1

24 2 0
                                    

Penulis ini hanya meminjam nama dan karakter. Tidak ada niat apapun apalagi menjelekkan nama yang bersangkutan. Sejak awal buat cerita ini karena habis nonton Drakor Amanza terus terinspirasi. Tentu dengan plot yang berbeda meski garis besar cerita pake poin utama tema penyakit sama bad parenting.

Okay now happy reading~





•~•


Yugyeom benci rumah sakit. Diantara semua hal di dunia ini, ia paling benci tempat berkumpulnya orang-orang pesakitan itu. Semenjak kematian kakeknya, Yugyeom menjadi tidak suka masuk ke tempat tersebut. Sama halnya dengan klinik, segala bentuk tempat yang berbau obat-obatan ia tidak suka. Jika sakit pun, Yugyeom lebih memilih untuk berobat ke apotek biasa dan meminta resep dengan hanya menyebutkan keluhan dari mulutnya.

Yugyeom selalu benci perasaan menegangkan, cemas, dan takut. Tidak ada hal baik yang datang jika seseorang pergi ke rumah sakit. Semua hal di dalamnya pasti tidak akan jauh-jauh dengan luka, penyakit... atau pun kematian.

Sekarang Yugyeom sedang terduduk di sebuah kursi pasien, memandang lembaran kertas berisi hasil pemeriksaan pada tubuhnya. Mata Yugyeom terfokus pada tulisan latin yang sebelumnya tidak ia mengerti, namun karena penjelasan dokter tadi Yugyeom paham.

Bronchogenic Carcinoma.

Sebuah nama lain dari kanker paru-paru.

Benar. Sebuah kanker paru-paru yang sebelumnya ia anggap sebagai gejala asma atau alergi biasa. Bukannya penyakit mematikan yang siap menggerogoti tubuhnya hingga hancur. Tidak, Yugyeom tidak pernah berpikir hal itu akan terjadi.

Namun ternyata, Tuhan sedang memberikan sebuah kejutan tak terduga untuknya.

Dokter mengatakan kanker dalam dirinya sudah menyebar di seluruh tubuh. Ia berada di tahap stadium 4. Harapan hidupnya mungkin tidak bisa lebih dari satu tahun.

Tidak lebih... dari satu tahun...

Yugyeom merasakan tangannya bergetar. Seumur hidup, ia tidak pernah memikirkan akan mengalami hal seperti ini. Sekarang, ketakutannya menjadi nyata. Sesuatu yang ia hindari malah menariknya ke dalam jurang dan menelannya hidup-hidup hingga ia tenggelam. Tidak terjangkau.

Tidak ada yang bisa menolongnya.

Yugyeom kemudian mengusap mukanya lalu menghela napas. Bagaimana ia bisa mengatakan ini ke orangtuanya? Teman-temanya?

Ayahnya baru saja sembuh pasca operasi ginjal sebulan yang lalu. Keadaan ayah dan ibunya juga tidak baik-baik saja, mereka berdua sedang dalam ambang perceraian. Beberapa tahun ini keduanya mengalami pertengkaran hebat. Ibunya menunggu operasi ayahnya selesai setelahnya memutuskan untuk berpisah. Minggu depan ibunya akan mengajukan gugatan.

Sekarang kedua adiknya masih sekolah dan membutuhkan dukungannya. Teman-temanya... Yugyeom tidak ingin membebani dengan berita ia sakit dan membuat mereka susah. Ia benci merepotkan orang lain, itu membuatnya seperti lemah. Yugyeom tidak ingin sekalipun menunjukkan sisi lemahnya. Ia sangat jarang menangis, bisa di hitung dengan jari kapan saja ia pernah mengeluarkan air matanya. Sikapnya yang selalu positif dan tenang menghadapi masalah membuatnya pernah di juluki teman-temanya sebagai orang dengan mental stabil.

Tidak. Yugyeom tidak akan melakukannya. Masih ada beberapa waktu untuk menunggu momen yang tepat. Bahkan lebih baik mungkin ia tidak pernah memberitahu siapapun, dengan begitu orang-orang tidak akan panik. Kematiannya tidak akan menimbulkan banyak keributan. Sebaiknya waktu yang singkat itu akan ia gunakan untuk membuat momen yang indah dengan orang-orang terdekatnya.

Mungkin lebih baik seperti itu.

Yugyeom mulai berdiri. Ia memasukkan berkas pemeriksaan tadi ke dalam tas kerjanya. Membungkusnya rapat-rapat. Ketika berdiri kepalanya menoleh ke ruang dokter yang ia masuki sebelumnya. Pandanganya lalu mengarah ke sekeliling ruangan.

Yugyeom menyeringai pedih.

Ia memang tidak salah untuk benar-benar membenci rumah sakit sekarang.

•~•

Yugyeom tiba pukul 9 malam itu. Bersamaan dengan adik-adiknya yang baru pulang dari les sekolah. Kedua adik Yugyeom adalah kembar tidak identik, laki-laki dan perempuan. Mereka bernama Hana dan Haru. Adik-adik Yugyeom adalah anak yang hiperaktif, selain itu mereka berdua juga sering sekali bertengkar karena hal kecil.Jadi ketika mereka berdua pulang, rumah pasti terasa gemuruh dengan suara yang membabi buta.

Pemuda itu melewati rumahnya menuju kamar sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah. Ibunya sudah pindah seminggu yang lalu sambil menyiapkan surat-surat perceraian. Ayahnya sekarang juga pasti masih di kantor, entah lembur atau malah menghabiskan waktu dengan teman-teman kantornya. laki-laki tua itu sangat keras kepala. Baru seminggu operasi ayahnya nekat bekerja lagi, dari dulu memang laki-laki itu tidak bisa diam saja di rumah. Ayahnya sering sekali pergi. Hal itu pula menjadi salah satu alasan ibunya memilih perceraian diantara banyaknya alasan lain yang Yugyeom tau.

Sebelum ke kamarnya dan berganti baju, pemuda itu menaruh bingkisan besar berisi makanan yang ia beli sebelumnya ke atas meja makan. Ia memanggil adiknya. "Hana-ya.. Haru-ya.. Aku membelikan kalian makanan, kemarilah!"

Suara grasak-grusuk dan suara debuman langkah kaki yang berlari terdengar. Secepat kilat Hana dan Haru duduk di karpet lantai alas meja makan. Mereka dengan wajah yang sumringah membantu Yugyeom membuka bingkisannya. Pemuda itu membelikan adik-adiknya Jjukkumi (gurita panggang saus gochujang), Jajangmyeon lengkap dengan Tangsuyuk dan Haemul Pajeon (penekuk seafood).

Merasa kedua adiknya mulai menata sendiri, Yugyeom memutuskan berbalik arah untuk bersih-bersih tubuh sampai suara Hana memanggilnya. "Oppa? Apa kau nanti akan makan bersama kami?"

Yugyeom terdiam sesaat kemudian menggeleng dan menepuk perutnya tanda kenyang. "Aku sudah makan sebelum pulang. Kalian makan saja semuanya."

Hana mengangguk dan Haru mengangkat jempolnya. Meskipun hafal dan mengerti kebiasaan kakaknya yang sudah sering makan sebelum pulang, gadis itu akan selalu tetap bertanya ketika ia membawa makanan. Saat Yugyeom menjawab sudah dan menyuruh mereka makan semuanya, maka Haru akan memberikan jempolnya sebagai wujud terimakasih.

Yugyeom tersenyum. Tiba-tiba melamun melihat Hana dan Haru yang makan begitu lahap. Memikirkan bagaimana mereka berdua masih membutuhkan dirinya saat kedua orangtuanya acuh meninggalkan mereka bertiga. Tak terhitung sudah berapa kali pemuda itu mendapati dua adiknya yang kelaparan menunggu ia pulang dan membawa makanan. Ibu dan ayahnya sibuk bekerja dan bertengkar hingga lupa anak-anak mereka masih hidup dan membutuhkan bimbingan mereka, kasih sayang mereka.

Pemuda itu tidak bisa membayangkan jika ia akan meninggalkan mereka berdua nanti, siapa yang akan menjaga Hana dan Haru? Siapa yang akan memberikan mereka makanan tiap malam saat mereka berdua kelaparan? Siapa?

Tanpa sadar mata Yugyeom memanas dan pemuda itu segera berbalik menuju kamarnya. Ia menutup pintu kemudian melepas pakaiannya ke sembarang arah lalu mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Yugyeom menyampirkan handuk itu dan mandi dengan air dingin.

Bulir-bulir air yang jatuh kini mulai membahasi kulit putih pucatnya. Sensasi dingin itu menyegarkan, meski tubuhnya menggigil Yugyeom tidak peduli. Pemuda itu memejamkan mata. Kedua tangannya kemudian meremat kepalanya yang kini terasa berdenyut-denyut sambil dalam hati mengucapkan kata. Kata yang semoga saja bisa menjadi mantra dan memberinya keajaiban.

Ia masih ingin hidup.

•~•

Dandelion || Yugyeom 🌼Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang