Buku itu masih saja seperti tadi. Setiap lembar kertasnya masih bersih, belum satupun goresan di atasnya. Pemiliknya memandang menerawang ke arah jalanan di bawah balkon apartemennya. Begitu padat. Maklum jam kerja sudah berakhir satu jam yang lalu, lagi pula sekarang hujan. Secangkir teh jahe yang sempat panas, kini tersisa separuhnya saja. Udara dingin Bandung telah mengubah suhu dari minuman itu, pun pemiliknya. Hawa dingin itu memaksanya untuk meletakkan buku dan pena yang sedari tadi ada di pangkuannya. Dan ia pun meletakkannya di atas coffee table putih disamping cangkir kaca bening berisi teh dingin itu. Sekarang sedikit rasa hangat mulai ia rasakan dari pelukannya sendiri pada kedua kakinya yang kini naik ke atas kursi putih dengan alas duduk motif bunga itu.
Bunyi ponsel dari dalam kamar membuatnya terhenyak dari aktivitas 'memandang-diam-bernapas'. Desah napas terdengar sebelum ia berdiri dan dengan malas mengambil benda tersebut. Sebuah video call, dan dengusan kecil terdengar sebelum sapaan dari orang di seberang sana menghangatkan ruangan bernuansa dominasi putih itu. Ia tersenyum kecil membalas orang yang ada di seberang sana.
"Hanya itu?" pertanyaan yang membuat alis kanannya tertaut.
"'Hanya itu'apa?" desah napas terdengar dari si penelepon setelah mendapat balasan pertanyaan dari sang komunikan.
"Apa kau tidak merindukanku? Ini sudah tiga bulan, dan ini kali pertamanya kita berhubungan lagi. Apa kau tidak merindukanku?" pria itu mulai berapi-api.
"Tentu, aku sangat merindukanmu. Kau kesayanganku." Jawabnya.
"Kau bohong!" Pria itu masih tetap dalam nada bicara yang sama.
"Aku tidak begitu!" Ia mulai menaikkan suaranya.
"Iya, kau begitu!" Lagi, si pria masih dalam nada bicara yang sama.
"Tidak, aku bersungguh-sungguh! Kau satu-satunya kesayanganku!" Ia mulai terpancing, lama-lama kesal juga mencoba meyakinkan pria itu.
"Lalu kenapa ekspresimu seperti malas menemuiku? Hah!?" Dalam hati, si pria puas karena bisa mempermainkan wanita yang lama tak dijumpainya ini.
"O.. aku tahu, disana kau sudah menemukan penggantiku. Benar kan!?" lanjut pria itu masih mengapi-api. Tentu saja ia masih mempermainkan wanita ini.
"Apa selama aku tidak ada kau tidak membersihkan telingamu? Sudah kubilang kau satu-satunya kesayanganku, tidak ada yang lain." Dasar wanita dingin, batin si pria.
"Ah.. baiklah. Aku melupakannya." Ujar si pria
"Lupa apa?" Balas si wanita tanpa ekspresi yang berarti.
"Ekspresimu seperti itu karena kau memang cacat otot wajah." Wajah mengejek si pria benar-benar membuatnya ingin melakukan sesuatu yang tidak bisa dikatakan sopan pada kepala pria itu.
"Sial! Ok, aku cacat otot wajah dan kau cacat mental. Kau tidak selamanya bisa bermain Tuan Kim.. kau sudah dewasa, ah tidak, kau sudah tua dan kau....."
"Ayolah.. jangan mulai lagi, telingaku sudah merasa damai tanpa ocehanmu tiga bulan ini, tolong jangan rusak itu." Ekspresi pria itu kini berubah malas ketika memotong kalimatnya, ia menggosok-gosok telinganya seolah baru saja mendengar suara trombone tepat ditelinganya.
"Kalau begitu untuk apa kau menghubungiku? Kalau bukan merindukan suara indahku?" Bukan, aku bukan merindukan suaramu, tapi dirimu, batin pria itu selagi orang di sebrang sana memandangnya dengan alis yang tertaut.
"Hah? Kau gila!? Aku.. aku hanya ingin tahu apa kau dapat hidup dengan baik tanpaku," Elaknya, ya, dia memang ingin tahu kabar wanita itu bukan, jadi ia tak sepenuhnya berbohong.
"Tentu saja. Memangnya kau siapa?" Wanita itu benar-benar tersinggung.
"Aku? Aku Tuan Muda Kim dan kau orang yang selalu bersandar padaku." Narcissism-nya kambuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Book [Taehyung BTS]
Fiksi PenggemarJika sebuah kepercayaan pasca penghianatan telah diberikan. Sepenuh apakah kepercayaan itu? Taehyung kini tengah terjebak pukatnya sendiri. Hatinya kusut. Penyesalan dan harapan pada Dema, sahabatnya kini melilit hatinya hingga terperas.