Crush Tiga

19 8 7
                                    

Selena dan Wildan masih duduk manis di atas lemari. Satu per satu anggota klub beranjak dari ruangan, menyisakan Dero yang terlihat putus asa. Cowok dengan potongan rambut classic crop itu terlihat menunduk di kursinya.

Selena tidak tahan lagi. Dia segera melayang mendekat ke arah Dero. Tangannya spontan terulur, hendak memegang pundak Wildan, tetapi begitu bersentuhan, tangan Selena hanya bisa melewatinya saja. Seperti Dero tidak ada di hadapannya.

“Maaf,” desah Dero. Tidak ada yang tahu, untuk siapa kata tersebut diucapkan.

Saat ini, isi hatinya benar-benar kacau. Dia menatap lirik-lirik lagu yang ditulisnya di secarik kertas kusut itu. Begitu berantakan, begitu ambigu. Ketika dinyanyikan, artinya tidak bisa dipahami.

Tidak seperti lirik-lirik sebelumnya yang begitu indah. Begitu berarti. Bahkan, seseorang yang tidak suka dengan genre lagunya pun akan terdiam sejenak dan mendengarkan liriknya dengan penuh peresapan.

Dero pikir, apa yang dilakukannya sudah benar. Keputusan apa yang dia ambil sudah tepat. Namun, Dero tidak menyangka, bahwa mengamati dan meniru gaya bahasa orang lain benar-benar sesulit ini.

Jika waktu boleh diputar, Dero ingin memperbaiki semuanya. Dero ingin belajar darinya. Dero tidak ingin menjadi seperti ini. Sekarang, Dero benar-benar paham. Di dunia ini, untuk benar-benar mendapatkan seseorang yang benar-benar tulus itu susah.

Karena kesalahannya, Dero kehilangan sosok tersebut. Dia tidak akan pernah lagi melihatnya karena orang itu ... telah tiada.

“Maafin gue, gue enggak berniat lakukan itu,” ucap Dero lagi. Nada suaranya bergetar. “Bukan hal ini yang gue harapkan. Gue mau lo kembali, gue mau ketemu sama lo lagi.”

Pundaknya mulai bergetar dan di saat bersamaan suara tangis yang masih berusaha dia tahan lepas saat itu juga. Air mata langsung menetes ke lantai. Pegangan Dero mengendur dan kertas berisi lirik-lirik tulisannya jatuh di lantai.

Wildan berjongkok. Dia menatap lirik-lirik itu tanpa ekspresi. Setelahnya, Wildan kembali mendongak, dia melihat Selena yang masih berusaha menyentuh Dero. Wildan tidak suka. Seharusnya, Dero tidak mendapat perlakuan tersebut. Lebih tepatnya, dia tidak pantas diperlakukan seperti itu.

“Lo enggak perlu minta maaf, Dero,” ucap Selena. Wildan merasakan kesedihan dari nada bicara cewek berambut sebahu itu. “Lo udah berusaha semaksimal mungkin. Lo harus bangga sama diri lo, lo harus bangga sama perjuangan dan semua pencapaian lo. Udah, ya. Jangan sedih lagi, lo harus semangat.”

Selena kembali mengulurkan tangannya, berusaha menyeka air mata di kedua pipi Dero. Namun, lagi-lagi tangannya hanya menembus tubuh Dero. Dada Selena terasa nyeri. Meski dia tidak lagi mempunyai tubuh fisik, tetapi tidak tahu kenapa sensasi-sensasi saat dirinya masih menjadi manusia belum bisa terlupakan.

“Percuma lo ngomong panjang lebar juga, dia enggak bakal bisa dengar, Lin,” celetuk Wildan yang berdiri di belakang Selena.

“Iya, gue tahu,” jawab Selena lesu. “Tapi cuma ini yang bisa gue lakukan. Sekarang, gue cuma arwah gentayangan doang. Meskipun begitu, gue masih berharap, setidaknya satu atau dua kata tersampaikan ke telinga Dero entah bagaimana caranya. Gue mau dia tahu, kalau Dero tuh enggak sendirian.”

Isak tangis Dero mereda. Dia menyeka kedua matanya dengan telapak tangan secara kasar. Cowok itu mengatur pernapasannya untuk beberapa saat dan mendongak menatap langit-langit. Dengan ini, Dero berharap kalau air matanya tidak lagi tumpah.

Dulu, Dero tidak pernah merasa seperti ini. Kehadiran sosok itu membuatnya selalu bahagia. Meski terlihat pemalu dan tidak tahu mode, dia tetaplah orang yang berarti. Dia sangat polos hingga jatuh cinta pun, dia harus meminta Dero untuk membantu menyampaikannya.

Harusnya Dero menurut. Harusnya dia memberikan kertas berisi kata-kata untuk cewek yang orang itu cintai. Dero serakah! Dia terlalu egois.

“Mungkin, sudah waktunya buat gue berhenti dari band ini. Toh, gue juga enggak benar-benar berbakat,” desahnya.

Mendengar pengakuan Dero, bola mata Selena membesar. Dia tidak rela Dero mengambil keputusan tersebut. Bagaimana pun caranya, Selena harus membuat Dero mengabaikan pemikiran-pemikiran konyol itu.

Dero bangkit. Dia meraih ranselnya yang berada tidak jauh. Selena langsung melayang, menyamai langkah Dero. Begitu Selena melayang di hadapan Dero, tubuh astralnya langsung ditembus begitu saja.

Dero berhenti di depan pembatas koridor. Cewek yang bertabrakan dengannya waktu itu mati karena terjatuh dari sini. Untungnya, hal tersebut dianggap sebagai kecelakaan karena Dero pun terluka sebab tertimpa papan nama yang bertuliskan ‘ruangan musik’.

Dia menyentuh keningnya. Luka yang tidak terlalu besar itu sudah mengering. Dero membalik badannya, dia menatap ruangan musik dengan teliti. Waktu itu, tatapan keduanya bertemu di atas lemari.
Sosok yang akhirnya membuat Dero harus lari tunggang-langgung.

Tubuh Dero mendadak menggigil. Padahal, pendingin ruangan tersebut tidak di nyalakan dan jendelanya pun tidak dibuka. Namun, semilir angin yang melewati kulitnya begitu intens seolah Dero berdiri tepat di depan sumbernya.

Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dan desir darahnya pun mengalir lebih deras hingga membuat Dero sedikit kesulitan bernapas. Situasi ini terasa familier. Waktu itu pun seperti ini, lalu tidak lama kemudian sosok mengerikan itu muncul. Dia melayang beberapa meter di hadapannya.

Napas Dero tersengal-sengal. Gedung serbaguna sudah sepi. Mungkin karena sudah sore. Matanya bergerak dengan teliti, memeriksa seluruh sudut yang mampu dijangkau penglihatannya.

Meskipun merasa takut hingga sum-sum tulang, tetapi kakinya masih belum bergerak. Atau, lebih tepatnya tidak bisa bergerak. Seolah, ada seseorang yang sedang memeganginya.

Aroma busuk dan anyir yang menjadi satu masuk ke hidung. Saat ini, jantung Dero terasa hampir meledak karena terpacu begitu cepat. Keringat sebesar jagung mengalir dari kening. Meskipun takut, Dero tetap menoleh.

Di muka ruangan, tepatnya di tempatnya duduk tadi, sosok itu kembali menampakkan diri. Seragam putih abu-abu yang berlumur darah masih setia melekat pada tubuhnya, mata kanannya masih menjuntai hingga pipi, kepalanya remuk hingga memperlihatkan otaknya yang hitam.

Sosok itu membuka mulutnya yang sangat lebar karena rahangnya yang patah seolah ingin menelan Dero hidup-hidup. Dero tidak tahan lagi, dia langsung berteriak sejadi-jadinya. Begitu kesadarannya kembali dalam tubuh, Dero dengan keras menggerakkan badannya yang terasa kaku, lalu berlari tunggang-langgung dari ruangan musik. Di perjalanannya, indra pendengaran Deri masih bisa menangkap seutas kata yang diutarakan dengan penuh amarah.

“Penghianat!”

Selena yang menyaksikan hal tersebut langsung menoleh mengikuti arah pandang Dero sebelumnya dan mendapati Wildan tengah duduk termenung sembari menguap. Memangnya, arwah bisa mengantuk?

“Apa?” tanya Wildan dengan polosnya.

“Lo—”

“Bukan gue,” potong Wildan cepat. Dia bangkit, lalu melayang keluar dari ruangan. “Gue enggak mau buang-buang energi buat menampakkan diri di hadapan orang kayak dia,” kilah Wildan. “Mungkin, dia diganggu sama masa lalunya. Kita enggak tahu kan apa yang dia perbuat dulunya. Bisa aja ... itu kesalahan yang sangat fatal.”

***

Segitiga Tanpa Sudut (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang