Day 2

231 37 0
                                    

Hari pertama setelah ospek kuliah berlangsung telah usai, Arlott sedang berdiri di sebuah cafe untuk melamar kerja sampingan. Ia tau bahwa mengandalkan duit dari orang kampung halaman, tidak akan menjamin keberlangsungan hidup.

Dengan tekad dan keberanian yang kuat, Arlott memasuki cafe itu dengan langkah kaki yang mantap. Berjalan menuju ke sebuah kasir dan menanyakan tentang brosur lowongan pekerjaan yang didapatkannya.

Kasir tersenyum ramah kearahnya, mengajaknya untuk masuk ke area dapur dan bertemu dengan pemilik cafe sekaligus koki disana.

"Selamat siang." Keduanya memberikan sapaan sopan di ruang kerja pemilik cafe tersebut.

"Baiklah, kak Arlott ya? Aku akan mulai dengan wawancara singkat saja." --ucap pemilik cafe itu tersenyum ramah.

Arlott mengangguk mantap, menatap sebuah kertas yang berisikan biodata. Pemilik cafe memintanya untuk mengisi, sembari berbincang ringan tentang kehidupan diantara keduanya.

Pemilik cafe yang memanggil dirinya Gusion itu, merupakan anak orang kaya. Kehidupannya dilimpahi kebahagiaan dan kemakmuran, tetapi memilih bekerja menjadi seorang koki sekaligus pemilik cafe ini.

Arlott terkadang berpikir, mengapa orang kaya justru ingin hidup keras bagaikan rakyat  seperti mereka? Bukankah dilimpahi uang dan kebahagiaan sudah cukup untuk mereka?

Ia tidak mau dianggap hanya pandang sebelah mata, Arlott yakin pasti ada alasan mengapa Gusion memilih menjadi pemilik cafe.

Sore hari, pukul 5 akhirnya Arlott kembali ke apartemen setelah wawancara singkat dan makan bersama dengan Gusion. Tentu saja sang pemilik mentraktirnya.

Langkah kakinya gontai, lelah setelah semua acara yang menjadi satu di hari ini. Tubuhnya begitu pegal sehingga membuat ingin cepat-cepat berbaring di kasur empuk yang sudah menunggunya di dalam kamar apartemen.

"Jangan tinggalkan aku."

Kakinya berhenti melangkah, Arlott membeku ditempat, menatap lurus kearah Fredrinn yang tampak berpelukan mesra dengan pria lain. Yang diduga adalah pacarnya.

Fredrinn tidak menutup mata, hanya membalas pelukan itu namun tidak erat. Pandangannya justru berganti kearah sosok yang sedang memandangi kegiatan mereka.

"Hai, Arlott." Sapanya tersenyum.

Pelukan diantara kedua pria itu terlepas, pria satunya ikut memandang kearah Arlott yang belum bergerak dari tempat. Keduanya menunjukkan ekspresi yang berbeda, Fredrinn tampak begitu ramah.. melainkan pria satunya tidak begitu menyukainya.

Arlott hanya mengangguk, menundukkan kepala dan berjalan ke kamar apartemennya lalu masuk tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.

Cklek.

Senyuman Fredrinn perlahan pudar, Ia lalu merangkul pria dihadapannya dan membawanya ke dalam kamar apartemen miliknya. Lagi-lagi lorong apartemen itu dihuni kesunyian.

𝐀 𝐌𝐀𝐍 𝐍𝐄𝐗𝐓 𝐃𝐎𝐎𝐑.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang