Dalam benak Nala, memiliki kekasih sebaik Athaya adalah kemustahilan. Bukan salah karena Nala sadar jika dirinya bukan perempuan yang cantik, memiliki bentuk tubuh yang indah, atau kaya. Sedangkan Athaya, laki-laki itu berparas tampan, tubuh indah, dan kaya. Sangat bertolak belakangan bukan.
"Pelet lo emang manjur." Ucap Dian saat tahu bahwa Athaya dan Nala tengah memadu kasih. Nala hanya merespon dengan cengiran. Awal mula kedekatan mereka hanya sebagai atasan dan bawahan, tetapi seiring berjalannya waktu Athaya mengungkapkan isi hatinya dan akhirnya mereka berpacaran. Cukup singkat memang.
"Dukun dari mana?"
"Apaan sih."
"Hahaha, takut ya."
"Bukan gitu, tapi ini ada di kantin kantor." Nama baik Nala sangat dipertaruhkan, meskipun sekarang zaman sudah maju tetapi masalah klenik tetap banyak orang yang percaya.
"Yaudah makan gih."
Keduanya makan siang dengan lahap, hingga waktunya mereka harus kembali ke balik meja kerja. Berkutat dengan angka-angka yang sangat memusingkan.
Nala akui siklus hidupnya begitu mudah, lulus kuliah ia langsung mendapatkan pekerjaan yang sesuai bidangnya. Ditambah memiliki partner kerja yang mendukung dan atasan yang suportif.
"Nala, dipanggil Pak Atha." Ucap Dian setelah ia keluar dari ruang kerja Athaya. Nala mengangguk, ia mengambil berkas yang harus ia laporkan sebelum masuk ke ruangan kramat itu.
"Siang Pak." Sapa Nala hati-hati, pasalnya Athaya tengah sibuk dengan layar tab-nya. Athaya mendongak melihat Nala yang tidak jauh dari posisinya.
"Duduk." Nala menurut mengikuti keinginan Athaya. "Ada apa Pak memanggil saya?"
"Nanti malam sibuk, nggak?" Nala berpikir sejenak, ia memang tidak memiliki agenda untuk malam ini. "Enggak Pak."
"Yaudah nanti ikut saya."
"Kemana Pak?" Athaya menatap Nala dan berujar. "Acara keluarga, nanti saya tunggu kamu di parkiran."
Keluarga?
"Bapak serius?" Kepala Athaya mengangguk. "Dengan saya Pak?"
"Masa saya dengan orang lain, kan sekarang yang ada di hadapan saya kamu." Baiklah Nala akan percaya, sebelum keluar Nala memberikan hasil kerjanya kepada Athaya.
"Ini Bapak tanda tangani. Semua ini sudah saya cek terlebih dahulu agar sesuai dengan data pengeluaran."
"Nanti saja." Athaya meletakkan kembali tumpukan kertas itu di sisi meja yang kosong. "Baik Pak, saya permisi dulu." Athaya mengangguk, Nala dengan langkah santai keluar dari ruang Athaya. Memang sudah menjadi kesepakatan jika keduanya di kantor tetap memanggil Bapak.
Jam dinding menujuk pukul lima sore, dimana itu merupakan jam pulang kantor. Nala mencoba menyimpan beberapa file sebelum mematikan layar komputernya. Tak lupa ia melihat tampilan wajahnya yang sudah kusut.
"Begini banget nge-date after office." Nala tidak bisa menolak, karena sejak mereka berpacaran akhir minggu biasanya Athaya menghabiskan waktu dengan keluarga besar. Alhasil hari weekday yang digunakan untuk nge-date.
Nala merapikan riasan sebelum turun ke bawah. Memoles lipstik yang sudah hilang tak lupa menaburkan bedak untuk mengurangi tampilan minyak di wajahnya.
Disepanjang jalan menuju parkiran Nala berpikir keras, apakah keluarga besar Athaya akan menerimanya? Setidaknya keluarga intinya, karena momen ini adalah momen pertama Nala bertemu dengan mereka. Nala mencoba untuk tetap tenang, ia menarik napas dan menghembuskan perlahan hingga beberapa kali hingga langkahnya sampai di sisi mobil.
"Maaf lama ya." Athaya yang sudah duduk di belakang kemudi menoleh dan mengangguk. "Kita ke butik dulu."
Nala mengikuti keinginan Athaya, meskipun ini hanya pertemuan keluarga tetapi setiap anggota keluarga selalu menujukan penampilan yang terbaik.
"Ini nggak berlebihan?" Jujur, jiwa miskin Nala sangat menolak. Bagaimana tidak baju yang ditunjuk Athaya nilainya seharga satu sepeda motor. "Nggak masalah."
Nala menurut mengikuti keinginan Athaya. Bahkan wajah kusutnya sekarang sudah dipoles dengan make up yang ditunjuk Athaya.
"Kenal dimana?" Tanya seorang make up artis yang mendandani Nala. Nala tersenyum, "Di kantor."
"Sama Pak Athaya?"
"Iya, saya bawahannya." Kepala perempuan itu mengangguk terfokus ke wajah Nala. "Tumben pacar Pak Athaya dari kalangan biasa."
"Memang biasanya dari kalangan apa?" Nala tidak pernah mencari tahu masa lalu Athaya, karena Nala pikir percuma.
Perempuan itu menatap sejenak wajah Nala, sebelum menjawabnya. "Dari kalangan model kalau tidak anak dari rekan bisnis keluarganya." Oh pantas, banyak petinggi di perusahaannya yang selalu menatap iri akan sosok Nala jika berpapasan.
"Sudah selesai, tinggal ganti baju." Nala melihat pantulan wajahnya sejenak sebelum bangkit menuju ruang ganti. Nala disana dibantu oleh dua orang perempuan untuk berganti gaun.
"Sudah selesai ayo Kak kita antar ke depan." Perempuan itu memandu Nala menuju ruang tunggu yang ditempati Athaya.
Athaya yang melihat untuk pertama kali penampilan Nala berubah sembilan puluh drajat hanya bisa memandangi dengan diam.
"Ayo kita berangkat." Nala mengikuti langkah Athaya, penampilan Athaya juga sudah berganti dengan jas yang menampilkan tubuh tegapnya.
"Kenapa berhenti?" Athaya menoleh ke belakang, dimana saat itu Nala berhenti. "Langkah kamu cepat banget."
Athaya paham, ia mendekati Nala dan mengulurkan tangannya untuk digenggam Nala sebelum mereka melanjutkan jalannya.
"Kenapa Bapak mengungkapkan hal itu?" Nala yang baru saja menyelesaikan laporan disuruh Athaya untuk menyusulnya di rooftop gedung perkantoran.
"Kamu tidak menyukai saya?" Nala yang masih mode kaget hanya bisa terdiam sejenak sebelum menjawab ucapan Athaya. Kedekatan mereka bisa dibilang baru hitungan minggu tetapi Athaya dengan keberanian entah dari mana siang itu mengungkapkan isi hatinya.
"Siapa sih yang tidak suka Bapak?" Ya, sejauh bekerja disini banyak perempuan yang menyukai Athaya dengan segala yang pria itu punya. "Terus kamu bagaimana?"
Nala menatap manik wajah Athaya. "Bapak ngaco."
"Apa saya suka sama kamu itu lelucon?"
"Kita baru dekat bisa dibilang hitungan hari kenapa Bapak dengan mudah mengatakan itu. Dan saya hanya bisa menjawab tolong beri saya waktu." Siang itu Athaya seperti digantungkan untuk pertama kali dalam hidupnya. Dan selama satu minggu itu Athaya mulai merocoki hidup Nala hingga akhirnya Nala mengiyakan ajakan hubungan ini.
Apa Nala jatuh cinta? Entahlah waktu itu Nala belum berpikir sampai disana.
"Hai, ayo."
Nala terkagetkan oleh tangan Athaya yang mengusap pipinya. "Sudah sampai?"
"Sudah."
Nala menatap ballroom hotel yang sudah disulap bagai perayaan megah. "Ini acaranya?"
"Iya ayo turun." Athaya turun dari mobil menuju pintu Nala sebelum petugas valet datang untuk memarkirkan mobilnya.
"Kamu yakin ajak aku kesini?" Bisik Nala saat mereka tengah menandatangani buku tamu. "Sudah, jangan risau. Tegakkan kepalamu."
Athaya berjalan masuk dengan tangannya yang menggandeng Nala, tak lupa senyum palsu diciptakannya.
"Cucu Opa sudah datang, sini nak."
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Love is not Perfect ✔ (Tamat di Karyakarsa)
Ficción GeneralButuh bukti untuk cinta