? Dia sudah bukan AOS lagi di Kantor kita?"
Ahis, atasanku. Berbeda dengan Hadidi, meski kami sama-sama seumuran, namun hubunganku dan Ahis kurang hangat karena tatapan Ahis kepada Endah yang tidak biasa. Hanya karena mereka pernah satu kelas di SMA, menurutku bukan berarti mereka pantas haha-hihi saat bertemu. Apalagi terlihat langsung oleh mataku.
Itu dia sebabnya, Endah begitu bangga memperkenalkan suami barunya sebagai suami yang tidak cemburuan. Karakter yang sangat berbeda denganku. Aku jadi penasaran bagaimana bisa posisi Ahis digantikan olehku.
"Kamu dan Ahis sudah sama-sama AOS sekarang. Ahis memegang cabang di luar kota. Dan selama kamu koma, Ahis yang meremote pekerjaanmu dari luar kota sana."
"Hubunganku dan dia bagaimana? Apakah membaik?"
Hadidi menggelengkan kepala. "Kelihatannya membaik. Tapi bagaimana kalau langsung ditanyakan saja kepada orangnya? Bagaimanapun, dia pernah jadi atasanmu yang bertanggung-jawab. Ditambah sekarang kerjaanmu dia yang mengerjakan, basa-basi sedikit bisalah, Ang."
Sebenarnya aku canggung untuk melakukan ide yang ditawarkan oleh Hadidi. Tetapi akan kelihatan kurang ajar sekali kalau aku tidak menyampaikan terimakasih diiringi dengan basa-basi yang lainnya. Aku benar-benar tidak dewasa ketika menangani masalah yang seperti ini.
Aku memercayai kata "dunia itu sempit" setelah bahtera rumah tanggaku melewati gelombang laut yang satu ini. Endah, Ahis dan Hadidi sekolah di satu SMA yang sama. Meski Endah tidak bekerja di Kantor yang sama dengan mereka berdua, ternyata aku penyambung reuni mereka.
Aku tidak tahu bagaimana persisnya hubungan mereka. Namun yang kudengar dari Hadidi, Ahis sebagai murid yang pintar menaruh hati pada Endah yang katanya ketika SMA sangat urak-urakan. Cinta Ahis tumbuh saat ia datang terlambat ke sekolah lalu dibantu oleh Endah yang juga kesiangan untuk memanjat tembok belakang sekolah agar tidak merusak reputasi Ahis di sekolah.
Kisah Kasih di Sekolah yang sama sekali tidak ingin aku dengar sebenarnya. Dan yang membuatku secemburu itu adalah status lajang Ahis sampai saat ini. Bukankah itu tanda bahwa cinta Ahis pada Endah belum layu?

KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Berpisah Lagi
General Fiction"Kalau Akang gak hilang ingatan, mungkin Akang nggak akan pernah meminta saya untuk kembali. Ya, kan?" Aku bingung saat Endah memintaku untuk menjawab pertanyaan itu. Aku sendiri bahkan membenci monster jahat yang diceritakan olehnya, padahal monste...