1.3 Sorotan Cahaya

64 45 14
                                    

Ada gudang penyimpanan di bagian belakang toko, dan ada dua ruangan kecil di dalamnya. Satunya kamar mandi, satunya lagi adalah ruangan sempit kosong yang sebenarnya adalah tempat menyimpan sapu-sapu dan kain pel. Namun, selama bencana ini berlangsung, di situlah aku dan Chris tidur. Kami memilih tempat itu untuk beristirahat karena ketika kami tidur di depan, kami akan selalu dikejutkan dengan bunyi pukulan agresif dari zombi-zombi di kaca toko. Namun, dari ruangan kecil ini, segala keributan yang mereka buat di luar sana hanya terdengar samar-samar di telinga.

Pagi ini Chris yang membangunkanku. Dia menyerahkan kepadaku sebungkus keripik kentang serta granola.

“Dari mana kau mendapatkannya?” tanyaku mengernyit, tetapi menerima ulurannya.

Chris ikut duduk berhadapan denganku, bersila, dan dia mengedikkan bahu. “Menemukannya di bawah meja kasir.”

Bohong. Aku tahu dia bohong.

Makanan yang kini ada di tanganku mestilah jatah makanannya kemarin, kemarinnya lagi, atau malah minggu lalu, karena sudah tak ada lagi makanan yang tersisa di toko selain beberapa bungkus granola dan permen-permen. Namun, jika benar-benar sudah terlampau putus asa, mungkin tepung-tepung kelihatan enak juga (kami mulai memakan pasta-pasta dan mi-mi mentah dua minggu lalu).

Masalah yang sama terjadi pada persediaan air kami berdua.

Dulu ketika wabah ini bermula, aku dan Chris berpikir bahwa kami terjebak di surga.

Susu dan sereal, roti, jus-jus buah dalam kotak-kotak karton, minuman-minuman kaleng, keripik-keripik, cokelat, kemudian permen ada di dalam toko, siap kami makan kapan saja.

Namun, Chris adalah orang yang kritis, sejak dulu. Jadi, ketika pada minggu pertama bencana ini dimulai, dan aku ingin memakan sebungkus besar roti untuk sekali makan, dia memberi tahuku jika itu bisa untuk kumakan sehari itu. Dia selalu bisa berpikir lima langkah di depanku, walaupun pada mulanya, dia adalah yang terlihat lebih depresi daripadaku.

“Kenapa? Ada apa?” Aku menatap Chris dengan dahi berkerut-kerut ketika kusadari bahwa Chris terus memandangku. “Ada sesuatu yang ingin kau katakan?”

“Oh, tidak. Maaf.” Chris terkekeh ringan, disertai geleng-gelengan kepala. “Aku hanya ... sedikit merindukan kakekku.”

“Maaf.” Aku menundukkan kepala ke pangkuan di mana sebungkus keripik yang diberikannya kepadaku berada.

“Untuk apa?”

“Entahlah.”

“Tak masalah, Kate. Aku, lagi pula, sudah tak berharap lagi bahwa ia masih hidup. Mungkin sekawanan zombi sudah menyerang rumahnya sejak dulu.”

“Jangan berkata begitu.” Kudongakkan kepalaku, dan sudah kulihat bahwa Chris menyunggingkan kedua ujung bibirnya.

“Kenapa tidak? Barangkali kau adalah satu-satunya orang yang kukenal yang masih hidup. Sementara ayah, ibuku .... Yah, terakhir aku mendengar kabar dari mereka saja sekitar lima tahun yang lalu. Bahkan tak ada jaminan bahwa keduanya masih hidup ketika bencana ini dimulai.”

Ingin membalasnya dengan mengatakan bahwa aku bahkan tak pernah mengenal ayahku selama ini, ditambah aku menyaksikan sendiri kematian ibuku ketika berusia enam tahun, tetapi segera mengurungkannya. Alih-alih begitu, kukatakan padanya, “Menurutmu di mana Bibi Elli ketika semuanya ini dimulai?”

“Entahlah. Kenapa Bibi Elli tak pernah menikah?”

Kukernyitkan dahi setelah mendengarkan pertanyaan tak terduganya. “Menurutmu pertanyaan seperti itu sopan untuk ditanyakan?”

Chris mengangkat bahu. “Ini akhir dunia. Boleh jadi aku mati besok pagi.”

“Oh, jadi maksudmu, itu adalah pertanyaan penting buatmu sehingga kau ingin tahu sekali jawabannya sebelum kau mati?”

[1] TLD Tetralogy: Z PlagueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang