Chapter 2

708 62 10
                                    

Author pov

Seoul, Februari 2027

Tuhan punya jalan yg menakjubkan bagi semua umat yg ia sayangi, sekiranya ia memberi ujian maka itu tak akan melebihi batas kemampuan umat itu sendiri.

Setidaknya itulah yg menjadi pegangan jennie saat ini, nikmat dan ujian yg diberi tuhan padanya bagaikan badai petir di pagi yg cerah, sejuk dan hangatnya perasaan di padu dengan derai petir yg menghujam relung hatinya yg pilu.

Setelah ia menerima prihal kondisi nya yg sungguh miris akibat kecelakaan maut kala itu, jennie kembali ke rumah sakit dan melakukan pemeriksaan ulang di seluruh tubuhnya.

Dan selang 2 minggu kemudian tepatnya malam ini ia kembali harus menerima takdir bahwa hasilnya tak ada tanda² akan adanya perubahan. Semua sama, kenyataan bahwa dirinya tak bisa lagi memiliki keturunan dari darahnya sendiri tak bisa diubah lagi.

Beberapa sarafnya rusak dan mengganggu keseimbangan hormon jennie. Dan mengakibatkan hal itu terjadi.

Awalnya ia ingin merutuki tuhan, sungguh betapa kejamnya cobaan yg harus ia jalani, ia telah kehilangan 2 darah dagingnya yg belum sempat ia lihat bagaimana rupanya.

Lalu kini, ketika ia berharap bahwa twins adalah miliknya, kenyataan menampar wajahnya bahwa ia sudah dinyatakan begitu tepat setelah kecelakaan maut terjadi.

Melamun jauh melihat langit yg gelap malam ini membuat mata jennie tak bisa lagi membendung airmata yg telah menumpuk tebal di sana.

Kertas itu sudah remuk di tangannya yg dingin, seolah menjadi pelampisan kemarahan jennie pada takdirnya.

Gelombang amarah itu tak teredam dalam hatinya, suara² berisik yg semakin nyaring di kepalanya menambah derita yg tak berkesudahan.

Menarik nafas dalam, akhirnya ia berteriak meraung dengan tangis yg menggila di matanya, menghambur setiap apa yg tampak di hadapannya.

Melampiaskan segala amarah yg ingin ia tolak seumur hidup. Ia bahkan menghancurkan segala koleksi alkohol langka yg menghiasi salah satu lemari di ruangan kerja nya itu.

Malam ini, dini hari. Jennie kim merasakan kehancuran dalam dirinya. Meneriakkan segala umpatan yg menghiasi kepalanya yg berisik.

Ia tak marah pada tuhan, ia juga tak marah pada lisa. Bahkan kiranya ia tak akan mampu untuk marah pada wanita yg sangat ia cintai itu.

Jennie hanya marah dan kecewa dengan dirinya sendiri, merutuki dirinya yg memang terlahir dengan takdir yg begitu menyakitkan.

Beruntung ruang kedap suara itu terletak cukup jauh dari kamar yg berisi lisa yg tengah tertidur nyenyak di peraduannya. Hingga suara segala benda pecah dan teriakan putus asa jennie tak akan menyebar ke luar, bahkan angin pun tak akan bisa menyergapi suaranya.

Tapi bagi siapapun yg mendengar erangan jennie akan dipastikan ikut merasakan apa yg tengah dirasakan wanita itu saat ini. Suaranya sarat akan derita, sesal, dan segala lara yg bahkan siapapun enggan menerimanya.

Jennie terduduk di sudut kecil ruangan luas itu, terhipit diantara meja di sisi ruangan, meringkuk memeluk lututnya dengan penuh getar menggigil di seluruh tubuhnya.

Puas dengan itu, ia melepaskan pandangannya menelusuri ruangan yg sudah tak berbentuk, dokumen yg berserakan, pecahan kaca di setiap inci lantai dan segala benda yg sudah tak berbentuk lagi disana.

Mata sembab itu berhenti pada salib yg terdapat di satu sisi ruangan itu, mengingatkannya pada tuhan yg selalu ia cinta dan percaya.

Dengan sisa tenaganya ia merangkak pelan menuju salib itu dan kemudian berlutut disana, menyatukan kedua tangannya yg bergetar dan merapalkan doa pengaduan pada tuhan.

My Simple Lie✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang