1: a boy from my dream

7 0 0
                                    

Akhir-akhir ini, Ilona sering kali memimpikan pemuda yang sama. Pemuda yang bahkan tidak ia kenal. Aneh, pikirnya, tapi dia pula lah yang berdoa supaya bisa memimpikan Pemuda itu lagi, tapi apa iya doanya dikabulkan semudah itu? Dan bukannya memimpikan orang yang sama di setiap malam itu tidak biasa?

Namun, yang jelas Ilona senang. Bagaimana tidak? Pemuda yang muncul setiap hari berturut-turut dalam mimpinya itu benar benar tipe Ilona: postur dan gestur tubuh yang elegan, bahu lebar, serta pinggang ramping yang nyaman dipeluk.

Pemuda itu juga memperhatikan dan menyayangi Ilona dengan tulus. Cowok semacam ini yang jelas takkan ada di dunia nyata. Oleh karena itu, pada saat Ilona pertama kali memimpikannya, ia berdoa supaya pemuda itu muncul kembali dalam mimpinya. Ia bahkan menulis mimpinya dalam buku diari supaya tidak melupakan pemuda itu.

Ilona masih ingat mimpi di mana pemuda itu pertama kali muncul, dia sangat baik dan manis. Pemuda itu memeluk Ilona dengan erat, dia mengucapkan kalimat kalimat yang saat itu ingin sekali Ilona dengar, dan seberapa besar ia mencintai gadis itu.

Perasaan hangat dari perkataan dan pelukan pemuda itu membekas hingga Ilona bangun dari bunga tidurnya. Membuat Ilona berharap jika saja pemuda itu ada di dunia nyata, atau setidaknya muncul setiap malam dalam mimpinya, dan itu benar-benar terjadi! Seperti malam ini, pemuda dengan tubuh jangkung dan wajah buram itu muncul kembali dalam mimpinya.

Ia duduk berdampingan dengan Ilona di tepi danau berhiaskan tanaman teratai. Mereka duduk di atas rerumputan dan tanaman semanggi beralaskan selimut kotak-kotak berwarna merah yang manis. Tangan mereka saling menggenggam bagai pasangan yang telah bertahun-tahun bersama.

Sejujurnya, Ilona sadar dan dapat mengendalikan dirinya sendiri saat bermimpi. Mungkin inilah yang disebut dengan lucid dream, dan mungkin itulah mengapa ia dapat memunculkan pemuda di sampingnya itu setiap hari. Karena Ilona lah yang menginginkan pemuda itu untuk muncul, dan dialah yang mengendalikannya sesuai keinginan.

"Kamu muncul lagi," kata gadis itu, melirik sang pemuda dengan tampang polos bak anak kecilnya.

"Tentu saja." Pemuda itu menjawab, suaranya yang lembut menggelitik telinga Ilona dan membuat gadis itu semakin jatuh cinta.

"Kamu ini sebenarnya apa?" tanya Ilona penasaran, dan pemuda itu hanya menjawab dengan 'hm' Kecil dan senyuman polosnya, jelas sekali tak mau menjawab seperti biasanya.

"Siapa namamu?" tanya gadis berambut gelombang itu sekali lagi.

"Tidak tahu, kamu belum memberiku nama." Pemuda itu tersenyum dan mendekatkan wajahnya pada Ilona, membuat sang gadis salah tingkah dan segera mengalihkan pandangannya.

"Uhh... Rayn saja, bagaimana?" Gadis itu memberi usul, masih terlihat salah tingkah.

"Boleh, aku suka." Rayn tersenyum lembut, memeluk Ilona dari samping dan meletakan dagunya pada bahu sang gadis yang tampaknya semakin merona dan salah tingkah itu.

"Rayn..." Cowok itu menggumamkan namanya sendiri, suaranya yang lembut berhasil membuat Ilona menahan nafas.

Kadang Ilona bersyukur dengan fakta bahwa pemuda yang kini ia sebut Rayn itu hanyalah mimpi, karena jika dia nyata, mungkin Ilona takkan sanggup dengan sikap Rayn yang kerap kali menempel-nempel seperti kucing manja itu.

"Rayn... kita itu apa?" Ilona bertanya lagi dengan suara kecil yang terdengar malu-malu.

"Kamu boleh menganggapku apa saja, pacar, sahabat, adik, kakak, tinggal atur saja," kata Rayn.

"Dunia ini, termasuk aku, semuanya punyamu, Ilona." Matanya menatap lurus pada Ilona sementara ia masih memeluk dan menempatkan dagunya pada bahu gadis itu.

Ilona memalingkan wajahnya. Jujur saja ketidakjelasan tentang Rayn kadang terasa menyeramkan, tapi Ilona juga menyukainya. Toh ini cuma mimpi, jadi Ilona lebih memilih mengabaikan rasa takutnya dan menikmati bunga tidurnya bersama Rayn.

Hening, hanya terdengar suara gesekan dedaunan yang tertiup angin di antara mereka-- benar benar terdengar nyata untuk sebuah mimpi--sementara Ilona melamunkan banyak hal.

"Kamu tahu," kata gadis itu, memecah keheningan seraya menghela nafas. "Sepertinya aku terlalu kesepian sehingga kamu pun muncul dalam mimpiku," lanjut Ilona, terdengar agak melankolis.

"Bagus dong, berarti kehadiranku seharusnya membuatmu tidak kesepian lagi." Rayn tersenyum bangga, mendekatkan wajahnya pada Ilona penuh perhatian.

"I- iya.... Tapi maksudku, aku jadi terlihat menyedihkan...." Gadis itu tertawa hambar sementara pipinya memerah menyadari sedekat apa wajah mereka.

"Tidak menyedihkan, kok." Rayn cemberut, tampaknya kecewa mendengar Ilona berkata demikian. "Ayo kita bertemu setiap malam. Aku akan datang ke mimpimu setiap malam supaya kamu tidak kesepian," ajaknya, bibir pemuda itu kembali melengkungkan senyum.

"Janji ya?" Ilona menoleh dan tersenyum simpul. Dia baru saja membuat janji dengan makhluk mimpi, entah kenapa terasa menggelikan.

"Iya janji." Rayn menarik dirinya dari Ilona dan mengangguk.

Mereka pun berbincang di sepanjang malam itu, kebanyakan membicarakan tentang kehidupan Ilona dan hal-hal yang disukainya, hingga gadis itu terbangun ketika suara alarm dari jam digitalnya berbunyi.

Ilona benar-benar senang, ia terbangun dengan senyum cerah. Rasanya itu adalah pertama kalinya Ilona berbicara sebanyak itu, tak pernah sekali pun di dunia nyata dia seperti itu, dan mungkin tak akan pernah.

Tatapan Rayn yang memperhatikannya selagi mendengarkan ocehan gadis itu masih terbayang jelas, membuat Ilona terkikik geli dan merona seraya menendang-nendangkan kakinya dibawah selimut.

Ilona memang senang, tapi gadis yang baru terbangun dari tidurnya itu juga kelelahan. Lucid dream dengan Rayn tentu mengasyikan, tetapi juga menghabiskan banyak energi karena membuat otaknya tidak benar-benar beristirahat saat tidur. Namun, itu adalah bayaran yang sepadan bagi Ilona.

Ilona beranjak dari ranjang setelah meregangkan tubuhnya, dia menghampiri meja belajarnya dan membuka sebuah diari bersampul pink yang seminggu lalu baru ia beli. Ia segera menulis mimpinya dengan Rayn dengan senyum lebar dan pipi yang merona, memastikan dirinya sendiri tak melupakan mimpi tersebut.

Ilona terdiam beberapa saat setelah ia meletakan pulpennya kembali, senyumnya masih mengembang, dan seketika teringat jika ia harus berangkat sekolah, membuat gadis itu segera berlari meraih handuk dan pergi ke kamar mandi. Selelah dan seberbunga apapun hatinya, gadis itu tetap harus pergi ke sekolah. Ya, inilah kenyataan, dan mau tak mau Ilona harus menjalani kenyataan itu.

Dream catcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang