Bab 1

11 1 0
                                    


Ruang kerja Saniwa ibarat rumah kedua Yamanbagiri setelah kamarnya. Tumpukan kertas laporan yang belum rampung dikerjakan pun sudah menjadi pemandangan yang lumrah baginya. Bahkan, ketika semua Toudan berlibur ke pantai sementara ia harus berkutat dengan kertas-kertas jahanam itu bersama Sang Saniwa juga dianggap hal yang wajar.

Yamanbagiri mengangkat pena dari kertas jahanam. Ia mengalihkan pandangan dari laporan yang baru setengah terisi. Manusia di depannya telah tewas di antara tumpukan kertas yang belum tersentuh. Tentu saja itu adalah pemandangan yang sangat wajar dan biasa ia temui dalam pekerjaannya.

"Jika ini tahun 2205, apakah teknologi membuat laporan otomatis belum ditemukan?" keluh Saniwa.

"Mau kau mengeluh sebanyak apa pun, laporanmu tak akan selesai dengan sendirinya," ucap Yamanbagiri yang mulai berkutat kembali dengan pekerjaannya.

Saniwa mengangkat wajahnya dari tumpukan kertas. Wajah itu lebih mirip wajah mayat hidup daripada manusia. Kantung mata tebal, mata yang tak bercahaya, bibir yang kering dan pucat, wajah yang tak ada ronanya sama sekali, dan rambut yang berantakan adalah gambaran mayat hidup yang sesungguhnya. Kadang Saniwa berpikir lebih baik mati saja daripada harus berkutat dengan laporan-laporan sialan ini.

"Dasar! Zamannya saja yang maju, tapi manusianya diam di tempat!" gerutuan Saniwa terus berlanjut.

Yamanbagiri tetap fokus menulis laporan. Keluhan Saniwa ibarat musik klasik yang setiap hari ia dengarkan.

"Tahu tidak? Di zamanku, kau bisa mengubah suara menjadi tulisan atau sebaliknya tanpa harus mengetik ulang. Pokoknya, semuanya jadi lebih mudah, deh. Kukira di zaman ini kita bahkan tidak perlu memegang kertas dan pena. Benar-benar deh, padahal mereka sudah menemukan mesin waktu dan membuat robot canggih yang bisa makan aburage loh. Masa soal pekerjaan administrasi begini masih harus dipersulit sih?"

Yamanbagiri yakin Konnosuke yang sedang berada di pantai pasti sedang bersin-bersin.
Yamanbagiri mengangguk-angguk saja mendengar keluhan Saniwa. Wajar jika Saniwa berkata begitu. Pekerjaan ini memang tidak masuk akal. Laporan misi, anggaran belanja, bahkan laporan aktivitas harian harus diperiksa dan distempel satu-satu sebelum diserahkan. Pekerjaan itu memang terlihat sederhana, tetapi cukup melelahkan. Apalagi laporan harian terkait misi bisa berlembar-lembar, ditambah laporan anggaran, dan lain-lain, itu belum ditambah laporan-laporan yang menumpuk beberapa minggu. Dan sialnya, semua pekerjaan itu harus diserahkan esok hari.

"ARRGH!! AKU BENCI PEMERINTAH!!" Tiba-tiba Saniwa berdiri dan berteriak sekuat tenaga.

Yamanbagiri untuk sementara menghentikan pekerjaannya. "Aruji-sama, mau istirahat sebentar?"

"Memangnya boleh?" ucap Saniwa dengan nada penuh harap.

Yamanbagiri mengangguk, lalu tersenyum. "Shoukudaikiri sepertinya menyisakan anmitsu untuk kita berdua."

Saniwa yang semula berwujud mayat hidup pemarah berubah menjadi Saniwa yang ceria. "Asyik! Ayo kita ke dapur sekarang!"

Mengajak Saniwa istirahat adalah bagian dari pekerjaan sekretaris. Apa pun untuk membuat Saniwa kembali produktif harus dilakukan. Mereka pun ke dapur untuk mengambil beberapa makanan sebelum pergi ke engawa di dekat kebun.

Hari ini cuacanya sangat cerah. Tidak ada awan yang menodai pemandangan langit biru di atas sana. Di depan engawa terdapat hamparan kebun semangka yang baru berbuah. Engawa ini adalah tempat favorit para toudan untuk menghabiskan waktu luang mereka. Mikazuki dan Uguisumaru adalah pengunjung setia engawa ini. Jika tidak ada misi, mereka bisa menghabiskan waktu untuk minum teh seharian di sini.

"Sungguh hari yang indah untuk makan anmitsu," ucap Saniwa sembari menyendok anmitsunya. "Shoukudaikiri pintar sekali sih menyisakan anmitsu untuk kita."

Saniwa benar. Ini adalah musim panas. Saat semuanya tengah berbasah ria di pantai, mereka malah berkutat dengan deadline dan laporan. Sungguh tidak adil. Hanya anmitsu ini yang menjadi penenang di tengah kesibukan seperti neraka.

Yamanbagiri memerhatikan Saniwa yang tengah memakan anmitsunya dengan lahap. Sekilas, ia berpikir hari-hari seperti ini tidak buruk-buruk amat. Honmaru setiap hari ramai dengan para toudan yang berisik. Apalagi setelah kedatangan Tsurumaru. Rasanya tidak ada hari tanpa Tsurumaru membuat ulah. Honmaru yang sepi seperti ini rasanya seperti surga.

"Yamanbagiri," Saniwa memanggil.

"Ya?" jawab Yamanbagiri. Biasanya setelah namanya dipanggil, ia akan menerima dua kemungkinan: 1. Perintah, 2. Pertanyaan yak masuk akal. Pikirannya mencoba menebak apa yang akan ia hadapi setelah ini.

"Pernahkan kau berpikir tentang … kematian?"

Rupanya pertanyaan tak masuk akal, ya. Setelah hidup sebagai pedang selama ribuan tahun, Yamanbagiri telah melihat berbagai kematian dari makhluk hidup. Kemudian, dirinya pun sempat terpikir bagaimana rasanya dihancurkan dan dilelehkan dalam besi panas. Bagi pedang, itu adalah hal paling mengerikan sepanjang hidup mereka. Namun kini Yamanbagiri berada dalam tubuh manusia. Ia tidak pernah berpikir akan mati dengan cara apa.

"Belakangan ini aku mendapatkan mimpi aneh." Saniwa berkata tanpa menunggu jawaban Yamanbagiri.

"Bicara soal mimpi, aku juga pernah mendapatkan mimpi aneh," ucap Yamanbagiri.

Saniwa mengangkat kedua alisnya, tampak tertarik dengan cerita Yamanbagiri.

Yamanbagiri menelan ludah, mengingat-ingat gambaran mimpinya kemarin malam. "Aku melihat Honmaru kebakaran."

Saniwa membelalak. Apakah itu pertanda buruk? Begitu menjadi manusia, bermimpi ketika tidur adalah pengalaman baru yang cukup mengejutkan baginya. Ia sendiri tidak tahu apa arti mimpi itu. Karena itu, ia tidak berani mengatakannya pada siapa pun. Namun ia merasa Saniwa perlu mengetahuinya.

"Aruji-sama?"

Saniwa tersenyum, lalu mengibaskan tangannya di depan Yamanbagiri. Kontras dengan reaksinya yang tadi, ia tampak tak begitu menghiraukan mimpi Yamanbagiri.

"Tenang saja. Aku hanya kaget seorang Yamanbagiri bisa bermimpi," ucap Saniwa, seolah mimpi Yamanbagiri tak berarti apa-apa.

Yamanbagiri memakan anmitsunya cepat-cepat, tudungnya dimajukan, dan kepalanya menunduk. Ia tak bisa membiarkan sinar matahari menyinari wajahnya yang memerah karena malu.

"Kata orang, mimpi hanyalah bunga tidur," lanjut Saniwa. "Jadi, jangan terlalu dipikirkan."

Meskipun terdengar tenang, Yamanbagiri melihat tangan Saniwa bergetar.

"Mungkinkah kita hanya kecapekan?" Saniwa menyentuh pipinya, lalu menghela napas. "Hah… ternyata benar. Ini semua salah pemerintah dan orang-orang tua kolot itu. Pekerjaan yang menumpuk bisa membuat manusia stress, lho. Dan mimpi aneh bisa jadi pertanda stress. Jadi, mari kita selesaikan pekerjaan untuk hari ini supaya kita bisa tidur lebih nyenyak besok."

Yamanbagiri mengangguk-anggukkan kepala meskipun ia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan darinya.

"Aruji-sama, mimpi apa seperti apa ya kau alami?"

Bersamaan dengan itu, dari langit, cahaya kuning terlihat. Lubang hitam muncul beberapa detik kemudian, lalu menghilang bersama cahaya kuning itu.

"Lihat! Para toudan sudah kembali. Ya ampun, cepat sekali mereka datang." Saniwa beranjak meninggalkan engawa. Semangkuk anmitsu segar miliknya tinggal setengah. Kenapa di hari yang panas semacam ini, seseorang bisa tidak menghabiskan semangkuk anmitsu?

Yamanbagiri membereskan sisa-sisa perbincangan mereka yang begitu singkat, lalu pergi ke dapur dengan setumpuk pertanyaan di kepalanya.

Everything I WantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang