Selasa, 2 Mei/Lewat tengah malam
—
Semuanya terasa bodoh.
Maksudku semuanya adalah benar-benar semuanya.
Aku tak pernah berpikir jika hal seperti ini bakal terjadi. Aku memang pernah membaca buku-buku dan menonton film-film tentang zombi, tetapi mana menyangka jika itu akan terjadi juga di dunia ini?
Ini adalah sebulan setelah berita pertama tentang zombi dan segala kegilaan itu dimulai. Tak ada yang tersisa. Benar-benar tak ada. Setidaknya, itulah yang kutahu dari yang bisa kulihat sejauh ini.
Aku dan Chris duduk di atap toko dengan lengan saling bersentuhan. Kami memandang ke seluruh penjuru tempat tinggal kami—atau setidaknya, tempat yang seharusnya menjadi milik kami sebelum para zombi merebutnya—dan satu hal yang dapat kami lihat hanyalah kehancuran.
Listrik tak lagi berfungsi, begitu juga dengan sinyal yang mustahil didapatkan, dan sejauh mataku memandang, tak ada apa pun selain kegelapan dan gemerlap samar dari bintang-bintang di langit malam. Udara sejuk membuat kulitku dingin, tetapi Chris tampak berusaha keras untuk membuat tanganku tetap hangat dengan menggenggamnya di pangkuannya, yang sebenarnya, tak membuatku sedikit pun lebih hangat daripada sebelumnya. Akan tetapi, kuhargai usahanya itu. Apalagi Chris adalah Chris. Biarpun aku menarik tanganku darinya, dia akan merampas tanganku kembali untuk menggenggamnya dua kali lebih erat jika menurutnya diperlukan.
Aku mengenal Chris jauh sebelum ini. Ketika di TK, kemudian berlanjut hingga di sekolah dasar, tetapi kami tak lagi bertemu bertahun-tahun kemudian setelah itu. Dia pindah dari Meadther ke Hillbourne saat kami kelas tujuh, tempat di mana kakeknya tinggal, setelah kedua orang tuanya bercerai.
Tak bisa dikatakan aku dekat dengannya dulu saat di sekolah. Dia adalah tipikal anak pendiam—bahkan semenjak di TK dulu. Dia selalu duduk diam sendirian di sudut kelas dengan kepala tertunduk dalam ke bangku. Entah apa yang dilakukannya. Mungkin tidur, mungkin menatap kosong halaman bukunya tanpa membacanya sama sekali, atau memang mungkin dia hanya tak ingin bersama anak-anak lain. Dia pemurung, dan tak ada satu pun anak yang kelihatan tertarik untuk mengajaknya bermain. Jika pun ada anak yang mendekatinya, itu adalah anak-anak perundung yang suka membuat lelucon-lelucon berlebihan terhadapnya. Dia tak pernah menangis, tak pernah berteriak untuk menyuruh mereka pergi. Dia hanya diam, diam, dan diam.
Hingga suatu hari ketika di kelas empat saat jam istirahat, dia membanting meja dan kursinya ke lantai. Nyaring sekali hingga anak-anak dari kelas sebelah datang ke kelas kami, mengintip dari jendela dan memenuhi pintu, penasaran. Chris berdiri di pojok, di dekat kekacauan yang dibuatnya, masih dikelilingi anak-anak tukang rundung yang menatapnya terkejut dengan mata membola. Salah satu anak yang kuingat bernama Lou sampai gemetar ketakutan melihat kemarahan Chris yang tak pernah ditunjukkannya.
“Kalian boleh mengolok-olokku, tetapi tidak dengan keluargaku!” jeritnya dengan napas makin berat.
“Benarkah begitu, Dungu?” balas Oscar yang tinggi besar dengan nada mencemooh. Kedua tangannya di pinggang. Menurutnya, melihat sendiri bagaimana Chris akhirnya meledak membuatnya terkesan dan makin tertarik untuk mengganggunya. “Bahkan, memangnya kau ini punya keluarga, ya? Berani taruhan bahwa sebentar lagi, ayahmu bakal meninggalkan ibumu yang jalang, dan meninggalkanmu yang menyedihkan ini sendirian.”
Chris tak lagi bisa menahan amarahnya pada saat itu. Dia menerjang Oscar, memukul wajahnya berkali-kali dengan kepalan tangan kecilnya. Mulanya Oscar tak sadar apa yang terjadi, tetapi ketika dia menerima beberapa pukulan lagi dari Chris yang sebenarnya tak memberikan efek apa-apa padanya, dia balas memukul. Kepalan tangan yang kuatnya sepuluh kali lipat dari milik Chris menghantam wajah Chris telak, membuatnya terlempar hingga membuat beberapa bangku tergeser menabrak dinding setelah bertabrakan dengan punggungnya. Darah keluar dari hidungnya. Chris pingsan saat itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] TLD Tetralogy: Z Plague
HorrorBuku 1 The Living Dead: Z Plague Satu dari dua hal yang Kate tahu adalah bahwa kekacauan terjadi di mana-mana setelah wabah---yang muncul akibat dari meledaknya laboratorium penelitian terbesar di sebuah kota bernama Hitche---menyebar. Sementara dua...