Sinar matahari kembali menyapa. Kugendong tas ransel, lalu melangkah keluar rumah. "Eomma! Aku berangkat sekolah!" teriakku tiap pagi yang kemudian benar-benar berada di area luar rumah.
Hah, hari yang membosankan. Tiap hari berjalan kaki ke sekolah, lalu belajar di sana dan kembali pulang. Andai Hana di sini. Kalau dipikir-pikir, bagaimana kabar Hana sekarang, ya?
Sepertinya anak itu terlalu menyukai Seoul. Irinya. Dia bahkan sampai melupakan aku di Damyang yang terlalu kuno ini. Tunggu. Kenapa aku memikirkan anak itu lagi? Cih, bikin hati sakit aja pagi-pagi. Baiklah, Baekhyun. Lupakan anak itu! Makin sakit hati kalau dipikirin.
Karena terlalu lama melamun, kutak sadar kalau ternyata langkahku sampai di sekolah. Ah, akhirnya hari membosankan kembali dimulai. Baiklah, aku pun masuk melewati gerbang sekolah.
"Baekhyun-ya!" Sepertinya itu suara yang tak asing. Aku membalikkan badan dan … ah, benar. Salah satu siswi mengesalkan yang selalu mencari perhatian padaku kembali lagi.
Mengherankan. Sudah jelas aku selalu mengabaikannya, tapi buat apa itu anak selalu menyapaku, sih? Hah, kelihatan banget lagi alasannya mencariku. Buat apa coba dia berusaha biar aku suka sama itu anak? Cih, kayak semua cowok punya dia aja.
Malas menuruti. Kupilihlah dengan kembali membalikkan badan dan masuk mencari kelas. Biarlah dia menyerah lagi seperti biasa.
"Hei! Baekhyun-ya! Dengar panggilanku tidak, sih? Hei!"
Kukerutkan kening sedikit. Sialan! Kenapa pula anak itu malah mengikutiku begini? Sial! Sial! Mau tak mau aku langsung mempercepat langkah kakiku. Padahal dia juga cuma seorang pindahan, bisa-bisanya dengan sok akrabnya malah bersikap seakan aku menerimanya jadi teman akrabku. Cih!
"Baekhyun-ya!" Gila! Bisa-bisanya dia dengan santainya menahanku dengan mendorongku di pojokan tangga. Padahal dia gak secantik Hana-ku! Berani sekali anak ini.
Saking kesalnya, aku sampai menajamkan mataku. "Pergi." Dengan nada dingin, kubentak dia. Biarlah anak itu menangis. Yang penting, hidupku terbebas dari kuncian dia. Ogah banget nama baikku tercemar gara-gara anak ini.
Untung, dugaanku benar. Anak itu benar-benar tersentak, lalu mengeluarkan air mata, dan akhirnya pergi meninggalkanku begitu saja. Biarlah. Pasti nanti itu anak akan mengumbar gosip aku membuatnya menangis. Yah, itu lebih baik. Daripada makin banyak yang mencoba mendekatiku seenaknya.
Aku pun kembali melangkahkan kakiku menaiki sisa anak tangga. Berhubung aku anak tahun kedua dan kelasnya memang berada di lantai dua. Akan tetapi sialnya, lima menit lagi jam masuk kelas. Cih, andai tadi tidak diadang, pasti aku tidak seterlambat ini.
Dari kejauhan, kulihat salah satu teman—mungkin—melangkah mendekati kelasku setelah sempat keluar dari kelas lain. "Yo, Baekhyun-ie! Tumben baru datang, habis ditembak sama salah satu siswi?" tanya Taerae—namanya.
Kuhanya menatap Taerae dengan tatapan datar. Namun, Taerae malah menampilkan kedua tangan yang diarahkan di depan dada dengan telapak tangan mengarah padaku. "Wow, wow, santai Baekhyun. Kupikir ada yang nembak kamu lagi, tapi ternyata tidak ya, hari ini. Apa mungkin ada yang menghentikanmu seperti biasanya?" Tepat sasaran. Memang gila Taerae.
"Itu tahu." Malas meladeni, aku meninggalkan Taerae dan masuk menuju kelasku sendiri. Lantas begitu sampai di meja, kuambil harmonika dari dalam tas. Lalu dengan tidak tahu malunya, kumainkan hingga membentuk nada salah satu lagu girl group yang tengah ramai dibahas.
Sempat terdengar suara decakan dari Taerae yang telah mengikutiku masuk dan duduk di sampingku. Namun, kuabaikan saja dia. Bodoh amat dengan anak yang entah sebenarnya temanku atau bukan ini.
"Baekhyun-ie. Kamu sudah dengar belum? Ada siswi pindahan dari Seoul hari ini. Lalu, katanya siswi itu punya senyum yang manis tauk!"
Mendengar perkataan Taerae, seketika menghentikan irama harmonikaku. Siswi pindahan? Dari Seoul? Punya senyum yang manis? Tunggu! Bukannya itu ciri-ciri Kim Hana? Tapi, Kim Hana kan, lagi di Seoul. Mana mungkin itu dia. Benar, mana mungkin dia. Sudahlah, Baekhyun. Kamu lupakan saja dia. Bisa-bisanya masih mengingat padahal tadi bertekad melupakan gadis itu.
Hanya saja, baru saja aku berniat melanjutkan melodi harmonika yang sempat terhenti ini, tiba-tiba telingaku mendengar kehebohan di luar kelas. Samar-samar aku juga mendengar suara orang yang membahas apa yang baru saja dibahas oleh Taerae. Anehnya, aku ikut penasaran akan hal itu.
Dengan sedikit menolehkan kepala, kulihat ke arah luar jendela. Makin ramai saja suara orang-orang yang membahas tentang siswi baru itu. Sepertinya sih, siswi baru itu ditempatkan di kelas sebelah jika mengingat satu-satunya kelas yang kekurangan siswa hanya kelas sebelahku.
Hingga akhirnya, kulihat sosok siswi yang dibahas itu melewati lorong kelas dari balik jendela. Dia tampak berbincang sambil sesekali tersenyum dengan seorang pengajar di sampingnya. Lalu, jika diamati… tunggu dulu! Bukankah itu Kim Hana?
Sontak aku langsung bangkit dari tempat duduk. Lalu berlari menuju pintu kelas. Biarkan saja Taerae berteriak memanggilku, kepastian tentang apakah siswi itu benar-benar Kim Hana lebih prioritas dibanding pertanyaan Taerae.
"Ha–" teriakku yang terpotong oleh kemunculan seorang guru dari balik pintu kelas. Terdiam sejenak. Namun setelahnya, aku langsung membungkukkan badan sambil berkata, "Selamat pagi, Seongsaengnim."
"Oh, iya, pagi, Baekhyun-ssi." Kembali kutegakkan badanku. Oh, ternyata sang guru juga baru saja menegakkan badannya, kupikir sejak tadi. "Kenapa kamu di depan pintu? Mau bolos? Begitu?"
Kikuk. Saking kikuknya, aku hanya bisa membisu dengan pertanyaan sang guru. Bila aku menjawab ingin menemui siswi tadi, sudah pasti akan tersebar rumor yang membuat siswi tadi kesulitan, padahal bukan itu mauku. Apalagi belum jelas juga apakah dia benar-benar Kim Hana atau bukan.
"Lee Baekhyun keluar mau mencari siswi pindahan, Bu." Seketika kutolehkan kepalaku. Sial. Lagi-lagi putra paman membuatku terlibat masalah lagi.
"Oh, begitu. Ya sudah, kamu bisa keluar sebentar." Gila. Aku tidak bisa mengelak, apalagi sang guru langsung mendorongku keluar kelas dan menutup pintunya. Sialan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Divergen
RomanceKetika dua bocah kecil yang tak pernah terpisah harus terpisah karena kepentingan dan tak pernah bertemu lagi. Bagaimana reaksi mereka berdua saat bertemu satu sama lain saat masing-masing dari mereka telah besar? --- "Jika kau lelah, bersandarlah d...