2~ Hukuman

39 3 0
                                    

Zidan berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras. Tangannya masih membawa potongan selang kematian.

Astaga... Kena lagi deh gue’, batin Khanza sambil memejamkan matanya kuat-kuat.

“Sit up lima puluh kali, LAKSANAKAN!” suara itu menggelegar seperti sambaran petir di dalam telinga Khanza.

Mendengar instruksi dari kapten muda itu, Khanza dan Bayu segera melaksanakan hukuman. Tidak peduli hari sudah gelap dan angin malam yang terasa menusuk tulang.

Zidan berdiri dengan sangar di belakang mereka berdua. Sesekali dia menyabetkan potongan selang itu dengan keras hingga suaranya dapat terdengar dari ujung barak.

“SEMBILAN BELAS... DUA PULUH... DUA PULUH SATU...” Teriak Khanza dan Bayu menghitung jumlah gerakan sit up yang mereka lakukan. Tentara muda itu berdiri di belakang Bayu dan Khanza sembari menghitung gerakan sit up yang kedua prajurit itu lakukan.

Bugh bugh...

Zidan menendang kedua punggung itu bergantian dengan sepatunya.

“LAKUKAN DENGAN BENAR! INI BUKAN RUMAH KALIAN, KALAU INGIN BERMAIN-MAIN PULANG SAJA!!” Zidan memukul kedua punggung di hadapannya dengan potongan selang hijau lagi. Suaranya yang menggelegar berhasil membuat gemetar siapa saja yang mendengarnya. Tidak peduli sudah waktunya untuk para prajurit beristirahat, Zidan masih berdiri di sana, menghukum Khanza dan Bayu.

“EMPAT PULUH SEMBILAN... LIMA PULUH...”

“BERDIRI!” Zidan menendang punggung keduanya dengan sepatu delta yang keras. Khanza dan Bayu langsung berdiri tegap menghadap sang tentara muda berpangkat kapten itu.

Tatapan matanya seperti seekor elang, sangat tajam. Dengan tampang sangarnya dia berjalan mendekat kearah Khanza.

‘Ya Allah, tolong selamatkan hamba dari amukan singa ini ya Allah...’ batin Khanza sedikit takut.

“Saya tahu kamu adalah seorang wanita. Satu-satunya prajurit wanita yang ada di sini. Di awal tadi saya sudah menyampaikan jika tidak akan ada perbedaan perlakuan bagi semua siswa pelatihan, tidak peduli jika kamu seorang wanita. SEMUA ORANG DIPERLAKUKAN SAMA!” ucap Zidan sedikit terjeda.

“Ini adalah markas saya. Di sini harus ikut aturan saya! MENGERTI?!” Zidan menatap Khanza dan Bayu dengan tatapan garang.

“SIAP MENGERTI!” sahut keduanya tegas.

Kapten muda itu mengangguk sekali lalu melihat sekelilingnya. Pandangannya terfokus pada sehelai daun kering yang terbang terbawa angin malam.

“Kalian boleh istirahat sekarang.” ucapnya.

“SIAP!”

Dua prajurit pelatihan itu berjalan lemas menuju barak. Napasnya terengah-engah. “Kita melewatkan makan malam karena hukuman dari pelatih.” Ucap Khanza sembari membersihkan rumput-rumput kering yang menempel di pakaianya.

“Tidak masalah, kita bisa sarapan besok.”

“Tapi saya lapar sekali,” Khanza memegangi perutnya yang berbunyi.

“Ahahah kita harus membiasakan diri untuk kelaparan mulai sekarang.”

“Dan sepertinya kau akan menjadi favorit Kapten Zidan mulai sekarang,” Bayu terkekeh sembari menepuk-nepuk bahu Khanza.

“Favorit bagaimana maksudmu?” gadis itu menoleh ke samping dengan kening yang mengerut.

“Favorit kena tendang dan dipukul selang ahahahah...”

Khanza mendorong Bayu sekuat tenaga. “Sepertinya kau senang sekali kalau saya dihukum.”

Bayu tertawa lagi. “Iya. Rasanya menyenangkan sekali. Gadis tangguh dan pemberani yang suka melawan sepertimu harus diam saat pelatih menendang punggungmu. Kau bukan seperti Khanza yang saya kenal semasa taruna dulu ahahahah...”

Khanza memukul kepala Bayu dengan kepalan tangannya. “Apa kau tidak waras? Ini markas komando! Bukan rumahmu! Di sini ikut aturan saya!” Khanza menirukan ucapan Kapten Zidan tadi. Keduanya tertawa.

Dari ujung barak, terlihat sang kapten muda berjalan ke arah mereka berdua yang tak kunjung masuk ke barak dengan rahang mengeras. “APA KALIAN INGIN MENGGANTIKAN SAYA UNTUK PATROLI MALAM?!”

“Astaghfirullahaladzim,” Khanza terlonjak kaget karena suara itu.

Lagi-lagi mereka berdua harus terlibat masalah dengan kapten Zidan. Mendadak ekspresi keduanya berubah menjadi pucat pasi. Zidan memukul tubuh mereka dengan potongan selang hijau lagi. “Dalam hitungan ketiga kalian harus sudah masuk ke dalam. SATUU... DUA...” Khanza dan Bayu berlari terbirit-birit ke dalam barak, menghindari amukan singa yang kelaparan itu.

“Saya tandai muka kalian.” Monolog Zidan. Dia melanjutkan langkahnya untuk patroli malam.

*****

Khanza menjadi prajurit terakhir yang memasuki barak. Semua orang sudah terlelap. Setelah melaksanakan salat isya, Khanza merebahkan dirinya di atas tempat tidur bersusun yang masih kosong. Khanza yang sudah mengantuk harus menahan rasa kantuknya karena seseorang memanggilnya.

“Hey kamu,” panggil seorang laki-laki berambut kribo. Remang-remang cahaya dari luar yang menembus masuk ke dalam barak membuatnya terlihat sedikit jelas.

“Ya? Ada apa?”

“Nama saya Reu.” Laki-laki itu turun dari tempat tidur bersusunnya dan menghampiri Khanza. Dia menjulurkan tangan kanannya sembari memperkenalkan dirinya.

“Reu apa? Reuni?” Khanza menyambut uluran tangan itu dengan senang hati dan duduk menghadap laki-laki itu.

“Bukan lah! Sa punya nama itu terlalu panjang. Jadi ko panggil sa Reu saja biar cepat.” ucapnya khas dengan logat orang Papua.

Khanza terkekeh saat mendengar laki-laki itu berkata dengan logat orang Papua. “Saya Khanza.”

“Ko punya nama cantik sekali eh, ko juga cantik.” Puji Reu.

Khanza tersenyum. “Terima kasih. Ini sudah malam, waktunya istirahat. Besok pagi kita semua akan digembleng habis-habisan oleh para pelatih. Jadi persiapkan dirimu, Reu. Sebaiknya kita istirahat sekarang.”

“Sa juga mau tidur. Sampai jumpa besok eh,” Reu berjalan menuju tempat tidurnya dan bergegas tidur. Seperti halnya Reu, Khanza pun segera merebahkan dirinya dan tidur. Besok pagi adalah awal dari pendidikannya di markas komando ini.

“Ah bukan besok, aku bahkan sudah mendapatkannya hari ini.” Khanza tersenyum samar mengingat dirinya yang dihukum push up dan sit up dengan bonus tendangan dan sabetan dari sang kapten muda.

*****

Di luar barak, Zidan berkeliling untuk patroli malam. Semua barak yang dilewati sudah gelap, pertanda semua prajurit sudah terlelap.

Langkah kakinya membawa tubuhnya pada sebongkah batu di ujung sana. Zidan menyandarkan tubuhnya pada batu itu. Tiba-tiba prajurit wanita itu terlintas dipikirannya.

“Astaga...” dia menggelengkan kepalanya.

“Kenapa harus ada prajurit wanita di sini? Di antara para pria beringas yang hidup di hutan dengan sesamanya dan tiba-tiba muncul seorang wanita di antara mereka?”

“Hanya satu pula, astaga...” Zidan menggelengkan kepalanya berulang kali.

“Bagaimana dia bisa lolos seleksi? Seleksi untuk menjadi anggota korps baret merah itu sulit sekali. Aku saja harus mengulang dua kali. Lalu bagaimana wanita itu bisa lolos? Astaga... setidaknya jangan seorang diri. Setidaknya harus ada dua atau tiga wanita juga di sini.”

“Dengan begitu dia tidak akan kesepian dan punya teman untuk mandi. Saat berlatih di hutan, kami semua mandi bersama-sama di sungai. Dan bagaimana dengan wanita itu? Apa dia akan bergabung bersama kami? Mandi di sungai begitu? Yang benar saja!” Zidan memijat pelipisnya. Membayangkannya saja dia tidak sanggup.

“Jujur saja, aku takut dia akan merasa terancam di sini. Hidup di antara para pria yang lama berpisah dari istrinya, yang LDR dengan pacarnya, atau yang lajang sepertiku ini tidaklah menyenangkan.”

“Bagaimana pun, kami semua di sini adalah pria normal. Ibarat kata, segerombolan singa disuguhi seekor kijang untuk dimangsa. Astaga...” monolog Zidan sendiri di tengah keheningan malam.

“Sepertinya kau mengkhawatirkan wanita itu,” ucap seseorang dari belakangnya. Refleks Zidan menoleh dan mendapati temannya, Wisnu berjalan ke arahnya.

*****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tiga TentaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang