Crush Tujuh

22 6 1
                                    

Dero langsung mundur beberapa langkah, lalu jatuh terduduk saat tubuhnya menabrak pintu kamar mandi. Kakinya bergetar hebat dan keringat sebesar jagung mengalir lebih deras daripada sebelumnya.

Dia ingin mengalihkan pandang atau setidaknya memejamkan mata dari pandangan mengerikan yang terpampang di hadapannya ini. Namun, usahanya tidak ada yang berhasil. Seolah, Wildan membuat tubuhnya menjadi kaku entah bagaimana.

Dero mulai merasa sesak napas sebab jantungnya berdetak dengan sangat cepat.

“Lama enggak ketemu. Kayaknya, lo baik-baik aja, ya,” ucap Wildan. Aroma busuk dan anyir semakin menguar. Mengusir aroma wangi dari sabun yang Dero gunakan.

“Wi-Wil-Wildan—”

“Iya. Ini gue, Dero,” potong Wildan. Dia masih memperlihatkan mulutnya yang robek hingga dekat telinga dan sebelah matanya yang menggantung. Suasana makin mencekam saat tekanan dari aura negatif yang Wildan lepaskan semakin memenuhi ruangan. “Ini gue, orang yang dulu lo kasih label sahabat, tapi lo khianati. Ini gue, orang yang udah seratus persen percaya sama lo, tapi lo malah tusuk dari belakang. Ini gue, orang yang sampai mati harus memendam perasaan jengkel!”

Angin yang entah dari mana asalnya itu memenuhi ruangan. Menerbangkan benda-benda ringan yang ada serentak dengan nada suara Wildan yang meninggi. Matanya yang berwarna merah darah melotot tajam, membuat bulu kuduk Dero meremang sempurna.

Kamar Dero menjadi berantakkan, sementara sang empunya meringkuk di sudut ruangan. Bayangan demi bayangan masa lalu merasuk kepala membuat rasa penyesalan yang belum kering kembali basah.

“Dero, gimana reaksi Selena waktu baca surat dari gue? Dia suka enggak sama kata-kata yang gue tulis?” tanya Wildan kala itu dengan ekspresi ceria. Netranya yang hitam terlihat berkilau dari balik kacamatanya yang tebal.

Dero menelan ludah. Dia tidak tahu bagaimana menjawabnya. Untuk sesaat, Dero memalingkan wajah dari Wildan sembari otaknya dipaksa untuk mencari alasan. Kata-kata dalam surat tersebut cukup apik. Saking apiknya, teman satu grup di klub musik memuji permainan kata itu ketika menemukan kertas tersebut. Mereka memuji Dero yang mempunyai inspirasi brilian.

Dero terlalu lemah hingga dengan mudahnya terbuai pujian mereka. Dia mengabaikan pesan Wildan dan menggunakan kalimat-kalimat yang ditulis sahabatnya sebagai lagunya sendiri dan mengatasnamakan Dero sebagai penulisnya.

“Selena senang banget. Dia bilang tulisannya bagus,” Dero berbohong. “Katanya, dia mau baca kalimat-kalimat serupa lagi. Soalnya buat mood dia bagus.”

Wildan melompat kegirangan. Usahanya dia pikir tidak sia-sia. Sembari bersenandung lirih dan berjalan riang, Wildan berpamitan untuk memikirkan kalimat-kalimat selanjutnya.

Bayangan masa lalu itu berakhir kala energi negatif yang terasa lebih kuat dari sebelumnya. Saat ini, dada Dero terasa sangat sesak hingga membuatnya sulit bernapas. Angin tanpa asal mengisi ruangan dan menerbangkan benda-benda yang lebih besar daripada sebelumnya.

“Seharusnya gue enggak percaya sama lo! Seharusnya gue kasih kertas itu sendiri ke dia. Lo penghianat, Dero! Lo munafik!” pekikan Wildan menggelegar. Membuat telinga Dero berdengung untuk beberapa saat. “Seharusnya, Selena menaruh perasaannya ke gue, yang nulis kalimat yang dia sukai itu, bukan malah suka sama lo!”

“Gu-gue minta maaf, Wil!” Dero ikut berteriak agar suaranya yang bergetar mampu terdengar. “Gue tahu salah dan gue udah menyesali semuanya.”

“Udah telat! Lo ke mana aja selama ini, hah? Lo ke mana aja waktu gue masih hidup? Sekarang, giliran gue udah mati, giliran gue udah jadi sosok yang ngeri kayak gini, lo baru minta maaf?”

Dero memejamkan mata kala sosok Wildan terlihat semakin yang keruan. Dero menjadi ingat kala cowok tersebut dia temukan dikerumuni masa dan tertutup beberapa koran. Wildan terlindas tronton dan sebagian tubuhnya hancur, terutama bagian kepala.

Bahkan, di saat itu pun, Dero belum menyesali perbuatannya yang keji. Perbuatan yang membuat sosok yang disebut sahabat meninggalkannya selama-lamanya. Kini, sahabatnya itu melayang di hadapannya dan Dero masih belum bisa meminta maaf dengan cara yang lebih layak.

Dia hanya ketakutan dan berusaha keras untuk segera keluar dari situasi ini.

“Gue mohon, lepasin gue, Wil. Biarkan gue hidup dengan tenang.” Dero merengek. Dia kembali pada tabiat aslinya. Sosok yang rela melakukan apa saja demi kepentingannya sendiri.

Wildan tertawa terbahak-bahak. Bahkan, saking kencang suara tawanya, sebelah matanya yang menggantung akhirnya terjatuh dan menggelinding, lalu berhenti sekitar 60 sentimeter dari posisi Dero saat ini.

“Bahkan sampai sekarang, lo tetap aja busuk, Der,” dengkus Wildan kesal.

Wildan melayang mendekat pada Dero membuat cowok dengan potongan rambut classic crop itu bernapas putus-putus. Namun, Wildan segera berhenti saat merasakan kehadiran energi yang tidak asing.

Matanya yang tergeletak di depan Dero bergerak sendiri menuju Wildan, lalu terbang dan masuk ke rongga mata tanpa bantuan. Cowok dengan kepala remuk itu berkedip beberapa kali, lalu memfokuskan tatapannya pada Dero.

“Ingat ini, Der. Mulai malam ini, gue bakal datangi lo, gue bakal ganggu lo. Kalau gue mati dan menjadi arwah gentayangan kayak gini, lo juga harus merasakan penderitaan yang sama. Sampai lo mati dan kita bergabung di alam baka, jangan harap lo punya kehidupan yang tenang.”

Setelah mengatakan hal tersebut, Wildan menyengir lebar hingga nyaris menyentuh ujung telinga. Perlahan, sosoknya mulai memudar dan tekanan dari energi negatif yang Dero rasakan sebelumnya berangsur hilang.

Dero berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Lembaran kertas berserakan di berbagai tempat dan salah satu kertas tersebut memuat kalimat-kalimat yang Wildan tulis dulu.

Apakah kamu merasa bahagia?

Apakah kamu merasa senang luar biasa?

Jika iya, apakah aku menjadi salah satu alasannya?

***

Selena hanya mendapatkan sedikit energi positif dari anak-anak yang berada di perumahan itu. Selena menyimpulkan, anak-anak adalah insan yang polos. Insan yang tidak mungkin berpura-pura. Jika dia bahagia, maka akan tertawa. Jika bersedih, maka akan menangis. Sesederhana itu.

Dengan energi positif yang sesedikit itu, Selena berencana untuk mengejutkan Dero dengan muncul di hadapannya menggunakan perwujudan terbaik yang pernah Selena pikirkan. Namun, Selena tidak menduga begitu dia tiba di kamar Dero, yang dilihatnya adalah kertas-kertas yang berserakan dan Dero yang meringkuk di salah satu sudut ruangan.

Tubuh cowok yang memiliki tinggi 185 sentimeter itu terlihat bergetar hebat dengan kepala yang dia sembunyikan di antara kedua lutut. Sorot matanya terasa hambar seolah dirinya baru saja dikejutkan dengan sesuatu.

Dada Selena berkedut nyeri. Dia tidak menyangka jika rasa putus asa yang Dero rasakan sebesar ini. Sikap acuh dan tidak mau tahu dari teman satu grupnya ternyata memberikan tekanan yang lebih besar dari yang Selena kira. Begitulah yang dia kira.

“Gue mohon, bertahanlah sebentar lagi. Saat gue udah mengumpulkan banyak energi positif, gue bakal muncul di hadapan lo dan enggak bakal membiarkan lo jatuh ke tahap serendah ini.”

Setelah bergumam seperti itu, Selena segera melayang menjauh. Dia harus segera kembali mencari energi positif.

***

Segitiga Tanpa Sudut (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang