Ilona adalah gadis yang biasa saja. Begitulah menurut dirinya sendiri, dengan wajah lembut yang sebenarnya agak rupawan, rambut gelombang yang berkilau, namun dengan kepribadian dan ekspresi, serta fitur yang membosankan, membuatnya cepat dilupakan, tak meninggalkan kesan apapun untuk siapa saja yang melihatnya untuk pertama kali. Selera fashionnya pun biasa saja, mengikuti tren dan memakai apapun yang gadis-gadis lain pakai.
Namun, dibalik sosoknya yang membosankan dan biasa saja itu, ia merupakan seorang penerus perusahaan pengembang teknologi dan farmasi yang lumayan besar. Ya, gadis yang tak nampak berwibawa itu adalah anak tunggal pimpinannya, satu-satunya hal yang spesial dari gadis itu, atau mungkin tidak.
Bagi Ilona, titel 'penerus' benar-benar membebankan, menyesakkan, dan merepotkan. Ilona tentunya punya alasan untuk merasa demikian, salah satunya adalah ekspektasi dan tuntutan yang dibebankan padanya untuk menjadi seorang pemimpin yang sempurna, dan Ilona merasa tak akan pernah mampu memenuhinya.
Selain posisinya sebagai penerus dan anak tunggal kaya raya, selebihnya dia hanyalah seorang pecundang, setidaknya seperti itulah Ilona memandang dirinya sendiri.
Saat ini gadis itu tengah menatap keluar jendela kelasnya, mengistirahatkan dagunya di tangan, dengan siku bertumpu pada meja, menunggu kelas untuk dimulai. Setengah kelelahan, dan mengantuk, namun juga berbunga-bunga dari sisa ingatan tentang mimpinya.
"Lona." Seseorang memanggilnya dan Ilona dapat merasakan orang tersebut duduk tepat di sebelahnya.
Gadis itu menoleh, mendapati Mikhail, sahabatnya dan teman satu-satunya itu tersenyum dengan senyuman kalemnya yang khas.
"Akhir-akhir ini kamu terlihat mengantuk setiap pagi. Jangan bilang kamu begadang?" Cowok berambut cepak itu mengintrogasi. "Tidak biasanya."
"Err... Bisa dibilang begitu, tapi tidak, kok." Ilona tertawa canggung, entah mengapa ia merasa Mikhail akan memarahinya.
"Aneh," Gumam cowok itu dengan mata menyipit, mencoba menganalisis Ilona. Perkataan Ilona memanglah ambigu, apa maksudnya bisa dibilang begadang tetapi bukan?
"Ilona, jangan bilang kamu clubbing semalaman?!" Lagi lagi cowok itu menuduh seraya menunjuk wajah Ilona.
"Nggak!" jawab Ilona sembari menggebrak meja, tuduhan Mikhail kali ini keterlaluan. "Memangnya aku kelihatan bakal melakukan itu?!" Gadis itu mendengkus kesal.
"Pokoknya ada alasannya kenapa aku terlihat lelah. Kuceritakan setelah pulang les." Ilona berdecak, mengakhiri pembahasan tentang dirinya.
"Eh? Les? Kita bolos saja yuk." Tatapan Mikhail melembut ketika mendengar kata 'les', yang tadinya menghakimi kini terlihat memelas.
"Kita sudah banyak bolos, aku harus belajar lebih rajin." Ilona menggeleng.
"Ayolah, Ilona, kumohon.... belajar terlalu rajin itu nggak baik." Mikhail meraih tangan Ilona dan mulai memohon.
"Nggak!" kata gadis itu, tegas.
"Kamu tahu, di pesta pembukaan hotel baru temannya Ayah. Para pebisnis bawa keluarga termasuk penerus mereka." Ilona menghela nafas, teringat pesta besar beberapa hari lalu yang membuatnya tertekan.
"Mereka semua hebat dan kebanyakan dari mereka laki-laki, aku nggak boleh kalah dari cowok-cowok itu!" Ilona, melanjutkan, terdengar penuh tekad. Namun, segera dibalas dengan kekehan kecil dari Mikhail.
"Kamu insecure, lagi?" Mikhail menggoda dengan senyuman jahilnya, sedikit mencondongkan tubuhnya untuk menatap wajah Ilona, dan masih menggenggam tangan tangan gadis itu.
"Nggak, tuh." Ilona berkilah. Sebenarnya iya, dan gadis itu segera mengalihkan pandangannya untuk menghindari tatapan Mikhail.
"Ya, sudah. Iya, ayo kita les." Mikhail memutuskan, melepas tangan Ilona dan menarik tubuhnya. Di saat seperti ini, dia merasa harus mengikuti keinginan Ilona, untuk meningkatkan semangat dan rasa percaya diri gadis itu untuk menjadi penerus, karena dia tahu Ilona tak bisa berjuang sendirian.
Mikhail adalah satu-satunya sahabat Ilona sejak kecil, dan sudah terasa seperti saudara bagi gadis itu, karena selama ini cowok itulah yang merawat dan menemani Ilona seperti halnya seorang kakak laki-laki.
Mikhail sebenarnya yatim-piatu, dia tinggal sendiri di apartemen kecil milik Ayah Ilona, seluruh hidupnya dibiayai oleh Ayah gadis itu sehingga ia dapat bersekolah di sekolah ternama bersama Ilona sejak kecil dan hidup dengan layak tanpa seorang pun keluarga.
Ilona lah yang memintanya, dan Ayahnya pun tak merasa repot untuk mensponsori seorang anak laki-laki. Terlebih lagi, Mikhail adalah anak dari sahabat mendiang istrinya. Selain itu, ia bisa mengandalkan Mikhail untuk menjaga Ilona dan mengawasinya, mengingat hubungan Ayah dan anak itu terasa agak renggang.
"Tidak jadi les, wow!" Mikhail bersorak di telinga Ilona ketika mendengar bahwa les diliburkan, membuat Ilona mendesis kesal dan segera menutup telinganya.
"Lona, ayo main di rumahmu, aku mau bertemu Ayah!" ajak cowok itu seraya merangkul Ilona, membuat gadis itu semakin risih.
"Duh, nanti apa reaksinya melihat kita pulang di jam les." Ilona mengomel seraya mencoba mengangkat lengan Mikhail dari pundaknya, tetapi pemuda itu tetap bergeming.
"Santai saja, Ayah kan tidak pernah memaksa kita untuk belajar." Cowok itu menyengir, terlihat menikmati Ilona yang kesal dengan rangkulannya.
"Bisa-bisanya kamu bilang begitu padahal sudah dibiayai sekolah. Omong-omong, dia itu Ayahku!" Gadis itu berdecak dan kini membiarkan lengan pemuda itu bertengger dibahunya.
"Tidak boleh perhitungan pada teman sendiri." Mikhail pura-pura cemberut, sudah terbiasa mendengar perkataan Ilona yang blak-blakan, sementara gadis itu hanya menghela nafas dan akhirnya menyetujuinya.
Saat mereka sampai di kediaman Ilona, benar saja, mobil yang mereka tumpangi sampai berbarengan dengan Ayah Ilona-- Arsen Belladova, yang biasa dipanggil oleh para bawahannya dengan sebutan 'pimpinan'. Seorang pria paruh baya dengan wajah keras dan kaku serta rambut kelimis yang sudah menampakan beberapa uban.
"Ayah!" sapa Mikhail pada Pria itu, seraya berlari mendekatinya dengan menyeret Ilona dalam rangkulannya, membuat sang anak kandung membulatkan mata kaget.
Ilona hanya tersenyum canggung ketika mereka bertiga berhadapan, begitu pula dengan Arsen yang melihat mereka, meskipun ada sedikit kegelian dalam senyumannya.
"Hey, sudah kubilang dia itu Ayahku!" protes Ilona pada Mikhail, masih terlihat canggung. Ilona mungkin tak akan pernah bisa menyapa dan menyambut Ayahnya seceria Mikhail-- dia kini terasa seperti anak pungut, benar-benar memalukan.
"Mikhail sudah seperti anak Ayah sendiri, Ilona." Pria itu tertawa, tawanya membawa wibawa yang selalu Ilona kagumi.
"Dengar itu Lona, aku sudah diangkat anak, aku benar-benar sainganmu sekarang." Mikhail menyengir pada Ilona dan mengeratkan rangkulannya pada gadis itu. Sementara Ilona hanya merotasikan bola mata. Sementara, sedikit kecemburuan menghujam hatinya.
"Kenapa kalian sudah pulang? Bolos les lagi?" tanya Pria yang hanya bisa tertawa melihat kelakuan mereka berdua itu.
"Uhh... itu... tempat les nya libur," jawab Ilona dalam rangkulan Mikhail.
"Ah, begitu. Kalau begitu main dan istirahat saja untuk sisa hari ini," kata pria itu mengerti, kemudian meraih dompet dari sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu kredit, membuat Ilona terkaget sementara Mikhail berbinar senang.
"Jajanlah yang banyak," lanjut pria itu seraya menyodorkan kartu tersebut.
"Anu- jangan, Ayah. Kita cuma akan main di kamarku!" Ilona dengan cepat mendorong tangan Ayahnya beserta kartu kredit tersebut menjauh dengan sopan sebelum Mikhail berhasil meraihnya.
"Dadah, Ayah!" Ilona melambai pada Arsen sebelum melemparkan tatapan tajam pada Mikhail dan menyeret pemuda itu ke kamarnya sambil mengomel tentang pemborosan dan uang jajan mereka yang masih banyak.
"Ilona, aku heran, kenapa kamu sesegan itu pada Ayahmu? Dia itu Ayahmu sendiri, uangnya--uangmu juga!" Mikhail mengomel, mengorek-ngorek telinganya seolah pengak oleh ocehan Ilona.
"Tahu, kok." Ilona mendengkus, kemudian mendudukan dirinya di atas kasur dan meraih boneka untuk ia peluk sembari mengerucutkan bibir, kesal.
Mikhail yang melihat Ilona seperti itu ikut menghela nafas, tatapannya kembali melembut dan segera berjongkok dihadapan Ilona, kembali ke mode seorang kakak laki-laki. Meskipun mereka sudah bersama sejak kecil, terkadang ada hal hal yang ia tidak ketahui dan begitu membingungkan mengenai Ilona.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream catcher
RomanceIlona yang memimpikan cowok yang sama setiap malam, tidak pernah menyangka bahwa pemuda itu benar-benar ada di dunia nyata dan bukan sekadar mimpi belaka! Akan kah itu menjadi hal yang buruk, atau justru baik?